SUARA KALIMANTAN. Pengelolaan fiskal saat ini yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dinilai sangat memprihatinkan. Faktanya utang negara terus menumpuk dan ini sangat tidak menyehatkan keuangan negara. Akibatnya, guncangan keuangan negara kedepannya akan menjadi ancaman serius bangsa dan negeri ini. Data yang didapat media ini dari Surat Berharga Negara (SBN) kian menggemuk. Hingga saat ini saja sudah mencapai Rp2.707,81 triliun. Sementara utang lainnya sudah mencapai Rp731,98 triliun.
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia saat ini,. “Kami sangat prihatin melihat kondisi negara dan bangsa ini saat ini dengan cara-cara pemerintah.dalam mengelola fiskal. Kelihatannya pemerintah sudah kehilangan akal dalam menyehatkan fiskal selain dengan jalan menumpuk utang. Dilihat sekarang ini pemerintah sedang gali lubang tutup lubang.” ujar politisi Partai Herindra ini kepada wartawan.
Diungkapkannya bahwa kontribusi Surat Berharga Negara (SBN) terhadap total pembiayaan utang rata-rata sudah mencapai 101,8 persen per tahun. Sedangkan terhadap total pembiayaan anggaran RAPBN 2017 mencapai 103,3 persen per tahun. Fakta ini memperlihatkan lubang resiko fiskal yang kian menganga, ujar Heri Gunawan.
“Yang paling miris, dari struktur kepemilikan SBN domestik yang diperdagangkan, tren kepemilikan asing terhadap surat utang pemerintah cenderung meningkat. Porsi kepemilikan asing pada 2011, sambung Heri, 30,5 persen. Pada 2016 melonjak 39,2 persen. Risikonya adalah ancaman pembalikan dana secara tiba-tiba dalam jumlah besar yang bisa berdampak sistemik perekonomian negeri ini dan jelas mengancam kestabilan perekonomian nasional,” suguh Anggota Komisi XI DPR RI.
Menurut Heri, agresifitas penerbitan SBN dapat memicu perang suku bunga perbankan dan pengetatan likuiditas. “Akibatnya, perbankan akan tetap menawarkan suku bunga deposito di level yang tinggi meski suku bunga acuan terus diturunkan.”
Pada bagian lain, politisi dari Daerah Pemilihan Jawa Barat IV ini mengatakan, menurut dia yang tidak kalah menyedihkan saat ini adalah pembayaran bunga utang telah mencapai Rp221,2 triliun pada 2017. Itu artinya telah terjadi kenaikan 15,8 persen dari target APBNP 2016 yang sebesar Rp191,2 triliun. “Jumlah itu setara dengan 40 persen alokasi belanja non K/L. Kita tidak lagi berharap banyak untuk pencapaian program kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi riil dari cara-cara pengelolaan fiskal seperti itu,” tandas Heri Gunawan.
Sebetulnya yang diharapkan dari pemerintah adalah mampu menghadirkan solusi atas defisit anggaran yang makin membahayakan dengan kebijakan fiskal yang kredibel. Tapi ironisnya, ujar Heri, dalam 5 tahun terakhir realisasi defisit anggaran cenderung meningkat. Karena penyebabnya, rata-rata realisasi belanja tumbuh di kisaran 5 persen. Sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh di kisaran 3 persen.
Sebelumnya Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia, mengatakan di tahun 2017 ini pemerintah masih akan berutang untuk membayar bunga utang luar negeri. Hal ini dibuktikan dengan jumlah defisit primer dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar Rp109 triliun.
Angka tersebut lebih rendah dari yang sebelumnya yakni Rp111,4 triliun. Maka, dalam pengelolaan anggaran untuk tahun depan harus berhati-hati agar tidak membengkak dari segi utang yang disebabkan karena defisit anggaran yang melebar. “Kita akan kembali utang tahun 2017 untuk bayar bunga utang dan investasi,” kata Sri Mulyani.
Dengan pembiayaan utang yang cukup besar tersebut, maka untuk asumsi defisit anggaran tahun 2017 ini diasumsikan sebesar 2,41% atau setara dengan Rp330,2 triliun. Surat Berharga Negara (SBN) akan diterbitkan sebesar Rp400 triliun (netto).
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa itu juga termasuk pembayaran utang lama. Utang lama ini tentunya akan kita bayar untuk tahun 2017. Seperti diketahui, keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Bila keseimbangan primer defisit, itu berarti pemerintah berutang untuk membayar bunga utang, ujar Sri.
Dengan kata lain, pemerintah harus menarik utang baru untuk membayar bunga utang. Bila pemerintah ingin mengurangi defisit keseimbangan primer, maka defisit anggaran harus bisa dijaga pada level 1,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika dilihat dari historisnya, pada 2010 keseimbangan primer tercatat surplus atau positif dengan realisasi Rp41,5 triliun. Ini artinya penerimaan negara lebih besar dari belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Pemerintah memiliki dana dari penerimaan negara untuk membayar bunga utang.
Setahun berikutnya, kondisi keseimbangan primer mulai menipis. Surplus pada keseimbangan primer hanya Rp8,8 triliun, namun ini masih dianggap sehat dari sisi pengelolaan anggaran negara.
Pada 2012, keseimbangan primer mulai defisit sebesar Rp52,7 triliun. Begitu juga yang terjadi pada 2013, dengan besaran defisit Rp98,6 triliun dan defisit 2014 sebesar Rp93,2 triliun.
Dengan kondisi ini, pemerintah sudah tidak memiliki kemampuan untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara. Pemerintah harus mencari utang baru untuk membayar bunga utang.
Lonjakan drastis keseimbangan primer terjadi pada 2015, yang nilainya menjadi Rp142,4 triliun. Pada 2016 dalam APBN Perubahan (APBN-P) dicantumkan defisit keseimbangan primer Rp105,5 triliun dan defisit keseimbangan primer di 2017 diperkirakan sebesar Rp111,4 triliun. (TIM)