SUAKA – KALSEL – Perusahaan Daerah (PD) Baramarta pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) yang beroperasi di wilayah Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan disinyalir mengabaikan tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap lingkungan.
Salah satu tokoh pemuda di Kecamatan Sungai Pinang, Mahyuni mengatakan, PD Baramarta selama ini tidak pernah peduli dengan masyarakat terdampak akibat aktifitas tambang batubara dibawah koordinasi PD Baramarta.
Menurut Mahyuni, disaat pihaknya mempertanyakan kepihak PD Baramarta di kantornya di Martapura, salah satu karyawan PD Baramarta saat mengatakan, permasalahan CSR itu sudah sejak lama di kelola oleh LSM Bina Lingkungan Hidup Kalimantan (BLHI Kalimantan).
“Anda temui saja pimpinan BLHI saudara Badrul Ain kalau menanyakan permasalahan Corporate Social Responsibility (CSR), karena CSR PD Baramarta sejak dulu sudah dikelola lembaga tersebut,” ucap Mahyuni seakan-akan menirukan ucapan pegawai PD Baramarta tersebut kepada wartawan, Jum’at (1/11/2019).
Mahyuni memaparkan, hampir 7 tahun berjalan ini PD Baramarta tidak pernah memberikan bantuan sosial yang berarti terhadap masyarakat sekitar lingkungan wilayah pertambangan PKP2B PD. Baramarta. “Tahun 2011san dulu pernah masyarakat menerima bantuan sosial penyaluran CSR tersebut, namun itupun sangat tidak maksimal dan sangat jauh dari harapan yang diinginkan masyarakat,” ujar Mahyuni.
Kita tidak tahu jelas, ucap Yuni, patut diduga apakah ini ada permainan PD Baramarta atau BLHI bermain? “Disaat kami menemui pak Badrul saya diminta menemui pak Husaini di PD Baramarta, dan oleh pak Husaini saya di minta menemui pak Badrul. Sepertinya saya seperti dijadikan Bola Pingpong,” tukas Yuni panggilan akrabnya.
“Disaat mau merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia kami pernah mengajukan proposal minta bantuan dana untuk kegiatan tersebut, namun tidak pernah ditanggapi, bahkan Proposal Langgar Muhajirin RT 02 Desa Sungai pinang saja sampai sekarang tidak pernah di perhatikan juga,” jelas Yuni.
Wakil Direktur Indonesian Corruption Monitoring (ICM), Wijiono, SH, MH mengatakan sebuah perusahaan yang mendapatkan hasil produksi dari Sumber Daya Alam menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, maka bertanggung jawab sosial dan lingkungan guna pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, katanya saat dihubungi awak media ini lewat telepon, Jum’at (1/11/2019).
“Kan PD Baramarta ini milik Pemkab Banjar, seharusnya kewajiban memberikan bantuan sosial lewat program CRS itu wajib diutamakan, apalagi wilayah Kecamatan Sungai Pinang itukan bagian dari wilayah Kabupaten Banjar juga,” ucap Mas Wiji panggilan akrabnya.
Dari data yang didapatkan, PD Baramarta mendapatkan hasil Sumber Daya Alam berupa tambang batubara di wilayah Kecamatan Sungai Pinang tersebut cukup banyak, Tahun 2011 PD Baramarta mendapatkan sekitar Rp 45 Miliar, Tahun 2012 Rp 49 Miliar, dan Tahun 2013 mencapai Rp 53 Miliar, “Jadi jika PD Baramarta tidak menyalurkan CSR nya di wilayah Kecamatan Sungai Pinang, maka itu merupakan hal yang sangat tidak wajar dan memalukan“, papar Wijiono.
Senandung nada, Sekretaris Dewan Pembina dan Penasehat Perkumpulan Pengacara dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI), Drs. Abdussani, SH, M.I.Kom mengatakan, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau Corporate Social Responsibility (TJSL) itu wajib dilaksanakan oleh perusahaan tambang batu bara sekelas PD Baramarta.
Abdussani berkata, Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Bang Sani panggilan akrabnya dalam keseharian ini menjelaskan, selain itu dalam Pasal 16 UU 25/2007 juga diatur bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari TJSL.
Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007, penanam modal dapat dikenai sanksi adminisitatif berupa Peringatan tertulis; Pembatasan kegiatan usaha; Pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau Pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Selain dikenai sanksi administratif, menurut bang Sani, penanam modal juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) UU 25/2007). (kir)