Propaganda Media Pada Pandemi Covid-19

Dalam awal tahun ini, jagat Indonesia diguncang dengan kehadiran “tamu tak diundang” yang merebak menghapus jejak pelataran diskusi terkait hilangnya eks-kader PDIP Harun Masiku, omnibus law, dan konflik intoleransi yang menjadi trending topic di berbagai media massa hingga layar televisi.

Ketiga kasus tersebut seperti ikut “terjangkit” oleh virus Corona jenis baru (Covid-19) sehingga lenyap ditelan waktu. Hingga kini, sejumlah daerah di Indonesia semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap Covid-19 yang, menurut informasi dari media, penyebarannya telah meluas. Sosialisasi pencegahan penularan Covid-19 terus digalakan di kalangan masyarakat meski melalui media massa dan online sebagai perantara.

Sebanyak 19 daerah teindikasi risiko penularan Covid-19 karena memiliki akses langsung dari dan menuju Tiongkok. Daerah itu antara lain adalah Jakarta, Tangerang, Bandar Lampung, Denpasar, Surabaya, Padang, Tarakan, Manokwari, Bandung, dan Manado.

Namun, bisa jadi, sangat sulit untuk mendapatkan bukti yang bisa membantu melacak dan mengidentifikasi virus ini. Sebab, keadaan di pasar Huanan, Wuhan, yang katanya menjadi pusat Covid-19 keadaannya tak jauh berbeda dengan situasi beberapa pasar di Indonesia.

Belakangan ini, juga ada isu yang beredar bahwa ada beberapa warga negara Indonesia telah terjangkit virus korona. Tentu hal ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, mengapa kecemasan ini dapat terjadi?

Informasi mengenai hal-hal kecil, hal yang tak semua orang tahu, yang dianggap tak penting, atau informasi yang sebenarnya tak dibutuhkan masyarakat bisa berubah menjadi besar, diketahui banyak orang, penting, dan dibutuhkan masyarakat. Peran media massa menjadi semakin penting karena kesadaran massa pada umumnya adalah kesadaran simbolis, yakni kesadaran di permukaan.

Kesadaran massa tak akan pernah menjangkau penjelasan-penjelasan detail dan rasional dari sebuah narasi yang diciptakan produsen informasi. Jadi, tak ada yang bisa disangkal jika efektivitas media massa dan daring dalam membangun opini, hingga mempengaruhi sikap dan tindakan publik.

Baca Juga:  Letkol Cpn Rahmat Dandim 1022/Tanah Bumbu sambangi Posko Pengamanan Jelang Tahun Baru 2021

Soal pemberitaan mengenai virus Corona yang kian menjadi momok menakutkan misalnya, terlihat media massa ikut berperan mempropagandakan isu. Hal ini sangat tampak, seketika ada postingan yang beredar terkait meninggal maupun sementara dirawatnya beberapa pasien yang diduga atau terindikasi positif Corona.

Namun, selang 3-5 jam kemudian, beredar infomasi di grup percakapan WhatsApp dan Facebook terkait klarifikasi dari pasien yang tadinya diduga terinfeksi Covid-19. Tentu, hal ini sangat membingungkan publik.

Propaganda media inilah yang akhirnya membuat banyak orang cemas, dan berbagai kasus yang semestinya menjadi sorotan dalam ruang diskusi seperti halnya korupsi, rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja, intoleransi, seketika hilang begitu saja dari ruang diakletika.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa ketakutan kita saat ini adalah, bukan virus itu sendiri, melainkan rasa cemas, rasa panik, ketakutan, dan berita-berita hoaks.  Oleh karena itu, media semestinya tidak turut serta menimbulkan sindrom yang berlebihan ditengah geliat perang melawan Covid-19. Media konvensional harus mampu menetralisir keadaan agar masyarakat menghadapi situasi saat sekarang tanpa ada ketakutan.

Menurut data media komunikasi dari Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IPK), jumlah media daring pada tahun 2019 ada 2.011. Sementara itu, terdapat media konvensinal dan majalah sebanyak 567 penerbit.

Yang menarik, jumlah telepon seluler yang beredar 374 juta dari 262 juta penduduk Indonesia.  Pengguna medsos yang aktif sebanyak 106 juta. Dalam pembentukan opini publik di Indonesia, angka 106 juta pengguna medsos memiliki peran yang berbeda.

Boleh jadi, ini sangat rentan mengingat media memiliki andil yang sangat besar untuk menentukan kuasa kebenaran dan realita sosial. Tak aneh jika media massa, dari, hingga media sosial menjadi ikon pembentuk kontruksi sosial.

Baca Juga:  Gugas P2 COVID-19 Kapuas Harapakan Masyarakat Patuhi Aturan PSBB.   

Seperti halnya kemenangan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di tahun 2016, disinyalir didapat dengan memanfaatkan efek media untuk menyebarkan informasi baik berupa hoax atau lainnya demi memenangkan kompetisi tersebut.

Tak hanya di AS, hal serupa pun bisa saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus ini, media massa memiliki peran besar dalam membangun opini publik terkait pencitraan, hingga dapat mendiskualifikasi kebenaran, dan membuat publik tidak lagi mampu membedakan secara jernih antara realitas, representasi, simulasi, atau hiperrealitas.

Mengutip percakapan antara wabah dan seorang kafilah dari refleksi Anthony de Mello, kepada kafilah itu wabah berkata “aku benar hanya mengambil 1000 nyawa, sisanya mati karena ketakutan.”

Refleksi seorang Anthony sungguh relevan dengan situasi saat ini. Media terkesan lebih berbahaya ketimbang virus Corona. Semoga saja pesan dari Anthony, tidak menjadi realita yang bersarang.

Media mestinya berperan meredam ketakutan masyarakat. Per tanggal 3 Maret 2020, jumlah orang yang sembuh dari Corona 45.58. Sementara, korban yang meninggal mencapai 3.085 orang. Tentu saja, presentasi orang yang meninggal sangat rendah jika dibandingkan dengan orang yang terinfeksi.

Bertolak dari hal diatas, media diharapkan dapat bersikap independen, tidak beritikad buruk, menempuh cara yang profesional dalam memberi informasi, menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, tidak menyiarkan berita berdasarkan prasangka.

Jika ada informasi yang keliru, harus segera diralat karena pada dasarnya pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makluk rasional, moral dan sosial.

Seperti yang dikatakan Charles Linberg, bahaya terbesar bagi sebuah negara terletak pada kepemilikan dan pengaruhnya yang besar dalam film, pers, radio dan pemerintah. Oleh karena itu, pers harus menjadi garam dan juga terang dalam menyebarluaskan informasi kepada publik.

Baca Juga:  Catatan Sejarah NKRI ; Sang Waliyullah dan Sang Proklamator

 

Oleh: Muhammad Levia Dava Rezeki Effendi

Pendidikan: Universitas Muhammadiyah Malang

Jurusan: Ilmu Pemerintahan

Dibaca 15 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top