SUAKA – PAPUA. KETUA Persekutuan Gereja Gereja Jayapura (PGGJ) di Kabupaten Jayapura pendeta Joop Suebu mengaku, tidak mengetahui kiprah organisasi yang bernama “Dewan Gereja Papua”.
Karena menurut Joop Suebu, “Dewan Greja Papua” tersebut baru dideklarasikan sekitar bulan Desember tahun 2020 lalu.
“Yang saya tahu selama ini ada Persekutuan Gereja Gereja Papua (PGGP). Kalau yang namanya ‘Dewan Greja Papua’ ini saya baru tahu. Karena baru berdiri sekitar bulan Desember tahun 2020,” jelas pendeta Joop Suebu kepada wartawan Sabtu 24 April 2021.
Belum lama “Dewan Gereja Papua” itu telah mengadukan pemerintah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas genosida orang Melanesia di Papua. Mereka mendesak agar PBB untuk menurunkan tim kemanusiaan ke Papua.
Menurut pendeta Joop Suebu, saat ini sedikitnya ada lima belas tokoh agama di Papua yang terus menyampaikan pesan kedamaian ditengah masyarakat.
Lima belas tokoh agama tersebut, lanjut Pendeta, Joop Suebu yakni; Pdt Dr Lenin Kogoya, Pdt Hiskia Rollo GKI-TP, Pdt Naftali Modouw GKII, Pastor Paulus Tumayang Keuskupan Jayapura, Pdt Joop Suebu Persekutuan Gereja-gereja Jayapura (PGGJ), Pdt Otniel Marini GPDP, Pastor Konstan Bahang Keusukupan Jayapura, Pastor Jhon Djonga Keuskupan Jayapura, Pdt Yusman Kogoya Vidi, Pdt Nathan Ayorbaba PGGP, Pdt Fransiskus Esa GGP di Papua, Pdt DR James Wambrauw Persekutuan Gereja-gereja Sekota (PGGS), Pdt Geoge Sorontou GKN Papua, Kornelius Sutriyono Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) dan Pdt Jerry Rahakbauw GPKAI.
Belasan tokoh agama Papua tersebut kata Joop Suebu berharap, apa yang terjadi di daerah konflik khususunya di Papua dapat diselesaikan dengan rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
“Saya belum mengetahui tentang adanya ‘Dewan Gereja Papua’. Yang kami lakukan terakhir ini adalah menjalin komunikasi dengan aparat pemerintah seperti Kapolda Papua, Pangdam dan aparat pemerintah lainnya,” tambah pendeta Joop Suebu.
Dirinya sangat menyayangkan bila ada pemuka agama di Papua yang melakukan politik praktis untuk menghasut, membangun sentimen negatif kepada umat atau jemaatnya yang dapat membuat runtuhnya persatuan dan persaudaraan di masyarakat Papua.
“Memang dalam alkitab diperbolehkan untuk berpolitik. Tetapi politik yang damai, politik untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat dan membangun Papua ke masa depan,” lanjutnya.
Dirinya mengungkapkan, tidak ada politik praktis di gereja. Karena gereja memang murni untuk beribadat.
Intinya kita semua beribadah di gereja, tidak membahas hal-hal lain yang dapat menimbulkan kecemasan jemaat.
“Kalau ada tokoh atau pemuka agama yang melakukan hal-hal yang bertentangan dan dilakukan di luar gereja, itu sah-sah saja. Tapi mereka punya tanggung jawab sendiri-sendiri,” ungkapnya.
Sementara itu, pendeta Jerry Rahakbauw menuturkan, selama ini para tokoh dan pemuka agama menyampaikan ajaran dan kasih dengan hati seperti yang ada di alkitab. Mereka meyakini tidak akan agama dijadikan alat politik.
“Harapan para tokoh dan pemuka agama di Papua adalah pembangunan yang merata di seluruh Papua. Tidak hanya infrastruktur saja, tapi pembangunan sumber daya manusia (SDM) harus dimajukan.
Pembangunan di Papua harus didasari dengan budaya dan tradisi Papua. Bukan didasari egoisme para pemimpin daerah atau pusat,” harapnya.
Hal senada dikatakan, pendeta Otniel Marini dari GPDP, bagaimana pun rakyat Papua tidak suka dengan kekerasan. Papua cinta akan kedamaian.
“Kami semua di Papua cinta akan kedamaian. Kami tidak ingin saling bermusuhan,” ungkapnya.
Dia pun memberikan solusi untuk menangani kasus di Papua. Dia meminta, pemerintah Indonesia untuk lebih aktif mendengarkan aspirasi dari masyarakat Papua dari semua kalangan.
Sementara itu, pendeta George Sorontou dari GKN Papua mencontohkan, dari kasus yang pernah terjadi di Aceh, harusnya peran pemerintah dapat sama dilakukan di Papua.
“Seperti yang terjadi di Aceh beberapa tahun lalu, adanya diskusi dan dialog untuk rekonsiliasi antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua selanjutnya dijadikan jalan untuk membuat rakyat Papua lebih mengerti kedepannya,” kata pendeta George Sorontou.
“Pemerintah pusat dan daerah dapat duduk bersama-sama untuk mencari akar permasalahan utama. Karena setiap permasalahan yang dihadapi, sangat penting untuk mencari titik terang bagi masyarakat Papua. Sehingga bisa mengkoreksi dan memperbaiki,” jelas pendeta George Sorontou.
Terakhir, dia menyampaikan, masyarakat Papua memang butuh keadilan. Keadilan dalam hal pembangunan yang selama ini belum sepenuhnya dirasakan. Pembangunan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan masyarakat Papua ke depan.
Sebelumnya, “Dewan Gereja Papua” mengadukan Pemerintah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas genosida orang Melanesia di Papua. Mereka mendesak PBB untuk segera menurunkan tim kemanusiaan ke Papua.
“Dewan Gereja Papua” meminta PBB ikut campur tangan atas apa yang mereka gambarkan sebagai tragedi kemanusiaan di wilayah itu. Permintaan ini disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Komisioner HAM PBB Michele Bachelet dan ditandatangani empat pemimpin Gereja, yaitu pendeta Benny Giay, Pendeta Andrikus Mofu, Pendeta Dorman Wandikbo, dan Pendeta Socratez S. Yoman.
Editori : Yohanes Eka Irawanto