SUAKA – BANJARMASIN. Pegiat Maiyah Banjarmasin deklarasikan nama Syafa’at Batangbanyu, di Tenda Putih Siring Piere Tendean Banjarmasin,’ Jumat malam (28/10).
Dalam acara yang bertepatan dengan hari sumpah pemuda itu, juga digelar diskusi dengan tema “Sumpah Pemuda dan De-nasionalisme” dengan pokok bahasan Nasionalisme? Apa ideologi kebangsaan ini masih penting dan relevan bagi kita, ketika kita sudah hidup di zaman “gombalisasi” atau era transnasional yang transparan ini?
Sumasno Hadi selalu koordinator pegiat maiyah pun membuka diskusi dan membacakan prolog. Dia memaparkan, di 2016, setelah hampir 90 tahun sumpah pemuda dideklarasikan, kesadaran kebangsaan seperti digedor-gedor oleh beragam fenomena de-nasionalisme.
Akan tetapi jika mengingat bahwa hakikat sumpah pemuda dan spirit nasionalisme itu adalah humanisme, pemanusiaan manusia, memerdekakan manusia dari belenggu kolonialisme, primordialisme dan kebodohan, maka kita selayaknyalah tak menjadi pesimis apalagi apatis, ujar Sumasno.
“Karena para pejuang dan penanam nilai-nilai kemanusiaan itu terus bergerak di balik panggung negara,”
Setelah Sumasno Hadi membuka diskusi, disepakati masing-masing yang hadir memberikan pendapat dengan batas waktu 10 menit.
Salah satu pengamat budaya Banjar, Eka Yuliansyah berpendapat serta mengkritisi kepemimpinan nasional. Eka menuturkan, negara belum mampu menjamin rakyat sejahtera. Rakyat bisa kaya dan miskin pun karena usaha mereka sendiri “Ini akibat pemimpin kita tak jujur dan tak amanah, sebab pemimpin yang sekarang ini berkuasa juga dulunya pemuda, tapi mereka lupa, makanya itu sudah saatnya pemuda sekarang melatih kejujuran dan tidak berdusta,” tegas Eka.
Menurut Hadi Nugroho Gema seorang buddhist pemuda sekarang sudah kehilangan indentitas diri “kita tidak bisa mengisi jiwa patriotik pada generasi muda, bagaimana cinta tanah air itu sebenarnya. Patriotik itu sangat penting,” ujarnya
Pada pertengahan acara, diskusi dicairkan dan semakin seru dengan kehadiran dari mahasiswa prodi Sendratasik FKIP ULM yang memainkan musik tradisional khas Banjar, musik Panting.
Usai jeda, diskusi kembali dilanjutkan. Kali ini membahas nama simpul Maiyah Banjarmasin. Beragam usulan ditampung dan didiskusikan. Akhirnya disepakatilah sebuah nama yaitu Syafa’at Batangbanyu sebagai nama jemaah Maiyah Banjarmasin.
“Banyak nama diusulkan, lalu didiskusikan dan disepakati nama Syafa’at Batangbanyu” terang Dhiajeng Winda, salah satu pegiat Maiyah.
“Makna dari nama ini akan dijadikan bahan diskusi pada pertemuan berikutnya, 25 November 2016, agar filosofisnya dapat sinergi dengan lingkaran kita,” ujar Winda.
Pada sesi penutupan melingkar, acara di isi dengan penampilan Sulisno, dosen Prodi Sendratasik FKIP ULM membawakan tembang Jawa.
Selanjutnya Eka Yuliansyah yang juga jurnalistik SUARA KALIMANTAN, ambil bagian juga menembang dan membaca puisi dengan judul Aku dan Angin. Terakhir penyair dan budayawan Kabupaten Balangan, Imam Bukhory membacakan puisi dengan gayanya yang khas berjudul Mustinya Engkau Paham Indonesia. (Eka)