
suarakalimantan.com | Banjarmasin; HUKUM sekarang sudah terkoyak, peradilan di Pengadilan Negeri Banjarmasin Jaksa dan Hakim sudah tidak melihat kebenaran yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Terbukti saat persidangan di Pengadilan Negeri Banjarmasin penegak hukum tersebut sudah tidak perduli apakah orang itu salah atau tidak, buktinya perkara 149 dengan mendudukan seorang yang melerai perkelahian malah di vonis pidana 6 bulan penjara.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh pengacara Aspihani Ideris, saat dia keluar dari ruang sidang di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Rabu (22/05/2024).
“Saya sedih melihat sikap JPU dan Dewan Hakim yang mengadili perkara ini, ia menyebutkan ini adalah perkara 170 KUHP Primer dan 351 KUHP Subsider Jo 55, 56 KUHP,” kata Aspihani.
Sedih rasanya penegak hukum ini sudah dibutakan, sambungnya, disini hukum sudah bukan sebagai panglima. Seharusnya lanjut dia, hukum itu sebagai landasan serta pijakan bagi kita dalam hidup bermasyarakat.
“Tanpa hukum dan aturan, manusia akan hidup sesuka hatinya. Yang lemah akan ditindas, yang kuat akan berlaku zalim sesuka hatinya. Itulah sebabnya Islam sangat memuliakan aturan (syariat) agar tercipta keadilan (Al-‘Adl) dan kemaslahatan umat,” ujarnya.
Dalam bingkai kenegaraan juga demikian, hukum adalah panglima tertinggi yang harus dihormati. Prinsip keadilan merupakan hal yang wajib dijunjung tinggi terutama bagi para-penegak hukum. Manakala hukum dipermainkan, yang tidak salah dipersalahkan, yang salah dibenarkan, maka tatanan kehidupan akan berantakan dan membuka ruang terjadinya bentuk kezaliman.
“Sebagai insan muslim yang masih ada iman, walau setitik, maka tidak lah akan berbuat zalim, karena Allah SWT tidak bakalan meridhai orang yang berbuat zalim terkecuali jikalau hamba yang dizalimi tersebut dapat memberikan ampun dan maaf-Nya,” celetuk Aspihani.
Allah memerintahkan, kata Aspihani, agar kita menyampaikan amanah dengan baik. Dan apabila kita menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
“Ingat !!! Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat, pembalasan di akhirat sangat pedih bagi kalian yang memenjarakan orang yang tidak bersalah.” tegas Aspihani.
Surat Dakwaan yang disampaikan oleh sdr. Jaksa Penuntut Umum, beber Aspihani, disusun berdasarkan dasar–dasar serta cara–cara yang sama sekali tidak dibenarkan menurut hukum, di karenakan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa merupakan sebuah kesaksian yang sangat diragukan kebenarannya dan oleh karenanya tidak sah.
Faktanya pertanyaan yang kami ajukan ke pihak saksi semuanya di jawab dengan tidak tegas alias ragu-ragu, dan bahkan di ketika kami tanyakan pakai baju apa Terdakwa II di saat kejadian pada saat Terdakwa II melerai perkelahian antara saksi korban dengan Terdakwa I ?, “dari 4 saksi saat itu yang di hadirkan JPU menjawab warna baju dengan jawaban yang berbeda ada yang menjawab tidak tau, tidak ingat bahwa Terdakwa II memakai pakaian baju apa dan warna apa. Dari ke empat yang di hadirkan Jaksa mereka menjawab klien kami menggunakan baju hem warna kuning, ada juga yang mengatakan pakaian warna merah dan ada saksi JPU itu menjawab bahwa terdakwa menggunakan kaos warna biru. Disaat kami perlihatkan foto klien kami di saat melerai perkelahian tersebut, fakta menjawab klien kami menggunakan kaos berwarna hitam. Artinya dapat di pastikan para saksi itu adalah saksi palsu,” tegas Aspihani.
Aspihani pun saat itu menyampaikan kepada hakim yang mengadili bahwa saksi yang diajukan jaksa kesaksian yang mereka sampaikan adalah kesaksian “PALSU“, “Saat itu saya langsung sampaikan ke hakim bahwa ada pasal yang mengatur tentang saksi palsu yaitu Pasal 242 KUHP. Dalam pasal ini, dijelaskan bahwa siapa pun yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, baik secara lisan maupun tertulis, diancam pidana 7 tahun penjara, dan saya meminta kepada hakim untuk memeriksa para saksi tersebut, dan saat itu malah hakim yang mengadili mengabaikan permintaan saya itu,” beber Aspihani.
Selanjutnya Aspihani pun meminta kepada saksi untuk menjelaskan tentang kejadian perkara tersebut, jawaban para saksi berbeda-beda, “ada yang menyampaikan bahwa terdakwa II merangkul saksi korban di bahu dikatakan itu adalah sama saja dengan memukul. Intinya saksi yang di ajukan oleh Jaksa patut dipertanyakan kebenarannya alias kesaksian palsu yang sudah terkondisikan,” ujarnya.
“Bahkan di ketika kami menyampaikan isi Pasal 242 ayat (2) KUHP tentang kesaksian palsu dipidana penjara paling lama sembilan tahun, malah ketua majelis meralatnya. Aneh kan? Ada apa ini?, padahal saya yakin mereka mengerti bunyi dari Pasal 49 ayat (1) KUHP, bahwa klien kami itu melerai bukan pelaku perkalian, itu tidak bisa dipidana,” terang Aspihani.
Ia pun berpesan kepada semua masyarakat, khususnya di Banjarmasin, jika melihat ada orang yang berkelahi menggunakan senjata tajam, jangan sesekali berani melerainya jika tidak ingin di penjara.
“Dalam peradilan di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Jaksa dan Hakim bersepakat, orang yang melerai sebuah perkelahian dapat dipidana, padahal dalam melerai tersebut klien kami malah luka berdarah cukup banyak di pelipis kirinya akibat di pukul oleh pelaku perkelahian tersebut. Hari ini dalam persidangan, klien kami di vonis 6 bulan penjara. Sedih rasanya penerapan hukum tidak benar dengan fakta yang tidak sebenarnya. Wahai jaksa dan hakim yang menyidangkan klien kami saat itu, kelak neraka bakal menantimu abadi disana dalam laknat Allah SWT.” tukasnya. (red)
