Sejarah Keberadaan Pulau Kembang atau Pulau Kera

SUARAKALIMANTAN.COM. Pulau Kembang merupakan sebuah Delta yang terletak di tengah sungai Barito yang termasuk di dalam wilayah administratif Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Pulau Kembang terletak di sebelah barat Kota Banjarmasin. Pulau Kembang ditetapkan sebagai hutan wisata oleh Pemerintah Pusat berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 788/Kptsum12/1976 dengan luas 60 Ha.

Pulau Kembang merupakan habitat bagi kera ekor panjang (monyet) dan puluhan jenis burung. Kawasan pulau Kembang juga merupakan salah satu objek wisata yang berada di dalam kawasan hutan di Kabupaten Barito Kuala Propinsi Kalimantan Selatan.

Di dalam kawasan hutan wisata ini terdapat altar yang diperuntukkan sebagai tempat meletakkan sesaji bagi “penjaga” Pulau Kembang yang dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih (Hanoman), oleh masyarakat dari etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu. Dan Seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas biasanya dilepaskan ke dalam hutan pulau Kembang apabila sebuah permohonan berhasil atau terkabul.

Sebagian kepercayaan suku Banjar, masih meyakini Pulau Kembang adalah delta yang terbentuk akibat dari sebuah kapal perang Inggris atau Belanda tenggelam akibat dari sebuah pertempuran dengan para punggawa Kerajaan Banjar. Hingga, monyet ekor panjang dan bekantan kerap dikaitkan dengan ‘kutukan’ terhadap para penjajah itu.

Wajar, jika penulis buku Suluh Kalimantan, Amir Hasan Bondan pun mencantumkan wilayah Pulau Kembang merupakan bagian dari wilayah gaib yang ada penjaganya. Secara rinci, Amir Hasan Bondan yang merupakan sejarawan sekaligus wartawan ini menyebut penguasa gaib Pulau Kembang adalah Pangeran Kacil Kertas Melayang, di antara 13 penguasa gaib lainnya di Tanah Banjar.

Rinciannya, penguasa gaib Muara Banjar adalah Pangeran Suryanata, Cerucuk dipercayakan kepada Pangeran Musarana, Ujung Panti dikuasai Pangeran Aria Manggung, Taluk Sarapat jadi wilayah kekuasaan Pangeran Kaca Mendung, Pulau Datu oleh Pangeran Kuning (Datu Pamulutan), Tanjung Dewa tersebut nama Pangeran Bagulung/Pangeran Bagalung. Lalu, penguasa gaib Tanjung Silat di bawah kendali Patih Simbat, Muara Mantuil oleh Patih Muhur, Pulau Kaget dikuasai Patih Hambaya, Ujung Balai jadi wilayah Patih Langlang Buana, Pulau Tempurung (Patih Huruk), Ujung Telan (Patih Lalangir) dan terakhir Ujung Paradatua dikuasai Patih Rumbih.

Secara ilmiah awal Pulau Kembang yang menjadi bagian dari destinasi wisata Pasar Terapung, Kuin memang memiliki cerita dan kisah menarik serta penuh dinamika. Sejak 1920, hingga masa akhir Hindia Belanda pada 1942, Pulau Kembang oleh para meneer Belanda disebut dengan Apeneiland, atau pulau tempat para kera tinggal. Bukan pulau monyet atau monkeys.

Kedua hewan dari klasifikasi ilmiah sangat berbeda, sebab kera berasal dari superfamili Hominoidea. Sedangkan, monyet termasuk superfamili Cercopithecidae dengan satu famili yakni Cercopithecidae. Secara fisik, perbedaan antara kera dan monyet paling kentara dan mudah dikenali adalah keberadaan ekor yang panjang.

Mengutip tulisan begawan sejarawan Banjar Idwar Saleh (1981-1982), terungkap sejarah Pulau Kembang dimulai sekitar 1698, ketika para pedagang Inggris membuka kantor dagang di Banjarmasin. Hubungan Inggris dengan Kerajaan Banjar tak begitu baik. Untuk menyingkirkan Inggris, Sultan Banjar meminta bantuan penduduk asli pedalaman dari golongan Biaju yang hidup di pesisir Barito.

Baca Juga:  Presiden RI Ingatkan Kepala Daerah " Hati - Hati Lonjakan Covid -19 Pasca Lebaran

Dikutif dalam tulisan Hamilton (1757) yang menceritakan sekitar 3.000 orang Biaju menyerang Loji dan benteng Inggris di pesisir Sungai Barito. Kapal Inggris dibakar, hingga akhirnya kapal itu menjadi sedimentasi, hingga terbentuk delta. Berjalannya usia bangkai kapal-kapal Inggris menjadi delta itu yang selanjutnya disebut dengan Pulau Kembang.

Pertama yang menyebut tanah muncul di permukaan air, hingga mengambang atau meluap, hingga Pulau Kembang juga disebut Pulau Maluap. Tafsir kedua bahwa Pulau Kembang adalah pulau makhluk gaib yang memakai sarung kera. Pemimpin para kera ini konon bernama si Anggur.

Konon kabarnya ketika orang bernazar dengan membawa sesajen berupa mayang dan kembang-kembang, maka hajatnya terkabul, akhirnya pulau itu dikaitkan dengan aktivitas menabur kembang hingga akhirnya dikenal dengan Pulau Kembang. Justru lebih tertarik dengan buku yang ditulis Hamilton berjudul A New Account of the East Indies pada 1688-1723. Dalam buku itu, diceritakan tentang berita tenggelamnya Kapal Barry dalam upaya Inggris mendirikan factory di Banjarmasin, yang kemudian diserang orang-orang Biaju, hingga dua armada kapal Inggris tak bisa diselamatkan dan terbakar hebat.

Ada seorang pria Belanda yang berusaha melarikan diri dalam penyerangan tersebut, bernama Hoogh Chamber namun juga ikut dibakar. Hal tersebut tidak terlepas dari persaingan sesama bangsa Eropa dalam memperebutkan perdagangan lada yang berpusat di Tatas. Pada saat itu, Bernard te Lintelo (1752-1757), bertindak sebagai pemimpin Belanda di Tatas yang dilanjutkan R. Ringholm (1757-1764).

Menurut catatan sejarah mengenai Pulau Kembang sebagai daerah tujuan wisata mulai mengemuka ketika dirilis Majalah Travel (wisata) Hindia Belanda, Tropisch Nederland, volume 12 yang terbit tahun 1939.

Dalam artikel bertajuk Bandjermasin, Borneo oleh M.J.A. Oostwoud Wijdenes, dituliskan bahwa kalau travelers berangkat dari Martapura berlayar melewati Kween ke barat, akan tiba di Sungai Barito, tepat di Apeneiland (Pulau monyet), Poelau Kembang. “Sebuah delta yang tidak bisa dilalui. Tempat itu adalah tempat kawanan kera menetap (bermukim) secara permanen.

Sedangkan sumber lain disebutkan Pulau Kembang itu menurut Tijdschrift voor Indische taal, land en volkenkunde, yang diterbitkan Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1948, tertulis bahwa di Poelau Kembang, sebuah pulau kecil yang terletak di Sungai Barito, adalah “pulau monyet” yang terkenal, tepat di hilir dari muara Kween (Koein).

Sementara Dorothee Buur dalam tulisannya berjudul Indische Jeugdliteratuur: Geannoteerde Bibliografie van jeugdboeken over Nederlands-Indie en Indonesie, tahun 1825-1991, bercerita tentang keluarga Belanda baru saja tinggal di Bandjermasin (Borneo) di mana sang ayah memiliki pekerjaan di bidang kehutanan.

Saat itu, sang penjelajah Belanda ini sering pergi tur melalui hutan dengan perahu. Bersama putra tertuanya, Chris, kerap bepergian naik perahu. “Chris dan ayahnya berlayar di sepanjang sungai Martapoera dan Barito ke Apeneiland (Pulau Monyet). Dalam perjalanan mereka menuju berburu buaya. Setelah sekitar satu tahun, sang ayah lalu dipindahkan ke Magelang (Jawa Tengah),” imbuhnya.

Baca Juga:  Memastikan, Warga Sungai Lulut Bongkar Makam Syech Muhammad Aminullah bin Tahmidillah

Disisi lain ada juga cerita tentang sejarah Pulau Kembang disebut sebagai kerajaan kera, karena dipulau tersebut terdapat ratusan bahkan ribuan kera, dan konon menurut mitos orang setempat terdapat kera yang sangat besar yang di sebut raja dari para kera. Namun tidak hanya kera, kalau sedang beruntung kita bisa bertmu dengan Bekantan, yakni jenis kera ber ekor panjang yang mempunyai hidung yang mancung dengan warna kekuningan yang merupakan hewan khas pulau Kalimantan.

Mungkin beberapa orang bertanya-tanya, bagaimanakah kera yang begitu banyaknya ini bisa tinggal di pulau yang terbuat oleh alam yang tidak terhubung oleh daratan ini?

Menurut sejarah di ceritakan ada salah satu dari keturunan raja di Kuin tidak di karuniai keturunan. Menurut ramalan ahli nujum pada saat itu jika ingin memiliki anak maka harus berkunjung ke Pulau Kembang dengan mengadakan upacara badudus (mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dilaksanakan oleh kerajaan.

Setelah beberapa waktu sepulang mengadakan upacara di Pulau Kembang ternyata istri dari keturunan raja yang dimaksud hamil. Begitu bahagianya keluarga raja mendengar hal gembira tersebut. Maka raja yang berkuasa memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang merusak dan mengganggunya.

Petugas kerajaan yang mendapatkan perintah menjaga Pulau Kembang itu membawa dua ekor kera besar, jantan dan betina yang diberi nama si Anggur. Konon menurut cerita yang beredar setelah sekian lama petugas kerajaan ini menghilang secara ghaib tak diketahui kemana perginya. Sedangkan kera yang ditinggalkan berkembang biak dan menjadi penghuni Pulau Kembang.

Sedangkan tercatat dalam sejarah, dahulu diantara nusantara terdapat kerajaan-kerajaan, baik kerajaan yang besar maupun kecil. Di Banjarmasin tepatnya Muara Kuin berdiri sebuah Kerajaan. Dalam penuturan yang diterima masyarakat secara turun-temurun diceritakan bahwa dalam kerajaan tersebut ada seorang Patih yang sangat sakti, berani dan gagah perkasa bernama Datu Pujung.

Datu Pujung adalah sebuah gelar. Adapun nama asli beliau adalah Aria Malangkan tinggal di Tangga Ulin Amuntai, beliau hidup bertepatan pada masa pemerintahan Pengeran Suryanata sampai pemerintahan Pangeran Suriansyah. Beliau adalah salah seorang Datu diantara Datu-datu lainnya dalam hikayat Datu-datu Banjar. Beliau juga seorang Patih dari Kerajaan Banjar.

Datu Pujung ini merupakan andalan dan benteng pertahanan terhadap orang-orang yang ingin menguasai atau berbuat jahat pada Kerajaan Kuin. Suatu ketika seperti yang dikisahkan orang tua dahulu datang sebuah kapal Inggris dengan membawa penumpang yang moyoritasnya orang Cina. Mereka diketahui ingin tinggal dan menguasai kerajaan Kuin.

Untuk tercapainya niat mereka itu tentu mereka harus berhadapan dengan Datu Pujung. Ada ketentuan dan persyaratan yang diberikan oleh Datu Pujung jika ingin menguasai Kerajaan Kuin yaitu harus dapat melewati ujian yang ditetapkan yakni mesti bisa membelah kayu besar tanpa alat atau senjata.

Baca Juga:  Ingat! Dinkes Kota Banjarmasin Rekomendasikan 16 Tempat Resmi Pelaksanaan Rapid Test Antigen!

Ternyata persyaratan dari Datu Pujung ini tidak dapat dipenuhi oleh mereka yang ingin menguasai kerajaan tersebut. Demikian setelah itu Datu Pujung memperlihatkan kesaktiannya dan dengan mudah membelah kayu besar itu tanpa alat. Datu Pujung membuktikan kepada orang-orang yang datang berlayar itu bahwa persyaratan yang diajukan bukanlah omong kosong atau sesuatu yang mustahil.

Disebabkan para pendatang yang ada dalam kapal Inggris itu tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, maka oleh Datu Pujung diminta untuk membatalkan niat mereka menguasai kerajaan Kuin dan agar segera kembali ke negeri asalnya. Namun mereka bersikeras ingin tinggal dan menguasai Kerajaan Kuin sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Karena mereka mamaksakan kehendaknya, akhirnya Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan kapal beserta seluruh penumpang yang ada didalammnya.
Setelah sekian lama, bangkai kapal yang ada dipermukaan air itu menghalangi setiap batang kayu yang hanyut. Dari hari ke hari semakin banyak kayu-kayu yang bersangkutan hingga menjadi sebuah tumpukan dan kemudian dari tumpukan itu tumbuhlah pepohonan hingga jadilah sebuah pulau yang ada di tengah sungai.

Cerita tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang kebanyakan etnis Cina tersebut menyebar dari mulut ke mulut. Sehingga mereka yang berasal dari keturunan Cina pun banyak yang mengunjungi pulau tersebut untuk mengenang dan memberikan penghormatan kepada jasad yang terkubur di situ.

Hal ini juga dibuktikan dengan adanya sebuah tempat penyembahyangan orang Cina, yakni sebuah tempat pemujaan bagi etnis china (Tionghua) di sertai replika monyet putih (hanoman) sebagai simbol penjaga pulau kembang. Maka jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa dan nadzar, terutama bagi mereka orang cina yang mempunyai ikatan batin atas keberadaan pulau itu.

Dahulu satiap orang cina yang berkunjung ke sana membawa sejumlah untaian kembang (bunga-bungaan), dan karena berlangsung sepanjang waktu dengan waktu yang lama terjadilah tumpukan kembang yang sangat banyak. Mereka yang melintasi pulau itu selalu melihat dan menyaksikan tumpukan kembang yang begitu banyak. Karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda maka untuk menyebutnya diberi nama dengan Pulau Kembang.

Lama kelamaan nama Pulau Kembang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang mengeramatkan dan mempercayai mitos-mitos tertentu atau sekedar ingin tahu keberadaan Pulau Kembang yang telah melegenda itu. Namun di sayangkan belakangan ini sebagian Ummat Muslim yang awam juga mengkeramatkan tempat tersebut, dengan di dirikannya sebuah tempat untuk ritual yang di yakini bisa memberi manfaat tertentu.

Sumber : investigasi jurnalistik suarakalimantan.com

Dibaca 925 kali.

3 komentar untuk “Sejarah Keberadaan Pulau Kembang atau Pulau Kera”

  1. tolong kalau ngutip dituliskan sumbernya, karena ada sebagian di berita ini ada hail riset saya yang sudah saya publish.

    1. Mohon dijelaskan bagian mana yang dikutip agar dapat segera kami koordinasikan dengan kontributor yang bersangkutan, terimakasih.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top