Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan rata-rata produksi dari tahun 2010 hingga 2014 sebesar 25.462.032 ton atau setara 48,44 persen produksi kelapa sawit dunia, disusul Malaysia dan Thailand dengan rata-rata produksi berturut-turut sebesar 18.714.748 ton dan 1.970.000 ton. Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2014 menurut Kementerian Pertanian adalah sebesar 29.278.189 ton dan diperkirakan mencapai 35.359.384 ton pada tahun 2017.
Menurut publikasi Kementerian Pertanian yang berjudul “Outlook Kelapa Sawit 2017”, produktivitas minyak sawit di Indonesia sebesar 17,09 ton/hektar pada tahun 2014, menempati urutan ketujuh negara dengan produktivitas minyak sawit terbesar di dunia. Masih di tahun 2014, produksi minyak sawit di Indonesia mencapai 5.855.638 ton dan naik menjadi 6.214.002 ton pada tahun 2015. Produksi minyak sawit di Indonesia tahun 2017 diperkirakan mencapai 7.071.877 ton. Provinsi sentra produksi minyak sawit terbesar di Indonesia yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Jambi.
Dari produksi kelapa sawit yang begitu besar, sektor ini tentunya menjadi penyumbang devisa negara yang potensial. Dengan volume ekspor sebesar 22.759.305 ton atau setara dengan US$14.365.422.000, neraca ekspor-impor kelapa sawit Indonesia surplus sebesar US$14.361.306.000 pada tahun 2016. Sementara untuk neraca ekspor-impor minyak inti sawit surplus sebesar US$1.910.504.000 pada tahun 2016. Tercatat dari tahun 2009 hingga 2013, Indonesia masih menduduki peringkat pertama sebagai negara eksportir minyak sawit terbesar di dunia dengan rata-rata ekspor 17.776.162 ton atau setara dengan 47,16% ekspor minyak sawit dunia.
Namun di samping itu semua, perkebunan kelapa sawit ini menuai polemik terutama dari segi lingkungan. Isu utama dari perkebunan kelapa sawit adalah deforestasi atau penebangan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan. Hingga tahun 2015, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 11 juta hektar dari yang mulanya hanya seluas 294 ribu hektar pada tahun 1980. Menjadikan kelapa sawit salah satu penyebab utama penebangan hutan tropis di Indonesia. Menurut sebuah laporan yang berjudul “Study on the environmental impact of palm oil consumption and on existing sustainability standards” oleh 3Keel LLP dan LMC International Ltd., persentase penebangan hutan di Indonesia yang diakibatkan oleh kelapa sawit diperkirakan sebesar 11% (antara tahun 2000 sampai 2010) hingga 16% (antara tahun 1990 sampai 2005). Sebuah studi mengungkapkan bahwa 54% perkebunan kelapa sawit di Indonesia berasal dari daerah yang dulunya hutan pada tahun 1989.
Selain itu, emisi gas rumah kaca juga merupakan isu lingkungan yang harus dihadapi. Deforestasi di daerah tropis menyumbang sekitar 10 persen dari CO2 buatan manusia, yang dapat berdampak pada perubahan iklim yang berbahaya. Berkurangnya keanekaragaman hayati, serta rusaknya habitat, yang mengarah pada matinya spesies yang terancam punah seperti orang utan, gajah sumatera, harimau sumatera, dll.
Lahan bekas perkebunan sawit sulit untuk digunakan kembali. Setelah 25 tahun masa panen kelapa sawit, lahan yang ditinggalkan akan menjadi semak belukar dan/atau lahan kritis baru. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar. Hal ini tidak terlepas dari “rakusnya” unsur hara dan kebutuhan air tanaman sawit yang sangat tinggi.
Bak kata pepatah, “seperti makan buah simalakama”. Kelapa sawit merupakan sektor yang menjanjikan untuk menyumbang devisa negara. Namun di sisi lain, pengalihan fungsi hutan sebagai sumber kehidupan menjadi perkebunan yang tanahnya sulit untuk diolah kembali bukanlah sesuatu yang benar. Semua pihak yang terlibat pada sektor ini perlu untuk merumuskan kembali bagaimana agar lingkungan tetap terjaga. Karena kita tidak ingin mewariskan alam yang rusak dan tidak layak untuk ditinggali bagi generasi mendatang demi kenikmatan sesaat.
Ditulis oleh: Faizal Ramli, Mahasiswa Peminatan Statistika Ekonomi, Program Studi D4 Statistika, Politeknik Statistika STIS