Sri Mulyono: Hari Lahir Pancasila Bukan Hanya Nostalgia Sejarah

SUAKA – JAKARTA. Presidium Pimpinan Nasional (Pimnas) Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Dr Sri Mulyono mengatakan, peringatan hari lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni harus dijadikan momentum untuk semakin membumikan Pancasila menjadi dasar dan landasan bagi sikap dan perilaku yang nyata dalam kehidupan sehari – hari.

Kata dia, hari lahir Pancasila bukan hanya sekadar acara seremonial tahunan dan nostalgia sejarah.

“Budaya demokrasi Pancasila sangat mendesak untuk dihadirkan dalam perikehidupan politik, terutama oleh partai-partai politik, para elit politik, para tokoh utama bangsa. Sehingga proses demokratisasi di Indonesia tidak semakin diwarnai oleh liberalisme politik yang berbiaya mahal dan jauh dari spirit persaudaraan dan persatuan. Kompetisi politik yang liberal dan berbiaya mahal (padat modal) yang bertemu dengan arus politik aliran akan bisa memunculkan efek destruktif bagi demokrasi kita,” ujar Sri Mulyono Minggu 30 Mei 2021.

Menurut dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya itu, Pancasila harus disosialisasikan dan dipraktekkan dengan semangat merangkul dan mempersatukan kemajemukan kita. Bukan memukul dan menyingkirkan karena perbedaan.

“Bhinneka Tunggal Ika adalah pesan mendasar untuk mempraktekkan Pancasila inklusif dan tidak justru dijadikan sebagai alat pukul politik. Semangat kekitaan yang harus dimajukan, bukan semangat keakuan,” ujarnya.

Dirinya meminta, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP untuk makin berperan dalam merumuskan formula operasional tentang ber-Pancasila di dalam setiap dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dengan makin banyak mengundang masukan dari berbagai elemen publik. Lebih utama lagi adalah bagi generasi baru dan kaum milenial yang mempunyai karakter dan cara pandang baru.

“Saya berharap, para aktor politik, pemerintahan dan ekonomi untuk benar-benar memperhatikan masalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Realitas kehidupan sosial dan ekonomi yang timpang adalah faktor yang paling potensial menyulut terjadinya konflik horisontal,” kata dia.

Baca Juga:  RèJO akan Putihkan GBK dengan 21 Ribu Kadernya

Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi tidak akan kesulitan mengejawantah (mewujud), jika keadilan sosial jauh di awang – awang.

“Jadi, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan adil hanya untuk golongan tertentu,” pungkas pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah itu.(witan)

Dibaca 45 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top