Ditulis oleh : Aspihani Ideris
Diterbitkan oleh : media suarakalimantan.com
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara masih dirasakan belum berpihak pada rakyat kecil dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan, diabaikan maka predeksi 10 tahun kedepan Bumi Kalimantan Selatan bakal di landa Banjir.
Dampak negatifnya dirasakan terjadi pada lingkungan dan masyarakat nantinya kalau pasca tambang di abaikan. Tambang batu bara tidak dapat dipisahkan dengan industrialisasi, sedangkan industrialisasi selalu memerlukan sumber alam yangbanyak.
Dalam pengembangan sumber daya alam seperti yang terjadi di Indonesia pada umunnya dan khususnya di Kalimantan Selatan, diperlukan pengembangan sumber daya alam yang benar tanpa harus dipaksakan sehingga mengabaikan dampak negatif lingkungan dan masyarakat.
Untuk itu, UU No. 4 Tahun 2009 harus dipahami secara substansif dan progresif adalah bertujuan untuk kemakmuran masyarakat tanpa merusak lingkungan.
Studi hukum terhadap pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan dapat membuka wawasan hukum agar ke depan hukum dikembangkan untuk tujuan yang lebih progresif.
Maksud dari hukum lingkungan berbasis hukum progresif sesungguhnya memberikan dua tawaran hukum, satu sisi ingin memperjelas hukum substansif tentang hukum lingkungan dan sisi lain agar ada penerapan secara progresif sesuai prinsip dasar dari konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1).
Pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai penyempurna peraturan perundang-undangan sebelumnya yaitu UU No. 23 Tahun 1997 tidak lain sebagai Pengelolaan Lingkungan Hidup bukan untuk melarang adanya kegiatan pertambangan di Indonesia. Sesuai dengan perubahan kedua UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) berbunyi : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Ide hukum lingkungan sebenarnya bersifat progresif agar suatu pembangunan dan industri menjadi terkendali, terencana hingga menjadi berkesinambungan. Oleh karenanya dalam UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Menelisik realitas Eksploitasi Sumber Daya Alam berupa kekayaan alam Kalimantan Selatan ini sejak masa kerajaan Banjar disaat penjajahan kolonial Belanda hingga sekarang terus dikuras tidak pernah berhenti.
Kekayaan alam berupa batu bara ini dikeruk dan hasilnya di angkut se enaknya dengan senyum kebahagian oleh para pengusaha tambang seakan-akan mereka tak peduli dengan dampak yang bakal di terima oleh warga Kalimantan Selatan.
Anda banyangkan sendiri, para pengusaha tambang bat bara mendapatkan perizinan 2,5 juta Ha untuk mengeruk bumi Lambung Mangkurat ini dari jumlah luas daratan Kalsel sebanyak 3,7 juta Ha, sehingga produksi tambang batu bara dalam pertahunnya mereka mendapatkan ratusan juta ton emas hitam ini meraih keuntungan dengan jumlah duit triliunan rupiah.
Sedangkan jika kita menelisik UU No.4 tahun 2009, konfensasi pembagian fee dinilai sangat tidak adil dikarenakan pemerintah pusat menerima hasil royalti cukup banyak dibanding daerah Kalsel hanya mendapatkan 10 % yang dibagi ke-13 kabupaten/kota yang ada di Kalsel, hingga perkabupaten/kota hanya’ mendapatkan sekitar 0,76% saja.
Menurut catatan Bappenas tahun 2007 yang kami dapatkan tentang hasil batu bara di Kalsel yang diekspor mencapai 1,43 miliar dolar AS dengan kurs saat itu adalah Rp 9.100, jika kita kalikan dengan rupiah, maka keutungan hasil alam bumi Lambung Mangkurat ini setara dengan Rp 13,013 triliun.
Woow…!!! jumlah duit yang sangat besar ini, namun yang sampai ke daerah hanya Rp 600-700 miliar yang dibagikan kepada pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan provinsi kebagian ‘jatah’ Rp 80-90 miliar. Sungguh jumlah yang sangat tidak setimpal dengan apa yang dihasilkan dari rusaknya lingkungan di sekitar tambang batu bara. Kalau dilihat untuk perbaikan jalan negara saja dalam APBD sudah mencanangkan sebesar 600 milyar.
Bagaimana cukup dengan jatah royalti hanya dengan kisaran Rp 80-90 miliar saja, itupun diindikasikan dana dengan dana yang ada tersebut banyak pa Ogahnya, jawabannya ada pada diri pembaca sendiri, Hehehee…? Zaman edan!!!
Berbicara masalah lingkungan, bagaimana dengan restitusi dan reklamasi lingkungan, kesehatan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam dan
Sumber Daya Manusia lainnya? Apakah mesin hukum UU No. 23 tahun 1999 tentang Hukum Lingkungan dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup benar-benar bisa jalan dengan tegak guna keseimbangan dan pelestarian lingkungan dari garapan tambang batu bara tersebut?
Fakta dilapangan jelas hasil royalti yang di dapatkan tidak adil dalam artian tidak sebanding dengan dampak negatifnya yang bakal di dapatkan oleh warga Kalimantan Selatan, Anda lihat sendiri para pengusaha tambang batu bara ini mengabaikan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Fakta dilapangan raklamsi tidak jalan maksimal, buktinya banyak lubang-lubang besar tercipta oleh hasil galian tambang batu bara tersebut dan kelak disaat teisi air hujan menjadikan bak danau tak bertuan”. Reklamasi itukan sebagaimana diatur dalam sebuah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146/KPTS-II/1999 Tahun 1999 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang Dalam Kawasan Hutan, merupakan sebuah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali bekas tambang lahan dalam kawasan hutan yang rusak akibat dari kegiatan usaha pertambangan itu sendiri agar kawasan tersebut dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya kembali.
Kemana dana reklamasi tersebut nyasarnya? Apa yang diperbuat pemangku kebijakan? Patut di duga sebagian salah masuk kantung para mafia tambang itu sendiri. Ingat !!!, kalau reklamasi ini tidak dijalankan dengan baik, saya pastikan sepuluh tahun kedepan Kalimantan Selatan akan dilanda banjir.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan 2009-2014, Alumni IAIN Antasari – Banjarmasin tahun 2000 (Fakultas Tarbiah), Alumni STIA Bina Banua – Banjarmasin (Fakultas Administrasi) tahun 2008 dan Alumni UNDAR – JOMBANG (Fakuktas Hukum) tahun 2010.