Truk Tangki Elnusa Petrofin Masuk Gudang BBM Ilegal di Muaro Jambi, Dugaan Kejahatan Migas Kembali Terulang

Muaro Jambi, SUARA KALIMANTAN Praktik dugaan kejahatan migas kembali mencuat. Satu unit mobil tangki tronton merah putih bertuliskan PT Elnusa Petrofin dengan nomor polisi B 9271 SFV terpantau memasuki lokasi gudang penimbunan BBM ilegal yang diduga milik seorang berinisial Ali Rambe, berlokasi di Jalan Aur Duri Satu, Kabupaten Muaro Jambi, pada Selasa (23/12/2025) sekira pukul 16.14 WIB.
Mobil tangki tersebut diduga membongkar atau mengurangi muatan BBM subsidi yang seharusnya disalurkan ke SPBU. Namun alih-alih menuju tujuan distribusi resmi, kendaraan pengangkut BBM itu justru masuk ke gudang yang kuat diduga tidak memiliki izin penyimpanan migas.
Ironisnya, PT Elnusa Petrofin merupakan anak perusahaan PT Pertamina, BUMN strategis yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga distribusi energi nasional. Fakta di lapangan justru menunjukkan adanya dugaan penyimpangan distribusi BBM subsidi yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat luas.
Kasus serupa disebut bukan pertama kali terjadi. Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa Polda Jambi telah berulang kali menangani dugaan keterlibatan armada Elnusa Petrofin, namun belum menimbulkan efek jera. Hal ini memunculkan pertanyaan serius publik: apakah penegakan hukum dan sanksi yang dijatuhkan terlalu ringan, atau ada pembiaran sistemik?
Meski beredar informasi bahwa sopir PT Elnusa Petrofin dan PT Jefri Abidin AB Sering dipecat, langkah tersebut dinilai tidak cukup secara hukum. Pemecatan hanya bersifat administratif internal dan tidak menghapus pertanggungjawaban pidana, baik terhadap pelaku lapangan maupun pihak yang diduga memberikan perintah atau menikmati hasil kejahatan.
Secara hukum, perbuatan ini berpotensi melanggar Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah dalam UU Cipta Kerja, yang mengatur tentang penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi. Ancaman pidananya tidak ringan, yakni penjara hingga 6 tahun dan denda puluhan miliar rupiah.
Selain itu, jika terbukti adanya kerja sama terstruktur antara pengangkut, pemilik gudang, dan pihak lain, maka praktik ini dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terorganisir (organized crime) di sektor migas, yang seharusnya ditangani secara serius dan transparan oleh aparat penegak hukum.
Publik kini menanti langkah tegas aparat. Penindakan tidak boleh berhenti pada sopir atau pekerja lapangan, melainkan harus menelusuri rantai komando, aktor intelektual, serta aliran distribusi dan keuntungan ilegal. Jika tidak, kasus serupa akan terus berulang dan hukum hanya menjadi formalitas tanpa keadilan.
Sumber : warta pembaruan.com