Oleh: Fajar Shadiq
Tak lama setelah saya dapat informasi bahwa tanggal 23 Mei 2019 sudah tak ada aksi, saya menemui salah seorang perwira tinggi TNI. Kesimpulan dia terhadap aksi dua hari belakangan ini terpaksa membuat saya setuju, meski tak begitu heran. “Negara ini sudah bukan lagi rezim otoriter, tapi totalitarian,” kata sang Jenderal mengucapkan ke saya.
Bagaimana tidak? Perintah Menkopolkam Wiranto agar aparat tak membawa senjata api banyak diabaikan para petugas di lapangan. Kata dia, pendekatan kekerasan yang digunakan polisi dalam menekan para demonstran juga banyak menuai kritikan. Poin inilah yang menyebabkan pecahnya kerusuhan pada demonstrasi 21-22 Mei 2019.
Sejak aksi damai 21 Mei 2019, sejumlah wartawan media Islam turun ke lapangan. Meliput di garis depan. Mereka ini para saksi sejarah. Pada Selasa 21 Mei, hari pertama aksi damai digelar di depan Bawaslu. Aksi ini dikomandoi oleh elemen GNPF dan aktivis Islam. Korlap aksinya Munarman bersama Ustadz Bernard Abdul Jabbar.
Sejak sore, massa yang datang begitu beragam. Ada anggota ormas, pelajar, emak-emak hingga simpatisan Prabowo. Para simpatisan Prabowo ini datang dari berbagai daerah. Di antara mereka banyak yang datang dari beragam latar belakang, tapi hari itu semua patuh pada mobil komando.
Ketika sore, aksi hendak dimulai, Munarman sudah teriak-teriak lewat pengeras suara. “Cepat bikin shaf. Ketauan nih kalau orang biasa sholat, tau gimana bikin shaf. Kalau gak becus bikin shaf, berarti provokator,” teriak Maman. Massa pun menurut. Membuat barisan, berzikir, lalu mendengarkan orasi, hingga waktu berbuka tiba.
Aksi di hari pertama berjalan cukup tertib. Momen paling keren terjadi ketika emak-emak memberikan bunga kepada aparat yang berjaga. Hingga akhirnya pukul 21.00, Munarman turun sendiri ke lapangan membubarkan massa. Peserta aksi yang bertahan di Jalan Thamrin disisir satu-satu dan disuruh pulang.
Mereka yang masih ngotot dibentak dan diteriaki Munarman. Kebanyakan nurut dan ikut pulang. Munarman pun menyalami anggota dan para komandan polisi. “Terima kasih para ustadz, para habaib, Pak Munarman, Ustadz Bernard. Kami mengucapkan terimakasih atas kerjasamanya,” teriak polisi yang menggunakan mobil pelantang suara.
Setelah serah terima dan pembubaran massa. Keadaan relatif tenang. Karena jumlahnya sangat banyak, peserta aksi pun berangsur mundur pelan-pelan. Tapi para pencuri kesempatan tidak tinggal diam. Sekitar pukul 22.30 tiba-tiba terdengar suara letusan. Gas air mata dilepaskan. Tak jelas siapa yang memulai kerusuhan. Polisi mengejar massa yang ada hingga ke ruas jalan-jalan yang ada di sekitar Jalan Thamrin. Jalan Wahid Hasyim, Jalan Sabang (Agus Salim), hingga Jalan mas Mansyur yang mengarah ke Tanah Abang.
Pantauan Mas Imam Suroso, Korlip Kiblatnet, massa yang dikejar kebanyakan orang Timur. Tapi ketika mereka lari ke rumah warga, warga jadi ikut melawan aparat karena merasa teritorinya diserang. Redaktur Jurnal Islam, Ally Muhammad Abduh punya versi cerita yang lebih lengkap soal kronologis meletusnya bentrokan yang menjalar ke Tanah Abang pada tanggal 22 Mei dini hari.
Menurutnya, pecahnya kerusuhan bermula dari ditahannya sejumlah warga Tanah Abang karena disangka sebagai provokator. Warga meminta polisi melepaskan 5 orang teman dan keluarga mereka yang ditangkap. Sampai-sampai Kapolres Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan turun langsung menenangkan massa. “Tenang, saya sendiri yang akan jamin keamanan mereka,” kata Kapolres.
Tapi warga tak percaya. Polisi kemudian bebaskan satu warga yang ditahan. Tahanan itu diserahkan ke warga dalam kondisi babak belur. Warga marah dan minta teman mereka yang lain dibebaskan juga. Negosiasi berlangsung alot. Tak ada titik temu karena polisi bersikeras tak mau bebaskan. Akhirnya massa yang berkumpul itu kalap, menyerang dan langsung dibalas aparat dengan keras.
Pasukan perintis bersepeda motor diturunkan. Pasukan inilah yang menggunakan senjata dan menembaki warga dari atas motor. Mereka yang masuk dan lari ke gang-gang dikejar. Massa yang hendak keluar rumah mencari tahu keadaan ditembaki. Sebagian besar peluru yang digunakan konon pakai peluru hampa dan peluru karet. Entah bagaimana ceritanya ketika pagi menjelang, menurut laporan resmi polisi ada jatuh korban meninggal sebanyak 6 orang.
Aksi penangkapan 6 orang warga Tanah Abang itu mengingatkan saya pada strategi jenderal legendaris Sun Tzu. “Pada saat menangkap, lepaslah satu orang,” kata pakar strategi dari daratan Cina itu. Secara makna, sesungguhnya kalimat Sun Tzu yang ditulis dalam kitab “The Art of War” itu hendak bercerita soal strategi berkonflik dalam perang.
Penjelasannya: lawan yang tersudut biasanya akan menyerang secara membabi buta. Untuk mencegah hal ini, biarkan musuh percaya bahwa masih ada kesempatan untuk bebas. Hasrat mereka untuk menyerang akan teredam dengan keinginan untuk mencari jalan keluar. Ketika pada akhirnya kebebasan yang mereka inginkan tak kunjung datang, moralnya akan jatuh dan mudah ditaklukkan. Tapi di Tanah Abang, strategi itu benar-benar dilakukan secara harafiah. Dari lima yang ditangkap hanya satu orang yang dilepaskan. Hingga akhirnya membuat massa kalap dan terjadilah bentrokan.
Meninggalnya enam orang warga di kawasan Tanah Abang akhirnya menjadi bahan bakar untuk meletupnya aksi di hari kedua pada 22 Mei 2019. Sejak siang hari, massa berbaju putih-putih mendatangi titik konsentrasi massa. Gedung Bawaslu di Jalan Thamrin. Polisi sudah melakukan penghadangan di beberapa titik masuk Jakarta. Tapi orang-orang terus saja berdatangan.
Di hari kedua ini, mobil komando masih ada. Tapi siapa pemegang komandonya jadi tak jelas. Suara speakernya saja tak terdengar oleh saya yang hanya berjarak 100 meter dari mobil komando. Semakin malam, massa yang datang semakin banyak. Lebih banyak dari hari pertama. Mahasiswa turun. Anak jalanan ikut. Suporter bola bergabung. Pelajar STM bawa bendera bertuliskan nama almamaternya masing-masing.
Di hari itu, aroma kekerasan sudah tercium sejak sore. Massa yang datang berganti narasi dari “Tolak Pemilu Curang ke “Turunkan Jokowi”. Lagu-lagu saat aksi reformasi bergema kembali. Yang berbeda adalah: jika dahulu ABRI yang dikecam, kali ini gantian polisi yang menjadi sasaran. Sorak sorai massa malah meneriakkan “Hidup TNI.. Hidup TNI” ketika ada satu dua personel TNI yang turun membantu pengamanan. Jelas polisi cemburu.
Tak butuh waktu lama. Usai magrib massa sudah semakin antusias. Barikade dan perimeter yang dibangun polisi semakin meluas. Perisai pertahanan yang disusun Brimob merangsek hingga ke batas jalan trotoar. Rapat. Tak ada celah sedikitpun. Ketika mobil komando perlahan bergeser keluar ke arah Jalan Wahid Hasyim. Datang beberapa perwakilan dari BPN. Di antaranya ialah Fadli Zon. Massa semakin histeris meneriakkan slogan Prabowo Presiden.
Momennya datang usai Fadli Zon turun. Massa dari arah tengah Jalan Thamrin melempari polisi dengan batu dan botol plastik. Akhirnya barisan polisi pun pecah. Brimob berhamburan. Mereka mundur ke belakang. Sang komandan pun mengamuk meneriaki anak buahnya. “Kalian Brimob pengecut, balik lagi ke barisan!”
Polisi pun kemudian melontarkan gas air mata. Dari mobil, dari barracuda, dari senjata personel. Massa tak gentar. Malah semakin sengit melawan. Beberapa remaja tumbang terkena gas air mata. mereka cepat dilarikan ke ambulans dan diselamatkan tim medis yang parkir di sepanjang Jalan Wahid Hasyim. Yang perlu jadi pertanyaan, adalah dari mana para peserta aksi mendapatkan petasan untuk menyerang aparat? Apakah ada logistik yang diturunkan atau ulah para provokator dari pihak yang paling terjamin rantai logistiknya?
Malam itu, barisan massa begitu beringas menyerang aparat. Tapi tak ada garis komando yang jelas. Kelihatannya mereka hanya melampiaskan kesumat dan dendam yang menyala dalam dada. Tak ada target yang dituju. Gedung Bawaslu memang mendapat serangan molotov. Tapi skala kerusakannya sangat kecil dan tidak berdampak. Di hari kedua, meski kerusuhan berlangsung hingga subuh menjelang tapi garis massa sudah sangat tipis sejak pukul 01.00 WIB. Di waktu itu yang tersisa hanyalah penggemar tawuran dan para penjarah.
Saya menyaksikan betul bagaimana massa membongkar warung kelontong di pojokan Jalan Sabang. Merampas semua barang jualan di dalamnya kemudian membagikan rampasannya itu secara acak kepada orang-orang yang ada di sana. Biar tak kena sendirian. Di waktu itu pula, posisi para wartawan terancam. Polisi sudah mengusir barisan wartawan sejak masa-masa awal kerusuhan meletus. Mereka juga menghapus foto dan gambar yang diambil para wartawan.
Sementara wartawan yang mengambil posisi bersama massa perusuh juga di-sweeping. Mereka pun tak mau ada yang mengambil gambar. Salah seorang wartawan yang ngotot melawan hampir dimassa. Takdir Allah menentukan dia masih selamat. Kendati demikian, saya menyaksikan mereka tak menyentuh mobil atau kendaraan milik warga yang diparkir di pinggir jalan. Justru dari bukti CCTV, terlihat massa yang dikawal dan berada dalam pantauan kepolisian terlihat dibiarkan merusak kendaraan. Termasuk di antaranya kendaraan milik polisi sendiri.
Kita cukup beruntung, atau mungkin barangkali pemerintah Jokowi cukup beruntung, di hari ketiga tak ada lagi aksi demonstrasi. Situasi ini sesungguhnya menjelaskan banyak hal yang tersembunyi. Tudingan bahwa umat Islam hanya menjadi “pendorong mobil mogok” atau kendaraan para politisi tidak sepenuhnya terbukti.
Elemen aktivis Islam tak sepenuhnya termakan provokasi para elit politik yang bisa mendapatkan banyak keuntungan jika skenario aksi demonstrasi ini berjalan selama sepekan penuh. Kita bisa bayangkan betapa repotnya aparat keamanan dan runtuhnya kredibilitas pemerintah Jokowi ketika hal itu terjadi.
Tapi di sisi lain, korban yang jatuh semuanya adalah umat Islam. Beban ini tak bisa dipikul sendirian. Politik pencitraan dengan menjual duka para korban bisa jadi hanya akan menjadi komoditas para politisi. Baik yang berkuasa maupun para oposan. Di titik inilah para pemimpin umat bisa mengambil peran yang seharusnya.
Penulis adalah Ketua Divisi Wacana Publik Jurnalis Islam Bersatu