MARTAPURA. Retaknya kampung warga di Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan membuat sejumlah masyarakat membongkar rumahnya. Pasalnya mereka khawatir rumah tempat mereka bernaung ambruk dampak dari tanah sekitar kampung retak-retak akibat operasi tambang bawah tanah milik PT Merge Mining Industry (MMI).
Investigasi dari tim hukum Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM KALIMANTAN) lewat salah satu Wakil Sekretaris Jenderalnya Wijiono SH MH mengatakan, Area perkebunan, persawahan dan permukiman masyarakat di Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, banyak terlihat retak-retak.
“Tambang sistem Underground yang dilakukan PT Merge Mining Industry (MMI) sangat membahayakan keselamatan warga loh, karena ini berdampak pemukiman warga bisa ambruk. Saya harap pihak Kementerian ESDM mengkaji ulang izin mereka,” tegas mas Wiji panggilan akrabnya dalam keseharian kepada sejumlah wartawan, Senin (21/10/2019)
Menurut Wiji, insiden tanah retak-retak tersebut diduga kuat akibat terimbas praktik pertambangan bawah tanah (underground mining) milik PT Merge Mining Industry (MMI) yang sudah beroperasi dengan gencar-gencarnya tanpa memperdulikan lingkungan yang ada.
Wijiono berkata, PT Merge Mining Industry ini merupakan perusahaan tambang bawah tanah milik pengusaha asal Tirai Bambu Tiongkok yang mendapat persetujuan dari Kementerian ESDM RI dengan status IUP Penanaman Modal Asing (PMA).
Retaknya alam lingkungan di Desa Rantau Bakula Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar ini jelas mebuat resah warga yang tinggal, “Bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasa 65 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009,” tutur Advokat P3HI ini.
Oleh karenanya, ditegaskan oleh mas Wiji, setiap perijinan lingkungan hidup yang ada harus berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti mengacu pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Ijin Lingkungan; Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 17 tahun 2012, tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan izin Lingkungan.
Selanjutnya Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pengacara Dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI) ini juga menjelaskan, sebuah perusahaan untuk mendapatkan ijin lingkungan, yang paling penting itu melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang terdampak langsung.
“AMDAL PT Merge Mining Industry (MMI) ini dalam usaha pertambangannya patut dipertanyakan, apakah sesuai dengan koridur ketentaun yang ada dengan mengundang atau menghadiri acara sosialisasi dan/atau konsultasi publik pada proses pembuatan AMDALnya?. Seperti dalam Permen LH No. 17 tahun 2012, masyarakat yang terkena dampak dapat memilih dan menetapkan sendiri wakilnya duduk sebagai anggota Komisi Penilai Amdal yang dilibatkan dalam proses penilaian dokumen Amdal dan RKL-RPL melalui rapat Komisi Penilai AMDAL,” jelas Wijiono dalam paparannya.
Investigasi lembaga kami di lapangan, lokasi amblesnya tanah warga terjadi tepat di kawasan RT 02, Desa Rantau Bakula. Di bawah permukiman dan kawasan perkebunan serta pertanian tersebut itulah PT Merge Mining Industry (MMI) tepat mengoperasikan pertambangan bawah tanah untuk mengeruk hasil alam berupa batu bara.
Terlihat jelas, tanah yang mula rata, berubah bentuk menjadi bergelombang dan retak-retak. Akibat itulah ujar mas Wiji membuat sebagian warga merasa resah mulai dan secara bertahap membongkar rumah lantaran tak memungkinkan lagi bermukim di kawasan RT 02 Desa Rantau Bakula tersebut.
Apalagi bising dan debu crusher batu bara PT Merge Mining Industry (MMI) sepertinya sangat mengganggu ketenangan warga yang bermukim di sekitar aktivitas tambang perusahaan dari negeri cina ini.
“Intinya dalam beroperasi, PT Merge Mining Industry (MMI) jelas-jelas melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan mengabaikan ketenangan lingkungan sekitar,” papar Wijiono.
Senandung nada juga, Syamsir yang merupakan seorang tokoh pemuda Kecamatan Sungai Pinang ini membenarkan pihak PT Merge Mining Industry (MMI) beroperasi pertambangan batu bara menggunakan system underground alias tambang bawah tanah.
“Memang benar mas di bawah sini (seraya menunjuk kebawah tanah) lokasi tambang milik PT Merge Mining Industry). Dan tanah disekitar kampung kami ini banyak retak-retak,” ujar Syamsir merupakan salah satu warga terdampak tanah ambles, mengatakan kepada sejumlah wartawan Senin (21/10/2019).
Menurut Syamsir, akibat insiden amblesnya tanah di Desa Rantau Bakula bukan kali pertama terjadi dan keluhan masyarakatpun seperti diabaikan oleh pihak PT Merge Mining Industry (MMI). Bahkan tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap warga sama sekali tidak ada.
“Kami warga Sungai Pinang ini sempat melancarkan aksi protes dengan menghadang operasi tambang di terowongan tambang PT Merge Mining Industry (MMI) dikarenakan banyaknya kebun dan sawah warga retak-retak dan ini sudah berjalan sejak tahun 2016 sampai sekarang. Namun, pihak perusahaan tetap tak peduli dengan kami sebagai warga yang jelas-jelas terdampak
Sebagai salah satu tokoh pemuda Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, Syamsir merasa tertantang atas sikap PT Merge Mining Industry (MMI) yang sepertinya tutup mata dan mengabaikan warga yang terimbas akibat aktivitas tambang batu bara system tambang bawah tanah ini,.
“Jika kita diam, siapa tau tahun depannya kampung kami sudah ambruk, dari itu sebelum terlambat dan penyelasalan yang akan didapat, saya dan kawan-kawan di Sungai Pinang ini akan berupaya melakukan langkah terbaik untuk warga. Inti jangan sampai warga dirugikan,” tutur Syamsir seraya menutup pembicaraannya.
Dikutip dari situs halaman resmi Kementerian ESDM RI, modi.minerba.esdm.go.id, PT Merge Mining Industry (MMI) mendapatkan izin eksplorasi sejak tahun 2011. Sementara, untuk tahapan kegiatan operasi produksi sudah dimulai dari tahun 2016 dengan luas lahan 1170.7 hektare.
Hingga berita ini diterbitkan oleh tim redaksi, belum bisa menghubungi pihak perusahaan dan tidak ada keterangan resmi dari pihak manajemen PT Merge Mining Industry (MMI) tentang upaya penanggulangan amblesnya tanah perkampungan warga di Desa Rantau Bakula Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. (Yun)