Koleksi Gambar : H. Abdullah Sani, S.H., M.Ag. berfoto bersama ayahda beliau tercinta H. Muhammad Jafar Arsyad (almarhum)
SETIAP KAUM muslimin pada tanggal 10 Dzulhijah melaksanakan perayaaan ‘Idul Adha atau ‘Idul Korban (hari raya korban) atau Hari Raya Haji pada hari ini semua umat muslim berkumpul di Arafah untuk menunaikan ibadah haji dengan berpakaian ihram putih sebagai simbolisasi kembali kepada fitrahnya sebagai hamba Allah yang bersih dan salih dan bertawakkal kepada kehendak Sang Pencipta alam dan manusia yang ketika lahir insan manusia dalam keadaan tak memiliki apa-apa sebagai pengemban amanah-amanah Allah SWT.
Dalam jejak rekam ‘Idul Adha atau ‘Idul Korban ini memiliki historis ketakwaan dari seorang hamba Allah yang bernama Nabi Iberahim dan Nabi Ismail yang terlahir dari seorang perempuan yang tabah dan solihah serta sabar di dalam menjalani ujian dari Allah SWT.
Perempuan sholihah itu adalah Siti Hajar. Bunda Siti Hajar dengan tulus ikhlas menerima anjuran suaminya Iberahim untuk ditempatkan dipadang tandus yang luas dan gersang sepi tanpa dihuni oleh seorang manusia pun tinggal bersama puteranya yang masih kecil (Ismail) atas dasae ketulusan untuk menerima perintah dari Allah baik bagi Nabi Ibrahim sendiri, Siti Hajar maupun puteranya Ismail yang sampai sekarang menjadi simbolisasi ketakwaan atau suri tauladan bagi umat muslim
Ash-Shaffat ayat 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
Tafsir Kementerian agama RI
Kemudian ayat ini menerangkan ujian yang berat bagi Ibrahim. Allah memerintahkan kepadanya agar menyembelih anak satu-satunya sebagai korban di sisi Allah. Ketika itu, Ismail mendekati masa balig atau remaja, suatu tingkatan umur sewaktu anak dapat membantu pekerjaan orang tuanya.
Menurut Al-Farra’, usia Ismail pada saat itu 13 tahun. Ibrahim dengan hati yang sedih memberitahukan kepada Ismail tentang perintah Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui mimpi. Dia meminta pendapat anaknya mengenai perintah itu. Perintah Tuhan itu berkenaan dengan penyembelihan diri anaknya sendiri, yang merupakan cobaan yang besar bagi orang tua dan anak.
Sesudah mendengarkan perintah Tuhan itu, Ismail dengan segala kerendahan hati berkata kepada ayahnya agar melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepadanya. Dia akan taat, rela, dan ikhlas menerima ketentuan Tuhan serta menjunjung tinggi segala perintah-Nya dan pasrah kepada-Nya. Ismail yang masih sangat muda itu mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia tidak akan gentar menghadapi cobaan itu, tidak akan ragu menerima qada dan qadar Tuhan. Dia dengan tabah dan sabar akan menahan derita penyembelihan itu. Sikap Ismail sangat dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِسْمٰعِيْلَ اِنَّهٗ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلًا نَّبِيًّا
Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur’an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi. (Maryam 19: 54)
Dari berbagai uraian tafsir tersebut diatas ada beberapa suri tauladan yang berisi edukasi ajaran takwa antara lain sebagai berikut :
- Ketakwaan Nabi Iberahim dalam menerima perintah Allah SWT.
- Ketulusan hati Siti Hajar menerima perintah suaminya Nabi Iberahim untuk melaksanakan perintah Allah.
- Ketulusan hati dan motivasi ismail kepada ayahnya Nabi Iberahim untuk melaksanakan perintah dari Allah.
Meskipun perintah penyembelihan Ismail adalah sebagai ujian ketakwaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim, bukanlah hewan kambing pengganti itu yang menjadi tolak ukur ketaqwaan, akan tetapi ketulusan dan keikhlasan dari hati nabi Ibrahim untuk melaksanakan Perintah Allah, meskipun harus mengorbankan anaknya yang masih kecil, begitu pula bagi Ismail ia adalah pendukung keikhlasan bagi ayahnya Ibrahim untuk bertaqwa kepada Allah SWT.
Korelasi faktual dari hikmah ‘Idul Adha ini adalah Kecintaan seorang anak kepada ayahnya, sehingga mau mengorbankan dirinya untuk mendukung ketakwaan ayahnya demi melaksanakan perintah Allah SWT. Hal ini yang harus menjadi suri tauladan ketaqwaan seorang anak kepada orang tua.
Ditulis oleh H. Abdullah Sani, S.H., .M.Ag. (Haji Dudung).
Penulis adalah Advokat dari Perkumpulan Pengacara dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI) dan juga salah satu Wakil Direktur LBH LEKEM KALIMANTAN