Oleh : RIZAL NAGARA
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” -Pramoedya Ananta Toer
Pemilu serentak Pemilihan Presiden dan Pemilihan Calon Legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 sudah selesai, tetapi ketegangan masih saja berlangsung hingga sekarang.
Tim Kuasa Hukum BPN Resmi Gugat Hasil Pemilu
KPU pada dini hari tanggal 21 Mei 2019 juga sudah menetapkan rekapitulasi hasil perhitungan suara tingkat nasional yang meliputi 34 provinsi dan 130 wilayah luar negeri. Dari hasil rekapitulasi tersebut, KPU menetapkan pasangan Jokowi-Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.
Setelah pengumuman hasil rekapitulasi oleh KPU, isu-isu kecurangan, provokasi dan propaganda mulai bermunculan, apalagi di media sosial. Banyak media-media kredibel yang memberikatan informasi dengan benar, tapi juga tidak sedikit media-media yang menyebarkan informasi hoax yang belum tentu kebenarannya.
Setelah pengumuman oleh KPU, aksi massa pun tidak terhindarkan, kantor KPU dan Bawaslu menjadi sasaran aksi massa. Bahkan dalam aksi massa tersebut sampai terjadi bentrok dengan petugas keamanan yang terdiri dari TNI – Polri dan elemen lainnya. Tuntutan aksi massa hanya satu, menuntut keadilan dalam penyelenggaraan pemilu.
Kembali lagi ke pembasan, Isu yang paling sering diangkat kepermukaan oleh kubu Prabowo-Sandi adalah terkait kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) yang dilakukan oleh kubu Jokowi-Amin.
Tim BPN Prabowo-Sandi yang sebelumnya tidak ingin menggugat hasil pemilu secara konstitusional ke MK pun langsung berubah pikiran. Tidak lain karena tuntutan pendukung yang merasa dicurangi dalam pemilu. Sehingga sehari sebelum masa gugatan berakhir, tepatnya pada tanggal 24 Mei 2019 tim kuasa hukum BPN yang diketuai Bambang Widjojanto resmi mengajukan gugatan kepada MK terkait putusan KPU.
Terkait dengan kecurangan TSM yang menjadi salah satu tuntutan BPN Prabowo-Sandi, saya tertarik untuk mempertanyakan, walaupun saya tidak ada dasar ilmu hukum secara formal, tetapi mencoba untuk menelisik.
Yang pertama terkait dengan TSM, yang dimaksud oleh kubu Prabowo-Sandi, yang dimaksud kecurangan TSM, TSM yang seperti apa? Apakah dirtikan mengacu pada kesalahan perhitungan sistem situng? Sedangkan dari 269 kasus kesalahan input situng, hanya sekitar 35% kesalahan input yang berdasar dari laporan masyarakat, sisanya sekitar 65% merupakan temuan sendiri KPU karena human error. Katanya. Kata siapa? Kata Arief Budiman (Ketua KPU)
Berdasarkan laporan serta temuan dari KPU sendiri pun, sistem kesalahan situng tidak hanya merugikan kubu Prabowo Sandi, tetapi juga banyak merugikan dengan mengurangi jumlah perolehan suara Jokowi Amin. Tetapi tidak kita pungkiri, bahwa yang beredar di media sosial kebanyakan hanya sistem situng yang mengurangi suara Prabowo-Sandi. (Silakkan baca berita di media kredibel, jangan yang tendensi ke salah satu paslon)
Yang kedua, Kalaunya TSM yang dimaksud berupa menggerakan massa ASN ataupun Pegawai-pegawai BUMN, faktanya yang saya tau informasinya dari lembaga-lembaga survey, dalam tataran ASN Prabowo-Sandi menang dengan angka yang telak yaitu 78%. Dan ditataran pegawai BUMN yang notabene lingkup usaha milik pemerintah, Prabowo-Sandi juga menang dengan angka yang telak yaitu 72%.
Entah bagaimana kebenarannya, tetapi jika saya melihat hasil survey tersebut dengan kacamata pribadi, kekalahan telak di ASN dan pegawai BUMN ini bisa jadi salah satu bukti bahwa tidak adanya intervensi dari paslon incumbent kepada ASN dan pegawai BUMN. Ini sudut pandang saya.
Yang ketiga, jika TSM yang dimaksud menuduh penyelenggara pemilu yaitu KPU yang kongkow dengan salah satu paslon. Setelah saya pelajari terkait proses penjaringan komisioner KPU yang terdiri dari 7 orang, yaitu Arief Budiman sebagai ketua. Adapun 6 komisioner KPU lainnya ialah Ilham Saputra, Evi Novida Ginting Manik, Wahyu Setiawan, Pramono Ubaid Tanthowi, Hasyim Asy’ari, dan Viryan.
Perlu diketahui bahwa yang menjaring calon komisioner KPU merupakan wewenang dari Komisi II DPR RI. 5 dari 7 orang komisioner KPU RI yang ada sekarang ini adalah usulan dari Fraksi Gerindra, Fraksi PAN, Fraksi PKS, dan Fraksi Demokrat. Sehingga jika melihat peta politik sekarang ini sangat kecil kemungkinan KPU melakukan kecurangan TSM seperti yang disebutkan diatas.
Jika kita berbicara tentang kecurangan pemilu secara umum, saya meyakini baik dalam pileg atau pilpres pasti ada kecurangan yang dilakukan, baik berupa money politic, penyebaran isu atau berita hoax, fitnah yang cenderung mendiskreditkan salah satu paslon dan kecurangan-kecurangan lainnya. Dalam konteks ini, perlu digaris bawahi bahwa yang melakukan kecurangan tidak mesti paslon, tetapi bisa dilakukan oleh tim pemenangan.
Kita ambil contoh, tidak perlu jauh-jauh. Dalam pengalaman pribadi, sewaktu masa tenang menjelang sebelum pemilihan umum pada tanggal 17 April 2019. Saya sendiri menyaksikan, bukan orang lain, ini saya sendiri melihat bahwa kecurangan-kecurangan itu memang ada. Baik pilpres atau pileg, baik paslon 01 atau 02, baik dari partai pendukung pemerintah atau oposisi. Ini bukan cerita orang lain, saya sendiri yang melihat kecurangan yang masif di daerah saya, Kalimantan Selatan.
Politik uang merupakan menu wajib dan menjadi rahasia umum dalam setiap pemilu. Saat menjelang pemilihan, tepatnya dimasa tenang saya pernah menyuarakan dan melakukan manuver di media sosial, dengan membagikan foto serta uang yang sudah didistribusikan ke masyarakat dengan dalih minta dicoblos sewaktu pemilu berlangsung. Lalu apa yang terjadi?
Saat saya membagikan di akun media sosial, beberapa orang yang cukup berpengaruh, mereka turut mengomentari melalai pesan pribadi. Singkatnya dia berpesan “Hati-hati, preman politik sedang bertebaran dimana-mana, bisa jadi anda menjadi salah satu targetnya”.
Kemudian ada pula salah satu orang yang termasuk penyelenggara pemilu mengirimkan pesan, “Lebih baik langsung laporkan ke Bawaslu, daripada di sebarluaskan di media sosial, terlalu berbahaya”. Kenapa berbahaya, karena saat itu yang saya bagikan tidak hanya bukti uang, tetapi foto kontestan dan paslon yang melakukan kecurangan.
Kembali lagi ke TSM yang dilaporkan oleh Tim BPN Prabowo-Sandi, TSM yang seperti apa yang dimaksudkan masih belum cukup jelas. Apakah melakukan kecurangan dalam perhitungan pilpres atau TSM dalam artian adanya intervensi dari salah satu paslon terhadap aparatur negara dan pegawai BUMN untuk menggalang suara serta dukungan atau kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Kalau kita tafsirkan hanya dalam konteks itu, saya rasa terlalu sempit. Saya bukan ahli hukum, bahkan tidak paham betul bagaimana sistematika pengalambilan keputusan di MK. Tetapi pada dasarnya pemilu serentak 2019 ini tidak hanya tentang Pilpres, tetapi Pileg. Kalau pemilu dikatakan curang, maka kecurangan itu tidak hanya terjadi di Pilpres, tetapi Pileg juga, bahkan lebih marak.
Karena Caleg secara terang-terangan membagikan uang dan sejenisnya ke masyarakat. Sekali lagi tidak hanya Caleg dari partai pemerintahan, tetapi dari partai oposisi. Tidak hanya dari partai pendukung Jokowi, tetapi juga partai pendukung Prabowo.
Saat ini, tepatnya pada tanggal 14 Juni 2019 sedang berlangsung sidang pertama di MK terkait penolakan atas hasil pemilu oleh BPN Prabowo-Sandi yang akan memutuskan lanjut atau tidaknya sengketa ke tahapan persidangan dengan mempertimbangkan permohonan serta barang bukti yang ada.
Mari kita kawal bersama secara damai dan arif, tugas kita sebagai rakyat sudah selesai menentukan dan memilih dibilik suara calon pemimpin dan perwakilan untuk lima tahun yang akan datang.
Saat ini yang menentukan kursi Presiden bukan lagi rakyat, tetapi hasil dari putusan MK. Saya sangat yakin MK sebagai lembaga independen tidak ada pengaruh intervensi apapun dari pihak manapun, yang pastinya MK akan memutuskan segala sesuatu dengan jujur dan adil. MK diisi oleh hakim-hakim profesional yang berintegritas. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk ragu.
Apalagi dalam sejarahnya MK pernah menggugurkan Kepala Daerah terpilih pada tahun 2010, yaitu saat Pilkada Kotawaringin Barat, yang berdasarkan hasil hitungan KPU ditetapkannya pasangan nomor urut 1 yaitu Sugianto – Eko Sumarno sebagai kepala daerah Kotawaringin Barat.
Tetapi setelah diumukannya pemenang oleh KPU, pasangan nomor urut 2, Ujang Iskandar – Bambang Purwanto melakukan gugatan kepada MK karena banyaknya bukti laporan terkait kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif yang dilakukan oleh Sugianto – Eko Sumarno. Sehingga pada akhirnya, Meskipun sudah ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, pasangan Sugianto – Eko Sumarno tetap di Diskualifikasi oleh MK.
Begitupun dengan sidang terkait Pilpres yang berlangsung sekarang ini, kita belum tau bagaimana hasilnya nanti. Tetapi hanya bisa mengikuti dan menyuarakan, biarkan tim kuasa hukum saling menguatkan argumen mereka dalam sidang di gedung MK, dan serahkan sepenuhnya keputusan sidang kepada MK. Karena Presiden ditentukan oleh Putusan MK.
Penulis adalah Ketua Umum DEMA UIN Antasari