ICMI Menggelar Diskusi Publik Keummatan Praktek Pernikahan Beda Agama

BANJARMASIN, SuaraKalimantan.com – IKATAN Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Kalimantan Selatan
menggelar diskusi publik keummatan dengan fokus isu agenda tersembunyi praktek pernikahan beda agama,
yang viral akhir tahun silam.
di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Selasa pagi (11/02/2020).

Prof Dr Fahmi Al Amruzi, M. Hum (Guru Besar Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin) menerangkan, dalam perspektif wahyu dibagi dua jenis agama. Yakni Samawi yang dikenal ahli kitab, dan Ardhi. Dan perspektif agama samawi ahli kitab itu masih memberikan toleransi terhadap agama agama budaya dengan tidak ada tetap tegas tidak boleh pada zaman itu

Pada awalnya Islam memperbolehkan menikah dengan pemeluk ahlul kitab, namun mengharamkan menikah dengan pasangan yang beragama Ardhi.

Bahkan sahabat Nabi Muhammad SAW, yakni Umar bin Khattab, sudah mewanti-wanti untuk tidak menikahi pasangan yang beragama selain Islam, meskipun pemeluk Ahlul Kitab.

Merunutnya, pemeluk ahli kitab tidak lagi berpedoman dengan kitab suci yang diwahyukan kepada nabi sebelum Rasulullah. “Apakah bisa dikatakan ahli kitab, ketika kitab sucinya tidak murni lagi, apalagi zaman sekarang,” ucapnya.

Kemudian Ia menegaskan, menikah berbeda agama tidak bisa didasari dengan argumentasi Hak Asasi Manusia, sebab bertentangan dengan akidah. Kalau akidahnya tidak sama, maka tidak boleh (menikah). Itu sudah ada kesepakatan majelis-majelis agama, masing-masing menghormati, mereka menikah dengan agama masing-masing,” tegas Pengajar magister Hukum UIN Antasari ini.

Pada kesempatan Saubari, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kertak Hanyar, mengatakan larangan menikah beda agama tercantum dalam pasal UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, kemudian diperkuat Fatwa MUI Tahun 1980, serta keputusan dua organisasi besar Islam, NU dan Muhammadiyah.

Baca Juga:  Belasan Ribu Pengurus dan Kader, Hadiri Rapimnas Partai Demokrat di Bogor

“Maka jelas tidak ada ruang lagi untuk menikah beda agama, baik dalam perspektif hukum maupun agama,” jelasnya.

“Dan celah untuk menjerat ke ranah pidana menikah beda agama itu tipis. Sebab, UU Perkawinan yang menata ranah privat praktis masuk ranah perdata.

Pada dasarnya menikah beda agama bisa ditarik ke hukum pidana, dengan dasar argumentasi penistaan agama sesuai dengan KUHP Pasal 156.

“Dan peristiwa 15 Desember lalu yang terjadi, apakah itu memenuhi pasal penodaan agama atau bagaimana, sekarang kawan – kawan masih melakukan kajian secara mendalam” ungkapnya.

Sementara, Sekretaris ICMI Kalsel Taufik Arbain menyampaikan, diskusi ini sebagai bentuk jawaban atas keresahan yang terjadi di tengah masyarakat, ihwal peristiwa pernikahan beda agama akhir tahun lalu.

“Kami tidak berniat mendahuli ormas Islam lainnya seperti NU, dan Muhammadiyah. Akan tetapi, ini sebagai tanggung jawab kami yang tergabung dalam ICMI,” ujar akademisi FISIP ULM ini.

ICMI menegaskan, Terjadi pro-kontra pernikahan beda agama jangan sampai merusak rasa keagamaan, keislaman, termasuk relasi ke-Indonesian. “Kegiatan ini didedikasikan, bagaimana harmoni terbangun antar anak bangsa dan antar agama. Sehingga kita bisa memaknai bahwa apakah pernikahan beda agama terjadi pelanggaran hukum negara ataukah juga berhubungan sangat fundamental dalam agama dan nilai pancasila” tegas Taufik Arbain.(@tim/sk)

Dibaca 21 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top