BANJARMASIN, SuaraKalimantan.com – Tekanan Eropa terhadap industri kelapa sawit Indonesia sangat berdampak pada petani rakyat secara psikologis. Petani di lapangan mempersepsikan tekanan Eropa terhadap kelapa sawit di Indonesia sebagai bentuk diskriminasi kepada masyarakat pedesaan yang berusaha untuk survive mempertahankan mata pencahariannya.
“Perlu pendekatan yang lebih people re-oriented dalam mengelola industri kelapa sawit kita,” kata Dr. Fransiscus X. Supiarso, yang ditemui usai mempertahankan disertasinya di Universitas Indonesia, Depok, 8 Juli 2019.
Ia katakan, langkah yang diterapkan Eropa terhadap industri kelapa sawit Indonesia itu secara akademis makin menyadarkan kita pentingnya definisi kesejahteraan sosial tidak dilihat dari dikotomi kepentingan lingkungan dan ekonomi, melainkan juga ke aspek humanisme-nya. Keseimbangan ketiga aspek harus diperhatikan. Apalagi, persaingan minyak nabati di pasar global, menurutnya, selalu berdampak kepada petani.
Frans Supiarso yang menjadi doktor bidang Kesejahteraan Sosial mengangkat penelitian dengan judul “Analisis Morfogenetik Pemberdayaan dan Kesejahteraan Pekebun Plasma di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Hasil penelitiannya menegaskan kembali bahwa pola kemitraan petani dan pekebun plasma merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk desa.
Menurutnya, keberhasilan kemitraan jangan dilihat dari meningkatnya pendapatan ekonomi tetapi harus dapat dilihat dari tiga karakteristik. Pertama, kemitraan harus diukur dari bagaimana social problems dapat dikelola masyarakat. Kedua, sejauh mana kemitraan memengaruhi kemampuan masyarakat dalam memenuhi social needs dan ketiga sejauh mana kemitraan membuka kesempataan untuk peningkataan lebih lanjut.
Dalam penelitian yang ia lakukan, ditemukan bahwa organisasi petani seperti koperasi memainkan peran penting dalam menciptakan kesejahteraan petani. “Tanpa ada koperasi maka tidak ada interaksi pekebun yang menjadi syarat untuk melahirkan kepentingan bersama,” ujarnya sambil mengutip pendekatan morfogenetik yang ia gunakan dalam penelitiannya ini.
Ia menegaskan, kebijakan kemitraan mulai dari undang-undang hingga peraturan pemerintah disusun oleh pemerintah pusat berdasarkan asumsi umum sementara pelaksanaanya di lapangan akan menemui keadaan yang khusus dan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain. Oleh sebab itu jalan keluarnya juga harus khusus dan disusun bersama antara perusahaan dan koperasi sebagai wadah interaksi agar tercapai tiga karakteristik definisi kesejahteraan sosial.’ ungkapnya, (@tim/sk)