SUAKA – BANJARMASIN. Retorika Politik yang di Dramatisir bahkan di Simplifikasikan dan di Jeneralisasikan oleh Penyelenggara Pemilu (Pem ilukada) KPU dan BAWASLU.
Sedangkan PSU dan TSM dua sisi yang berbeda dalam penanganan atas pelanggaran MK dalam PSU PERBAWASLU atas TSM.
Hal ini terjadi pada PILKADA Provensi Kalimantan selatan yang mana ada indikasi atas pelanggaran secara TSM oleh Pasangan calon terpilih No urut 2 Sabirin dan Muhidin (BirinMU) Digugat oleh Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan dengan No. 02. Prof. H2D (H. Denny Defriy. dengan Delik Aduan Menolak Keputusan KPU dan Bawaslu Kalimantan selatan Hingga Menggugat Ke MK (Mahkamah Konstitusi).
Keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga pengawas pemilu itu tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dilakukan oleh paslon yang mengusung sumbawa gemilang dan berkeadaban itu.
Berbagai pihak banyak berspekulasi bahwa masalah ini akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Bawaslu RI. Dengan diajukan kepada dua lembaga hukum itu maka akan memberikan rasa keadilan, baik berupa pemungutan suara ulang (PSU) maupun diskualifikasi.
Namun kedua keputusan itu memiliki obyek perkara serta lembaga yang berbeda penanganannya. Sehingga proses dan mekanisme pun agak berbeda.
Diskualifikasi merupakan pemberian sanksi pembatalan terhadap pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi.
Di dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Tatacara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilukada Yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, Dan Masif (TSM), Pasal 4 bahwa Objek penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM merupakan perbuatan calon berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggaraan Pemilihan dan/atau Pemilih yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Terstruktur merupakan kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama – sama.
Sedangkan pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Begitu pun masif, dimana dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian – sebagian. Ini artinya bahwa objek perkara yang diskualifikasi yakni perbuatan curang yang berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggaraan Pemilihan dan/atau Pemilih yang terjadi secara TSM.
Begitupun dengan penanganan diskualifikasi tentu lembaga yang memiliki kapasitas dan kewenangan sebagai mana di suguhkan dalam Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020 Pasal 3, yang menyatakan bahwa Bawaslu Provinsi berwenang melakukan penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM.
Ini berarti bahwa Bawaslu merupakan lembaga yang menangani dan memeriksa pelanggaran administrasi terstruktur, sistematis, dan masif. Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Manahan Sitompul bahwa yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi TSM adalah Bawaslu karena lembaga tersebut telah memiliki kewenangan yang diatur dalam perbawaslu.
Kewenangan ini akan digunakan untuk menangani paslon yang diduga telah melakukan pelanggaran administrasi TSM. Jika terbukti maka Paslon tersebut akan diskualifikasikan.
Langkah penanganan diskualifikasi dilakukan Bawaslu, di dalam Pasal 12 Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2020, tentu penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM, Bawaslu Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM paling lama 14 (empat belas) Hari.
Jika keputusan Bawaslu provinsi tidak bisa di terima maka berhak melakukan upaya hukum melalui keberatan yang dilakukan oleh pelapor hal ini diungkapakan dalam pasal 52 yang menyatakan pelapor dapat menyampaikan keberatan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak Keputusan Bawaslu provinsi di bacakan.
Keberatan di sertai: salinan putusan Bawaslu Provinsi; surat kuasa khusus, jika pelapor didampingi atau diwakili oleh kuasa; dan memori keberatan. Ini membuktikan bahwa Bawaslu provinsi merupakan keputusan belum tetap dan final sehingga dapat dilakukan upaya hukum melalui Keberatan yang dilayangkan di Bawaslu RI.
Badan pengawas pemilihan umum itu akan menerima, memeriksa, dan memutus keberatan terhadap putusan atas laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM yang ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi. Keputusan ini berisi tentang menyatakan terlapor tidak terbukti melakukan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM.Lalu bagaimana dengan pemungutan suara ulang atau disingkat PSU.
Pemungutan suara ulang adalah proses mengulang kembali pemungutan suara di tingkat TPS.
Pemungutan Suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu) atau lebih keadaan sebagai berikut:Pembukaan kotak Pemungutan dan suara dan/atau Penghitungan Suara berkas tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan; Petugas KPPS meminta Pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada Surat Suara yang sudah digunakan; Petugas KPPS merusak lebih dari 1 (satu) Surat Suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga Surat Suara tersebut menjadi tidak sah; Lebih dari 1 (satu) orang Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari 1 (satu) kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau lebih dari 1 (satu) orang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.
Atas kejadian itu Panwas kecamatan dan Bawaslu kabupaten merekomendasikan kepada KPU kabupaten untuk diselenggarakan PSU paling lama 10 hari sejak pasca pemungutan suara di tingkat TPS. Dalam konteks pilkada sumbawa, maka rekomendasi PSU sebagai karpet merah yang dikeluarkan oleh Bawaslu sudah hangus.
Merebaknya berbagai isu bahwa mahkamah konstitusi dapat mengeluarkan keputusan PSU. Pertanyaan ini perlu di kaji kewenangan lembaga yang mengeluarkan keputusan bersifat final itu.
Di dalam UUD 1945, pasal 24C ayat 1 yang menyatakan, mahamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar; Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dari keempat kewenangan itu, tentu kewenangan terakhir yang memiliki kaitan dengan PSU, yakni Perselisihan hasil pemilu.
Perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Dalam frame pilkada tentu perselisihan hasil perolehan suara yang terjadi di pemilihan kepala daerah. Di dalam UU nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2014 tentang pilkada, Pasal 157 yang menyatakan Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Kemudian Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi. Ini membuktikan bahwa MK memiliki domain dalam menyelesaikan perselisihan penetapan perolehan suara oleh KPU, baik KPU kabupaten maupun KPU provinsi, sehingga penyelenggara pemilu tersebut akan menjadi pihak yang akan digugat oleh peserta pemilu di MK.
Sehingga yang menjadi perdebatan dan kajian di lembaga hukum tersebut menyangkut dengan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, rekapitulasi tingkat PPK, maupun KPU Kabupaten paling lama 45 hari. Sehingga keputusan yang dikeluarkan oleh MK tentu jauh dari unsur pidana karena sengketa yang diajukan kepada MK bukan sengketa pelanggaran yang bersifat TSM akan tetapi penetapan perolehan hasil oleh KPU sehingga keputusan yang akan dikeluarkan bermuara kepada pemungutan suara ulang (PSU) yang memiliki kekuatan final dan mengikat (Binding).
Penulis : Divisi Hukum 02.H2D dan Fraktisi Hukum Hj. Zakiyah Hasbyie, SH., MH.