SEJARAH MENJADI PENTING BAGI KAMU DAN KITA SEKELUARGA…KAMU HARUS MEMBIASAKAN DIRI UNTUK MEMBACA BUKU SEJARAH DENGAN BAIK DAN BENAR…
Donald Izacus Pandjaitan
Malam 30 September 1965, dirumah kediaman Brigjen Donald Izacus Pandjaitan sedang membaca… sedang sang putri beliau menonton acara siaran langsung TVRI acara pembukaan Musyawarah Nasional Teknik yang si buka oleh Yang Mulia Presiden Soekarno.
Diakhir acara itu dinyanyikan lagu lagu perjuangan, salah satunya lagu gugur bunga.
Lagu tersebut dinyanyikan oleh paduan suara Sekolah Tarakanita dalam acara Musyawarah Besar Teknik (Mubestek) di Istora Senayan, 30 September 1965 malam. Entah kebetulan atau tidak, salah satu anggota paduan suara tersebut adalah Catherine Panjaitan, yang merupakan putri sulung Brigjen D.I. Pandjaitan.
Panjaitan terdiam dan seolah merasa hanyut saat menonton dan mendengarkan paduan suara menyanyikan lagu tersebut di TV yang menyiarkan acara tersebut secara langsung, bersama anggota keluarga yang lain di ruang tamu.
Saat lagu tersebut mengalun, salah satu putri Panjaitan yaitu Masya Arestina spontan menyeletuk, “Itu kan lagu tentang para pahlawan yang gugur di medan tempur. Coba bayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan” Panjaitan menjawab singkat saja kepada putrinya, “Ya sedihlah”.
Selain soal firasat lagu Gugur Bunga itu, juga ada pertanda ganjil lain yang diamati oleh keluarga Jenderal Panjaitan. Sejak Kamis sore, 30 September 1965 saat sedang bersantai di teras atas rumahnya, Panjaitan terlihat melamun. Anggota keluarganya paham betul bahwa Panjaitan bukanlah seseorang yang suka melamun walaupun di waktu senggang karena ia biasanya membaca Alkitab atau buku-buku lain.
Ada satu lagi firasat yang saat itu tidak dirasakan, namun diingat oleh keluarga Panjaitan khususnya oleh Salomo, anak ketiga Panjaitan. Pada malam hari 30 September 1965 saat Salomo, sedang belajar, sang Ayah seperti melontarkan petuah terakhir setelah membaca koleksi buku pelajaran sejarah Salomo. Salomo menceritakan, ayahnya mengelus-elus kepalanya saat mengucapkan “petuah terakhir”-nya.
Panjaitan mengatakan kepada Salomo, “Sejarah menjadi penting bagi kamu dan kita sekeluarga. Kamu harus membiasakan diri untuk membaca buku sejarah dengan baik dan cermat,”. Salomo mengangguk setelah mendengar sang ayah mengatakan hal tersebut sambil tersenyum kecil.berpesan yang disambut anggukan dari Salomo. Sebuah ironi di mana tak lama kemudian, sang Ayah turut jadi bagian dalam buku sejarah bangsa Indonesia.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari sekitar pukul 04.00 rumah mereka didatangi gerombolan Pasukan Tjakrabirawa berpakaian hijau-hijau, lengkap dengan topi baja dan bersyal kuning. Gerombolan ini menggedor pintu, mendobrak dan melontarkan tembakan membabi buta ke seluruh bagian rumah. Bukan cuma itu, gerombolan ini juga merusak banyak perabotan-perabotan dalam rumah sembari melontarkan ancaman apabila Panjaitan tidak turun untuk menemui mereka untuk menghadap Presiden Soekarno di istana, maka rumahnya akan diledakkan oleh gerombolan brutal tersebut..
Tembakan membabi buta tersebut menewaskan dua keponakan D.I. Panjaitan yaitu Victor dan Albert Naiborhu. Pembantu rumah tangga keluarga yang berjumlah 3 orang pun diseret dan dibentak agar mereka memberitahu keberadaan tuannya. Di lantai 2, dari kamarnya sebenarnya Panjaitan (hendak) memberikan perlawanan dengan stengun miliknya. Sayangnya, senjata tersebut macet sehingga tidak bisa digunakan.
Di tengah situasi genting tersebut, akhirnya Jenderal Panjaitan keluar kamar dan turun ke bawah menemui para gerombolan dengan mengenakan pakaian dinas lengkap dengan topi yang diapit di ketiaknya. Seorang prajurit anggota gerombolan yang melihatnya lantas memberikan sikap hormat namun dicueki sang Jenderal yang lantas berdoa. Hal ini rupanya membuat sang prajurit kesal dan lantas memukul lalu menembak Panjaitan yang sedang berdoa. Tembakan dari jarak dekat tersebut menembus kepala dan menewaskan Panjaitan. Darahnya membanjir dan sebagian isi otaknya tercecer di lantai garasi. Dengan dingin, para gerombolan tersebut lantas melemparkan jenazah Jenderal Panjaitan ke atas bak truk yang membawanya ke Lubang Buaya.
Sebuah kejadian yang amat meninggalkan trauma dalam benak Catherine yang membutuhkan waktu 20 tahun untuk melupakan trauma kesedihannya tersebut. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya ditembak dengan brutal. Bahkan ia menangis histeris sembari membasuh darah ayahnya ke wajah dan dadanya.
Sumber: Cerita kesaksian ibu Catherine Pandjaitan