Oleh : Andi Nurdin, S.H.
Di dalam bukunya yang berjudul ”Terus mencoba Budaya Tanding” Emha Ainun Nadjib ada mengatakan jika sastra yang konsern dengan perubahan sosial bukanlah ‘sastra yang mengangkat senjata’ terhadap sesuatu kekuatan fisik.
Sebab, hal hal yang harus dirubah dan dibebaskan tidak sekedar berada di luar sastra, sebutlah antara lain politik dan ekonomi yang menciptakan sistem nilai adab-budaya tertentu yang menyempitkan nilai kesenian.
Begitu juga di dalam bagian tulisannya yang judul tentang”Integritas Kesenian terhadap Kehidupan”, yang meyoroti tulisannya yang berangkat dari momentum Yogya akhir akhir ini di mana pementasan seni teater modern terasa menunjukkan progresi baru. Oleh karena itu “teater” hanya sebuah keberangkatan bgi kita untuk bersama sama memahami kembali posisi kesenian di tengah tahap tahap transisional masyarakat Indonesia dewasa ini. Di mana seni teater adalah salah satu “resiko” kultural dari natur manusia hidup, seperti juga ekspresi keilmuan, teknologi, serta kesalihan religius.
Di mana juga teater yang dimaksudkan adalah cara yang paling komplit yang dilakukan oleh manusia untuk merepresentasikan kehidupannya melalui bahasa kesenian. Medium di mana manusia mnghadirkan kembali pengalaman hidupnya (barangkali untuk “bercermin”, memahami diri kembali) melalui bahasa ungkap gerak, bunyi, penampakan, warna dan kata, Bahkan bisa lebih dari itu.
Bahwa apreasi seni mengalami titik nadir dalam kehidupan masyarakat,terutama kalangan muda. Itu ditandai tidak saja oleh semakin langkanya kounikasi antara kaum muda dengan kesenian modern yang “serius”,namun juga terlihat pada makin miskinnya bahasa kebudayaan umum.Generasi kontemporer kita semakin berjarak dengan misalnya-bahasa metafor atau bahasa budaya pada umumnya. Mereka lebih kenal pada ”bahasa wadag” yang pragmatis.
Di beberapa tempat berlangsung kesibukan kesibukan kesenian yang dicari cari. Polarisasi, polemik,konflik, atau “pengadilan” yang artifisial. Padahal problem yang sesungguhnya dihadapi adalah ketidakmengertian fungsional mereka sendiri di tengah sistem nilai baru yang membingungkan mereka.
Seni teater juga bidang bidang seni modern ”serius” lainnya sangat urgen untuk menuntut dirinya sendiri agar segera mencari kembali, menilai dn menemukan kembali makna sosialnya.
Mereka tidak bisa terus menerus membiarkan diri tak memiliki daya antisipasi, negosiasi dan determinasi yang setepat-tepatnya terhadap perubahan perubahan tata nilai masyarakat.
Juga di dalam bagian tulisan yang berjudul ”Apa yang layak digugat dan tidak dalam kehidupan sastra Indonesia, ”Bahwa persoalan pertama dalam kesusastraan ialah apakah karyamu dan karyaku bagus atau tidak? Ini berlalu untuk bagian sejarah manapun serta tempat tinggal manapun. Tanpa karya baik segala ucapan kita tidak berbicara meskipun bisa berkata kata.
Persoalan kedua adalah bagus dan tidak (hukum psikologi masyarakat) siapa yang menilai. Kemudian, seberapa bijak dan demokratis sebuah iklim lingkungan mampu mengakomodasikan percaturan apa dan siapa itu.
Di ruang persoalan kedua inilah semua sejarah sastra mengalami guncangan, pergeseran, timbul tenggelam, peralihan rupa dan keyakinan. Apalagi jika sekarang ini budaya globalisasi sudah saling menerobos melalui pulsa pulsa internet, dan saling pengaruhi untuk mencari visi dan misi yang sama di dalam
Pola pergaulan dunia Internasional. Namun dengan demikian artinya prinsip dasar manusia kembali di uji untuk bisa menyampaikan dan mempertahankan keyakinan dirinya.
Puisi dan teater adalah di mana manusia dapat menyalurkan apa yang terkandung di dalam jiwa dan pikiran, yang kemudian di pentaskan an disampaikan pada publik, sebagai ungkapan dari rasa adanya ketidak adilan, ketidak harmonisan, dan ada sesuatu yang tidak seimbang di dalam sebuah perjalanan subyek di dalam menuju obyek,sehingga menjadi obyektivitas.
Dengan cara dan harapan tiada benturan yang sangat keras, yang dapat menjadikan manusia yang lemah dan di bawah menjadi sasaran kemarahan dan obyektivitas keinginan politik kemewahan dan kekuasaan semata.
Cipta, rasa dan karsa yang merupakan nilai nilai manusia di dalam menciptakan kemanusiaan, demi untuk mencapai sesuatu yang sebenarnya untuk kebahagian akhir dan yang abadi dan tidak akan berubah lagi. Untuk itu kadangkala manusia dan sesamanya, saling tolong menolong di dalam mencapai apa yang menjadi kebutuhan bersama tersebut.
Manusia tidak bisa hidup sendiri saja. Tetapi hakikat manusia akan menemukan dirinya di dalam saling menolong dengan sesama bentuk fisik dan sesama yang mempunyai kebutuhan akan nilai universal. Nilai yang abadi, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dunia dan negara besar dapat dilihat dari cara mereka menangani seni dan budaya mereka apakah itu seni prosa dan puisi dan drama, juga pada akhirnya bentuk peran pada sinetron di layar TV, atau layar perak dan dunia film dan bintang film.Tentu saja itu berguna dan sangat sempurna untuk pertama kali bermanfaat buat negara mereka sendiri.Jika kemudian di transfer pada dunia dan negara negara lainnya,maka akan menghasilkan uang dan negosiasi yang berguna.
SDM, atau sumber daya manusia, di negara yang menganut nilai Universal Tauhid, tentunya akan mengenali budaya dan cara mereka yang juga merupakan pembanding bagi budaya budaya,yang memang di buat untuk mengalahkan budaya yang lain dengan prinsip dan keyakinan hidup sehari hari mereka.
Inilah tantangan dunia Muslim dalam seni dan budaya. Inilah yang paling banyak yang mereka tonton dan mereka sering saksikan di layar TV atau layar perak. Jika selama ini banyak SDM kaum Muslimin yang tidak mengerti arti persaingan budaya ini, maka sangat disayangkan dan justru mereka terlebih dahulu mempelajari arti “Tauhid dan tantangannya”.
Inilah peranan mereka yang bergerak di dalam sosial, budaya, dan hal hal yang berhubungan dengan manusia pada umumnya. Ternyata memang ilmu sosial lebih sulit dibandingkan dengan ilmu eksak. Karena sering kali perjalanan manusia itu, sering lupa kepada tujuan yang sebenarnya. Di akibatkan oleh tekanan ekonomi, dan kesulitan hidup lainnya sampai keinginan pada kekuasaan dan kemewahan.
Kemudian itupun terjadi persaingan, tetapi jika mereka pada budaya dan lingkungan yang justru sama, di dalam arti selama ini budaya Barat. Maka hal hal itu adalah wajar saja, bahkan kalo mereka yang tercebur itu bahkan diarahkan untuk supaya merusak budaya mereka sendiri.
Dalam makna yang lebih jauh adalah rusaklah budaya kamu yang dulu, yang mana tidak bisa membahagiakan kamu di dalam arti instan. Tetapi carilah budaya ini di dunia ni di mana ada kemewahan dan kekuasaan.
Maka jika mereka tidak kuat, larutlah mereka kepada bujuk rayu politik imperialisme. Maka jadi dia orang yang bisa merusak budayanya sendiri, serta membuat jaringan baru.
Penulis adalah Praktisi Hukum Dan Pengamat Sosial Budaya serta Sekretaris LBH LEKEM KALIMANTAN