Makna Haul Dalam Pandangan Islam

Sudah menjadi sebuah tradisi dalam sebagian masyarakat Indonesia mengadakan acara haul seorang syaikh, wali, sunan, kiai, habib, atau tokoh masyarakat lainnya. Kebiasaan yang sudah mendarah daging ini adalah budaya nenek moyang yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat kita di seluruh nusantara.

Persiapan yang luar biasa dilakukan oleh panitia pelaksana untuk mensukseskan haul seorang tokoh terkemuka, spanduk dan baleho dipasang dimana-mana, pamplet-pamplet disebar di sudut-sudut kota. Tentu dengan tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk memeriahkan acara tersebut. Jelas ini adalah pemborosan dan penghamburan harta yang dilarang oleh agama.

Dalam haul seorang tokoh ini, bukan hanya masyarakat biasa yang hadir tetapi pejabat negara dari mulai tingkat kepala desa atau lurah sampai menteri atau bahkan kepala negara.

Walaupun haul ini dilakukan di Indonesia, namun tokoh yang dihauli bukan hanya tokoh-tokoh yang ada di dalam negeri, tetapi dari berbagai negara Yaman misalnya. Tentu tokoh-tokoh dalam Negeripun tidak ketinggalan untuk dihauli seperti haul Guru Sekumpul, Habib Al-Habsyi atau haul Gus Dur dan lain sebagainya.

Kelegendarisan dan kharismatik tokoh yang dihauli menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung haul. Banyaknya pengunjung yang hadir dalam acara haul menunjukkan betapa besarnya pengaruh tokoh yang dihauli di tengah masyarakat. Bahkan seperti haul Guru Sekumpul ummat muslim yang datang bukan hanya warga Indonesia saja, melainkan ummat muslim di manca negara juga ikut menghadirinya. Dan setiap tahun ribuan ummat islam berdatangan setiap pelaksanaan haul KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang populer dengan sebutan Guru Sekumpul di Martapura Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan.

Karena guluw (pengagungan yang berlebihan) kepada tokoh yang dihauli, para pengunjung tidak peduli berapa jauh jarak yang harus ditempuh dan berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menghadiri haul ini. Bahkan dari sebagian pengunjung ada yang bersusah payah memaksakan diri untuk hadir dalam acara haul dengan mengorbankan waktu, harta dan tenaga.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam melarang umatnya untuk bepergian jauh dengan maksud menziarahi tempat-tempat yang penuh berkah kecuali ke tiga masjid yaitu : Masjid al-Harom di Makkah al-Mukarromah, Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwaroh dan Masjid Al-Aqso di Palestina.

Haul seakan menjadi suatu kelaziman. Bahkan lebih jauh lagi masyarakat awam menganggap bahwa acara haul hukumnya sunnah, atau bahkan suatu kewajiban untuk dikerjakan dengan mengharapkan keberkahan dibalik peringatan haul tersebut.

Bagaimanakah sebenarnya hukum haul dalam pandangan Islam..? Sebagai seorang muslim sejati yang selalu mengutamakan kebenaran, semua permasalahan harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan tidak mengedepankan hawa nafsu dan taqlid (ikut-ikutan) semata. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap muslim yang benar-benar beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya agar tidak tergelincir dalam kesesatan.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Ar-Rasul (As-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.”(QS. An– Nisaa’ [4] : 59)

Dengan mengharapkan taufiq dan hidayah Alloh Subhanahu wa Ta’ala, insyaAlloh akan kita kupas tuntas hukum haul berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Definisi haul

Secara bahasa kata “haul” berasal dari bahasa Arab, Haala-Yahuulu-Haulan yang artinya setahun atau masa yang sudah mencapai satu tahun. Secara kultural, “haul” ialah peringatan hari kematian seorang tokoh masyarakat, seperti syaikh, wali, sunan, kiai, habib dan lain-lain yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan tanggal wafatnya. Untuk mengenang jasa-jasa, karomah, akhlaq, dan keutamaan mereka.

Rangkaian acara haul

Baca Juga:  PERMOHONAN KEBERATAN BEN-NAFIAH TAK PENUHI SYARAT FORMIL

Untuk menyemarakkan haul banyak sekali acara yang diselenggarakan, rangkaian acara haul berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adapun acara inti haul di setiap daerah tidak terlepas dari tiga point berikut yaitu:

Membaca Al-Qur’an, dzikir dan tahlilan secara berjama’ah, serta do’a bersama.Mengadakan pengajian, ceramah agama, pembacaan biografi/sejarah hidup dan karomah-karomah tokoh yang dihauli.Menghidangkan makanan dan minuman.

Tujuan diadakannya haul

Adapun tujuan haul adalah untuk mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh yang dihauli terhadap umat dan agama.

Asal-usul haul dalam sejarah Islam

Sebenarnya, acara haul tidak dikenal dalam syariat Islam. Haul tidak ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, shahabat, tabi’in, dan tabiut-tabi’in. Peringatan tersebut tidak pula dikenal oleh imam-imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Karena memang perayaan ini adalah perkara baru dalam agama Islam. Adapun yang pertama kali mengadakan haul dalam sejarah Islam adalah kelompok Rofidhoh (Syi’ah) yang sesat dan menyesatkan, mereka menjadikan hari kematian Husain a pada bulan A’syuro sebagai hari besar yang diperingati.

Haul adalah tradisi nenek moyang

Haul adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia warisan nenek moyang, haul bukan bagian dari syariat Islam dan tidak didasari oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.

Haul tasyabuh dengan umat Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik

Haul yang dilakukan tahunan telah ada sebelum Islam, sekitar 5.000 tahunan Sebelum Masehi. Pada mulanya, kegiatan itu dilakukan oleh para penyembah dewa ‘Yang’ untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa keluarga yang telah wafat. Peringatan kematian ini kemudian mengalami pencampuran dengan agama Hindu dan Budha yang ditambah dengan pembacaan mantra-mantra tertentu dari kedua agama ini.

Umat Yahudi pun setiap tahun mengadakan ritual haul mengenang jasa-jasa dan perjuangan tokoh-tokoh yang diagungkan dan dicintai.

Sebagai contoh Ribuan orang Yahudi dari seluruh dunia hadir pada acara haul peringatan 15 tahun kematian Rabi Menachem Schneerson, rabi kepala atau rebe gerakan chabad-lubavitch yang berbasis di Crown Heights, meninggal tahun 1994 pada usia 92 dimakamkan di Montefiore Cemetery di St Albans.Contoh lain Ribuan pengikut Meir Kahane akhir Rabi, pendiri kedua Liga pertahanan Yahudi (JDL) mengadakan peringatan haul ke-20 atas terbunuhnya Meir Kahane di sebuah hotel di Manhattan, New York.

Selain orang-orang musyrik dan Yahudi, haul juga merupakan adat kebiasaan umat Nashrani. Umat Nashrani setiap tahun memperingati wafatnya Isa almasih ‘alaihissalam (menurut keyakinan mereka) bertepatan dengan tanggal wafatnya. Hari kematian Isa almasih adalah hari raya umat kristiani, ini untuk mengenang jasa perjuangan dan pengorbanan Isa Al-Masih ‘Alaihissalam. Haul Isa al-Masih ‘Alaihissalam disebut dengan hari pascah.

Sedangkan keyakinan yang benar adalah bahwa Nabi Isa‘alaihissalam masih hidup. Alloh Subhanahu wa Ta’alamengangkat ruh dan jasadnya ke langit, tidak sebagaimana sangkaan kaum Yahudi yang mengklaim telah berhasil menyalib dan membunuhnya. Demikian pula sangkaan kaum Nashrani bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam telah wafat untuk menebus dosa para pengikutnya.

Dalil mereka yang membolehkan haul

Sebenarnya pihak yang membolehkan acara haul tidak memiliki argumentasi melainkan istihsan (menganggap baiknya suatu amalan), dengan dalil-dalil yang sifatnya umum. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al-Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan sebagai shadaqah. Dalil mereka tentang haul adalah hadist Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

وَ رَوَى الْبَيْهَقِي عَنِ الْوَاقِدِي، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزُوْرُ الشُّهَدَاءَ بِأُحُدٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ. وَ إذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار

Baca Juga:  SMA Negeri Kelumpang hilir Pupuk Rasa Toleransi Dan Kerukunan Beragama

“Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Waqidi : bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun Alaikum Bima Shabartum Fani’ma Uqbad Daar.” Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Bantahan dalil di atas

– Pembawa riwayat ini, yaitu al-Waqidi telah dilemahkan riwayatnya oleh mayoritas ulama ahli hadits seperti al-Bukhori, an-Nasa‘i, ad-Daruquthni, dan lain-lain, sehingga al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menyimpulkan statusnya, “Matruk (ditinggalkan haditsnya) sekalipun dia luas ilmunya.”

– Jika seandainya hadist ini shohih, maka hadits ini hanya berbicara tentang cara ziarah kubur saja, bukan tentang ritual haul. Jelas ini adalah kesalahan pengambilan dalil dan kesalahan pemahaman dalil. Karena tidak ada contoh satupun dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, shahabat, tabiin dan tabiut tabi’in tentang ritual haul seperti yang ada sekarang.

Hukum haul menurut Al-Qur’an dan Sunnah

Setelah mengkaji definisi, asal-usul dan acara haul, dapat kita simpulkan bahwa haul hukumnya haram. Karena haul merupakan amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dan salafus sholeh, tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, dan tradisi nenek moyang yang munkar.

Haramnya haul sesuai dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam diantaranya adalah :

Haramnya tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupaiorang-orang kafir……”(QS. Ali-Imron [3] :156)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam :

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.” (HR. At-Tirmizi)

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ » . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »

“Sungguh, kalian akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kalian. Sampai kalaupun mereka masuk ke lubang dhob (Biawak padang pasir) niscaya kalian akan masuk ke dalamnya pula.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasululloh, orang-orang Yahudi dan Nasranikah?” Beliau menjawab, “Lalu siapa lagi..?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sungguh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus untuk menyelisihi setiap perkataan dan perbuatan Yahudi dan Nashrani tanpa terkecuali. Orang-orang Yahudi pada masa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata : “Tidak ada satupun perkataan yang kami ucapkan dan perbuatan yang kami lakukan kecuali Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pasti menyelisihinya.” Ini berlaku sampai akhir zaman, karena tidak ada sedikitpun kebaikan dari perkataan dan perbuatan Yahudi.

Wajib mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dan haram mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan keduanya

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Alloh,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?.” (QS.al-Baqoroh [2]:170)

Haul yang dianggap ibadah dengan beragam acara seperti membaca al-Qur’an, dzikir, dan tahlil adalah bid’ah yang munkar.

Membaca al-Qur’an, dzikir, dan tahlil adalah ibadah dan perbuatan yang mulia. Tetapi, jika cara, waktu, tempat, dan jumlah ibadah tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam, maka akan menjadi bid’ah yang munkar.

Baca Juga:  Ribuan Jamaah Hadiri Khaul Abah Anang Djazouly

Bid’ah terbagi menjadi dua sesuai dengan dalil Al-Qur’an dan sunnah. pertama : bid’ah haqiqiyah ( hakiki ) yaitu suatu ibadah yang dibuat-buat tanpa dalil syar’i sama sekali baik baik dalil umum atau dalil khusus dari al-Qur’an, as-Sunnah, atau ijma’. Walaupun si pelaku bid’ah mengaku telah beristinbath (mengambil pendapatnya) dari kandungan dalil. Padahal tidak ada dalil sama sekali. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala

“Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah. Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Alloh, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” (QS.Al-Hadid [57] :27).

Yang dimaksud dengan Rahbaniyah ialah menjalani hidup dengan tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara untuk ibadah.

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Telah datang tiga orang shahabat ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menanyakan tentang ibadah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ketika dikabarkan mereka berkata : “”Dimana kita dari ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, padahal beliau telah diampuni segala dosa beliau.” Seorang dari mereka berkata :”saya akan sholat sepanjang malam selamanya.” Yang lain berkata: “aku akan puasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata:” aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Lalu Nabi n datang dan berkata:”bukankah kalian yang berkata begini dan begini, aku adalah yang paling takut dan takwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, tetapi aku puasa dan berbuka, sholat dan tidur, dan menikah. Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.“(HR. Al-Bukhori).

Rohbaniyah ini adalah contoh bid’ah hakiki yang munkar yang dilarang agama. Haul masuk ke dalam bid’ah ini, karena tidak ada dalil satupun yang menunjukkan tentang ritual haul seperti yang ada sekarang. Haul tidak dikenal pada masa Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Kedua : Bid’ah idhofiyyah ( bid’ah dalam sisi tata cara dan kaifiyatnya) yaitu ibadah yang pada asalnya ada dalil syar’i, akan tetapi dengan pengkhususan cara, waktu, tempat, dan jumlah ibadah ini tanpa dalil syar’i. Bid’ah idhofiyyah dilihat dari empat sisi ini.Jika cara, waktu, tempat, dan jumlah suatu ibadah tidak sesuai dengan syariat sebagaimana yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan shahabat, maka menjadi bid’ah idhofiyyah. Pengkhususkan pembacaan al-Qur’an, dzikir dan tahlilan dalam haul masuk ke dalam bid’ah idhofiyah yang munkar.

Haramnya berkumpul-kumpul dan membuat makanan setelah si mayit dikubur

”Dari Jarir bin Abdillah al-Bajali radhiallohu ‘anhu berkata, “Kami (para sahabat) menganggap (dalam riwayat lain berpendapat) bahwa berkumpul-kumpul bersamakeluarga mayit dan membuat makanan setelah (si mayit) dikubur termasuk kategori niyahah (meratapi).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Niyahah adalah meratapi kematian si mayit. Ini dosa besar dan dilarang dalam Islam.

Dengan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa peringatan haul yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sebenarnya adalah suatu bid’ah yang sangat diingkari dan dilarang oleh syariat Islam.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kepada kita taufiq dan hidayah-Nya agar kita selalu menitit jejak sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya yang mulia. Aamin. ###

Dibaca 1,486 kali.

2 komentar untuk “Makna Haul Dalam Pandangan Islam”

  1. Kalau begitu haram juga dong pakai hp ,motor,mobil ,karena tidak ada sejak zaman rasulullah, haram pakai jelana jeans karena menyerupai orang kafir, gitu kah 😁

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top