Suarakalimantan.com — Jakarta — “Pendidikan ekonomi syariah di Indonesia terus berkembang. Hampir semua perguruan tinggi mempunyai program studi ekonomi syariah, Perguruan tinggi negeri maupun swasta. Indonesia berada diranking 2 dalam komponen ‘knowledge’ berdasarkan laporan Islamic Finance Development Report 2019. Pendidikan ekonomi syariah telah diterapkan pada jenjang S1, S2 dan S3 hal ini tentunya sangat positif karena hampir seluruh Fakultas Ekonomi ada program ekonomi syariahnya,” kata Farouk Abdullah Alwyni (FAA) Dosen Ekonomi Syariah Perbanas Institute saat ditemui oleh reporter di kantornya kawasan Sudirman Jakarta Pusat, Rabu, (15/07/2020).
“Sebaiknya lulusan ekonomi syariah dapat diserap di industri keuangan syariah melalui kerjasama dengan industri, karena kerjasama ini menguntungkan kedua belah pihak,” imbuh Farouk.
“Sejauh ini pemerintah secara verbal selalu mendukung ekonomi syariah siapapun Presidennya. Terakhir hal ini dibuktikan dengan didirikannya Komite Nasional Keuangan dan Ekonomi Syariah (KNKES), kebetulan kami yang menginterviu manajemen KNKES termasuk direktur eksekutifnya. Namun sejauh ini belum ada hal yang signifikan yang telah dilakukan KNKES kecuali mengadakan seminar-seminar saja. Seharusnya ada kebijakan yang diambil secara agresif misalnya konversi salah satu Bank BUMN konvensional menjadi Bank Syariah. Hingga saat ini sepertinya belum ada pemikiran ke arah sana, belum ada kebijakan yang kongkrit. Sebagian direksi KNKES mungkin berfikir bottom up, tetapi perlu juga kebijakan top down dari atas. Selain konversi salah satu Bank BUMN diatas, hal lain misalnya dalam hal perpajakan. Selama ini bila deposito di Bank konvensional dikenakan pajak 20%, hal yang sama juga diterapkan di Bank Syariah dimana bagi hasil yang ada dikenakan juga pajak 20%. Kalau pemerintah mau dukung penuh keuangan syariah mestinya ada insentif fiskal, cukup dikenakan pajak 10% misalnya. Ini kan bisa menarik nasabah lebih banyak, atau hal tersebut adalah perusahaan yang mengeluarkan sukuk juga diberi insentif fiskal dalam bentuk pajak yang lebih kecil, hal seperti inilah yang kita tunggu,” ungkap Farouk yang juga Chairman Center For Islamic Studies In Economics and Development (CISFED) ini.
“KNKES hendaknya jangan sekedar menjadi satu lembaga birokrasi baru. Diawal, sebenarnya saya sudah berfikir bahwa kurang efektif membuat lembaga ini. Untuk meningkatkan pangsa pasar keuangan Syariah sebenarnya cukup ada orang misalnya di kantor presiden yang bisa berkoordinasi dengan Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, BI, dan OJK agar bisa meningkatkan porsi kuantitatif keuangan Syariah,” tegas Farouk.
“Harapan kami pada pemerintah jika ingin meningkatkan peran perbankan Syariah segera konversi salah satu Bank BUMN yang menjadi bank Syariah, BRI atau BTN misalnya, tidak perlu dibagi dua BRI konvensional dan BRI Syariah seperti yang ada sekarang. Juga kurangi pajak bagi hasil Bank syariah dari 20% menjadi 10% pasti menarik minat masyarakat. Juga seluruh BUMN bisa diinstruksikan harus ada kuota sebahagian dananya disimpan di Bank Syariah atau keluarkan Sukuk jika butuh pendanaan. Saat ini Bank Syariah memang kita akui masih kalah dalam hal jaringan juga agresifitas dalam menjaring nasabah pembiayaan. Pada intinya lembaga ekonomi syariah harus bisa bersaing dengan lembaga keuangan konvensional. Tentunya disamping itu diperlukan juga kesadaran masyarakat untuk beralih ke lembaga keuangan syariah. Kolaborasi dari masyarakat, industri dan pemerintah tentunya akan semakin mempercepat pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia. Kedepannya juga pemerintah bisa menggunakan konsepsi ekonomi Syariah dalam mewujudkan pembangunan yang lebih berkeadilan sosial, jadi pemahaman ekonomi Syariah tidak dipersempit hanya sebatas lembaga keuangan Syariah. Maraknya kajian-kajian ekonomi syariah diharapkan bisa berkontribusi untuk pembangunan dan kemajuan Indonesia,” pungkas Farouk. (fri)