Warisan Adat Suku Banjar: Tradisi dari Zaman Kolonial Belanda yang Masih Terjaga hingga Kini
Banjarmasin, 13 November 2025 — SUARA KALIMANTAN

Suku Banjar di Kalimantan Selatan mempertahankan beragam adat istiadat yang berakar jauh ke masa pra-modern dan terus bertahan melewati masa kolonial Belanda sampai era republik — dari arsitektur rumah adat hingga ritual kehidupan sehari-hari yang masih dipraktikkan masyarakat sekarang.

Garis besar temuan (fakta):
Rumah adat “Bubungan Tinggi” — tipe rumah Banjar yang paling ikonik, dikembangkan dan dibakukan sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (periode yang tumpang-tindih dengan administrasi Hindia Belanda), dan tetap menjadi simbol identitas budaya Banjar.

Tradisi lisan dan kesenian (madihin, lamut, panting) — bentuk sastra lisan dan musik tradisional Banjar (madihin, lamut, panting/panting music) berkembang sebelum dan selama masa kolonial; seni ini terus diajarkan dan dipentaskan hingga hari ini.

Upacara daur-hidup dan ritual (mandi pengantin / mandi safar, bajarahan, basasuluh, badatang, badudus, batasmiah) — ritual-ritual terkait kelahiran, pernikahan, kematian, serta acara agama/komunal tercatat kuat dalam praktik masyarakat dan masih dipelihara di berbagai wilayah Banjar modern. Beberapa ritual memiliki makna pembersihan spiritual dan penguatan solidaritas antarwarga.

Peralihan dan akulturasi budaya — identitas Banjar terbentuk dari pertemuan budaya lokal dengan pengaruh Melayu, Islam, Arab, dan juga dampak administratif/ekonomi selama masa kerajaan dan kolonial; proses ini menjelaskan kenapa beberapa adat tetap hidup meski mengalami transformasi fungsi (mis. dari kepercayaan lama menjadi tradisi budaya yang dilestarikan).

Pelestarian kontemporer — praktik tradisi seperti Bajarahan (menjelang Idulfitri) dan upacara mandi-mandi pengantin tetap diselenggarakan secara rutin oleh komunitas dan menjadi fokus program kebudayaan lokal serta penelitian akademik modern.

Detail kronologis singkat:
Bukti arsitektural dan deskripsi rumah adat Banjar (termasuk Bubungan Tinggi) menunjukkan bentuknya sudah baku dan tersebar pada periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, yang bertepatan dengan pemerintahan kolonial Belanda di Kalimantan. Tradisi lisan (madihin, lamut) diperkirakan berkembang lebih awal (abad ke-18 ke atas) dan terus hidup sampai masa kolonial.

Kondisi lapangan (apa yang masih ada sekarang):
Banyak upacara adat tetap dipraktikkan di tingkat desa/kelurahan: mandi-mandi pengantin, mandi safar, bajarahan, dan sejumlah ritual komunal lainnya tercatat aktif di Kabupaten/Kota di Kalsel. Pemerintah daerah dan lembaga budaya lokal juga mencatat dan mendukung beberapa tradisi ini sebagai aset budaya.

Dampak & Signifikansi:
Pelestarian adat Banjar memberi fungsi ganda: menjaga identitas budaya lokal sekaligus berperan dalam ekonomi (pariwisata budaya) dan memperkuat jaringan sosial antarwarga. Namun beberapa penelitian akademik juga mencatat adanya proses transformasi — yaitu adat yang diubah makna atau cara pelaksanaannya agar sesuai norma agama dan kebutuhan modern.
Sumber dan rujukan utama yang digunakan:
Deskripsi etnografi dan sejarah rumah adat serta tradisi lisan: Wikipedia / Banjar people.
Inventaris tradisi lokal (pemerintah daerah Kabupaten Banjar): daftar adat yang masih eksis.
Penelitian akademik tentang ritual mandi-mandi pengantin (studi dan PDF universitas).
Makalah dan repositori UIN Antasari tentang sejarah dan akulturasi budaya Banjar.
Studi kontemporer tentang tradisi Bajarahan dan adaptasinya.
Catatan redaksi (keterbatasan fakta):
Beberapa tradisi memiliki variasi lokal yang spesifik per kampung/banjar; rilis ini merangkum pola umum yang terverifikasi dalam sumber arsip, penelitian akademik, dan dokumen pemerintahan. Untuk kutipan perorangan, data lapangan langsung (wawancara tokoh adat atau peneliti di lokasi tertentu) diperlukan untuk melengkapi nuansa lokal yang tidak tercakup di publikasi umum.
Photo dari sumber beberapa media
Red