PRESS RELEASE : Tuntutan Warga terhadap PT. HRB dan PT. BIB

Bersama ini kami sampaikan Press Release(Siaran Press) Tuntutan Warga Masyarakat Desa Sebamban Baru, Sebamban Lama, Hati’if, dan Desa Trimartani terhadap lahan/tanah warga yang dicaplok oleh PT.HRB dan PT.BIB di Kec Sungai Loban dan Kec. Kusan Hulu.

Sebelumnya pihak masyarakat dan FGMB telah menyampaikan somasi kepada PT. HRB dan PT. BIB dan saat ini warga masyarakat sudah mengajukan perlindungan hukum kepada MENKOPOLHUKAM RI di Jakarta serta telah mendapat tanggapan untuk hadir pada tanggal 5 Maret 2019 bertempat di kantor MENKOPOLHUKAM dalam acara pertemuan audence dengan DEPUTI III Bidang Tindak Kejahatan Konvensional MENKOPOLHUKAM RI.


PRESS RELEASE

SIARAN PERS

Hari/Tanggal : Senin 4 Maret 2019

Sumber  : FORUM GERAKAN MASYARAKAT BORNEO Dalam hal ini mewakili warga masyarakat desa Sebamban Baru, desa Sebamban Lama, desa Trimartani, dan desa Hati’if; Kecamatan Sungai Loban dan Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Propinsi Kalimantan Selatan.

Topik Berita : Pengaduan Warga Masyarakat Ke Menkopolhukam atas Pencaplokan Lahan-lahan Perkebunan dan pertanian warga masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha oleh Eks Perusahaan Pengusahaan Hutan milik Probosutejo yang sekarang menjadi PT. Hutan Rindang Banua(HRB) milik sinarmas Group dan United Fiber System Singapura, dan PT. Borneo Indo Bara (PT.BIB)

 

Kami yang menyatakan dan menginformasikan  dibawah ini,

“FORUM GERAKAN MASYARAKAT BORNEO” telah terdaftar dan mendapatkan pengesahan dari Direjen AHU, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU. 0017425.AH.01.07.TAHUN 2017, berdomisili di  Jalan Provinsi KM.  205 Desa Sebamban Baru, Kecamatan  Sungai Loban, Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan, dalam hal ini diwakili oleh Ketua Umumnya bernama : SURYA AJI SAKA;

Bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Para Ketua Kelompok Pemilik Lahan :

di Desa Sebamban baru seluas 3.583 Ha,   atas nama :

  • Kelompok Salim dkk, Kelompok Asmari dkk, Kelompok Inas dkk, Kelompok Abransyah dkk, Kelompok Asnan dkk, Kelompok Dahlan dkk, kelompok Iwan D dkk, Kelompok Muhamad Noor dkk, Kelompok Masrawan dkk, Kelompk Anang Darmawan dkk, Kelompk asyikin dkk, kelompok Huldani dkk, Kelompok Armani dkk, Kelompok Maskur dkk, Kelompok Halidi dkk,  Kelompok Syahwan dkk, Kelompok Ely dkk, Kelompok Nur Hayati, Kelompok Jamhari, Kelompok Mansyur dkk, Kelompok Rusdianysah (H Sutaji, Noor Yadi),  

di Desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, atas nama :

  • Kelompok Haji Rustam, Kelompok Rahmila Aryanti dkk, Kelompok Haji Hakim dkk

di Desa Trimartani Seluas 40 Ha atas nama

  • Kelompok Wagiran dkk dan

di Desa Hati’if seluas 741 Ha atas nama :

  • kelompok Rajidi dkk, Kelompok Abdul Aziz dkk, Kelompok Jaenuddin dkk, Kelompok Ahmad Sahruni dkk, Kelompok Irhani dkk,

(surat kuasa terlampir), merupakan para PEMILIK TANAH/LAHAN ber SKT sesuai Kepemilikan Tanah berdasarkan Surat Penyataan Penguasaan Tanah Sproradik dan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah  Perkebunan (Terlampir)

Terkait dengan sengketa lahan tersebut kami telah mengajukan permohonon perlindungan hukum kepada MENKOPOLHUKAM RI di Jakarta sesuai surat Nomor : 56/SPHM/BIB/FGMB/II /sp. 7/2019 tanggal 7 – 02 – 2019 dan dilanjutkan dengan surat kedua nomor 57/SPHM/BIB/FGMB/II /sp. 7/2019 tanggal 27-02-2019;

Meperhatikan :

Dasar Hukum

  1. Bahwa sebagai dasar hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12-02-2012, maka keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.435/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan menjadi tidak lahi mengikat (tidak mempunyai dasar hukum) dan salah satu point putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam menentukan Pengukuhan kawasan Hutan juga harus memperhatikan tata ruang wilayah antara lain  memperhatikan kemungkinan adanya hak hak perorangan  atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan  kerugian pihak lain, misalnya masayarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut;

 

  1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksananya Pasal 24 jo Pasal 76  PP No. 24 tahun 1997 tentang alasan syarat pendaftaran hak atas tanah, sebagai dasar hukum klien kami,

Selanjutnya kami jelaskan duduk permasalahan dan kronologisnya disertai dengan dasar dan alasan-alasan hukum sebagai mana dijelaskan dalam rujukan DASAR HUKUM kami, antara lain sebagai berikut :

  1. Sesuai dengan surat pernyataan kronologis tanah tanah tersebut (jauh sebelum Menteri Kehutan menunjuk lahan tersebut masuk kedalam kawasan Hutan Taman Industri pada tahun 1990-an diberikan konsensinya kepada Menara Hutan Buana (PT. MHB) yang dimiliki PROBOSOETEDJO, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar di tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan. Perusahaan ini direncanakan menggarap kayu Akasia sebagai bahan baku industri bubur kertas dan pulp, semula kerja samanya dengen INHUTANI namun belakangan Probosutejo mengambil alih 40 % saham Inhutani dan menguasai 100% saham PT. MHB. Selanjutnya PT. MHB dicabut Izinnya oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2002 yang berujung perkara di PTUN yang akhirnya dimenangkan oleh pihak PT. MHB. Berdasarkan Surat Keputusan  Mentri Kehutanan Tahun 1998, perusahaan PT. MHB  memperoleh izin HTI selama 43 tahun. Menangnya perkara di PTUN melawan Menteri Kehutan  pada tahun 2004, memuluskan Probosutejo untuk menjual (MHB) konsensi HTI nya itu kepada perusahaan asing yang sahamnya listing di Bursa Singapore bernama United  Fiber System (UFS) konsorsium 8 Negara  yang memiliki usaha  operasi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesua meliputi  PT. Hutan Rindang Banua (PT.HRB), PT. Mangium Anugrah Lestari (PT. MAL), dan PT. Marga Buana Bumi Mulia  (PT.MBBM). Kemudian SK Menhut tersebut di adakan perubahan  berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 tentang Balik Nama Pengusahaan  Hutan Tanaman Industri tersebut beralih hak dan kewajibannya dari PT. Menara Hutan Buana (MHB) kepada PT. Hutan Rindang Buana (HRB) anak perusahaan dari UFS.
  2. Kemudian di lahan yang sama Borneo Indo Bara (BIB) yang dimiliki oleg PT. Golden Energy Mines (GEMS) anak perusahaan dari PT. Dian Sawstika Sentosa (DSSA) untuk dapat mengeksploitasi batubara (sebagian) di atas bekas lahan-lahan perkebunan dan ladang warga masyarakat ke 4 Desa tersebut, melakukan tuker guling sahamnya masing-masing dengan  Unitied Fiber System (UFS); Kedua perusahaan tersebut terkait denga tanah hanya mengandalkan SK Menhut “Produk Rezim Orde Baru”, sedang tanah pengaturan hukumnya berdasarkan UUPA dan mereka tidak memilik hak atas tanah berdasar UUPA semisal HGU atau Hak Pakai atas tanahnya; itulah “dungu” nya mereka dan arogansi “Rezim Kehutanan” dengan istilah “penunjukan kawasan.”
  3. Bahwa lahan bekas tanah perkebunan milik masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha tersebut, sejak tahun 2012 sampai dengan saat ini telah di ekspolitasi kegiatan usaha penambangan batubara sampai dengan saat ini. Berkali kali pihak warga masyarakat menyampaikan keberatan dan menuntut adanya ganti rugi atas lahan atau tanah tersebut baik dari Menara Hutan Buana atau PT. Hutan Rindang Banua dan/atau PT. Borneo Indo Bara dengan sisten sewa lahan atau fee lahan.
  4. Bahwa tanah tanah perkebunan warga masyarakat desa Sebamban Baru seluas 3.583 Ha, desa Sebamban Lama Seluas 926 Ha, desa Trimartani Seluas 40 Ha, desa Hati’if seluas 741 Ha diambil alih penguasaannya secara administrasi, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar yang kemudian SK Menhut tersebut di adakan perubahan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 tentang Balik Nama Pengusahaan  Hutan Tanaman Industri tersebut beralih hak dan kewajibannya dari Menara Hutan Buana  kepada PT. Hutan Rindang Buana, status hukumnya sudah lagi tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum sehubungan dengan ada Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 45/PUU/ -IX/2011, tanggal 12-02-2012;
  5. Bahwa pemanfaatan hasil kayu dalam tanaman Industri  (RKTUPHHK-HTI) sudah ada mulai tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, diareal lahan seluas 286.585 Hektar tersebut, tersebar ditiga kabupaten, Tanah Bumbu, Tanah Laut dan Kabupaten Banjar, pada kenyataan dilapangan lahan kawasan pengusahaan hutan tersebut pengusahaannya tidak dilakukan secara benar, justru tanaman akasia tersebut dengan sendirinya tumbuh karena migrasi burung dan udaha/angin selain itu bertahun tahun terbengkalai, sehingga lahan-lahan yang semula memang merupakan perkebunan masyarakat terdapat sebagian kembali dikuasai dan ditanami kebun oleh warga masyarakat, baik yang berada di Desa Mangkalapi Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu dan  Desa Sebamban Baru, serta di Desa Trimartani Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu;
  6. Sehubungan dengan keberadaan lahan-lehan perkebunan masyarakat tersebut, dahulu pada tahun 1997 salah satu kepala Desa  pernah menegaskan yaitu Kepala Desa Hatiif Kecamatan Kusan Hulu dalam suratnya Nomor : 140-09/IV/DH/97, tanggal 12 April 1997, perihal Penggaran Tanah yang dilakukan oleh PT. Menara Hutan Buana,  ditujukan kepada Manager PT. Menara Hutan Buana telah ditegaskan antara lain sebagai berikut :
    • “ Memperhatikan penggarapan tanah oleh pelaksana MHB dilapangan khususnya  dalam wilayah Desa Hatiif, Kec. Kusan Hulu, kab.Kota Baru nampaknya kurang memperhatikan  nasib masyarakat yang tinggal  di pedesaan yang hidupnya masih dalam garis kemiskinan, hal ini terbukti tanah yang tadinya digarap oleh masyarakat Desa Hatiif dan Kepala Desanya, serta diberi Lin/rintis untuk batasan dengan PT. MHB, tanah tersebut sudah ada masing masing punya untuk membuka perkebunan karet dan lainnya, buat mengembangkan masyarakat yang masih dalam garis kemiskinan termasuk desa tertinggal (IDT);
    • Namun sekarang terbukti lahan yang tadinya sudah kepunyaan masyarakat ternyata masih di garap oleh petugas lapangan PT.MHB sebagaimana yang langsung saya lihat dilapangan yaitu sekitar Sungai Kusan Kiri, akibat yang demikian tindakan petugas lapangan MHB, maka saya kepala Desa terus di desak oleh masyarakat yang tadinya menggarap tanah sekitar sungai Hatiif kiri, sebab tahun 1997-1998 tanah yang digarap masyarakat tersebut akan mereka tanami karet/tanaman keras;
    • Mengingat pembicaraan saat PT. MHB masuk pertama kali ketempat saya/Kades pada tanggal 2 januari 1996, petugas PT. MHB menjelaskan supaya yang untuk masyarakat diberi batas yang jelas mana yang diperlukan, nanti dibikinkan jalan antara masyarakat dengan PT. MHB;
    • Dengan dasar tersebut di atas saya harapkan kepunyaan masyarakat yang sudah ditentukan jangan diganggu. Demikian yang dapat kami sampaikan semoga Manager PT. MHB ada mempunyai rasa kemanusian dan keadilan terhadap masyarakat-hidup miskin dalam segala hal, dan atas perhatian Bapak diucapkan terima kasih”;
  7. Hal ini telah membuktikan penggunaan lahan/tanah-tanahnya baik oleh PT. Menara Hutan Buana maupun oleh PT. Hutan Rindang Banua dilakukan  tanpa izin dari masyarakat para pemilik lahan perkebunan dari sejak tahun 1997 sampai dengan saat ini lokasi tanah-tanahnya sedang dieksploitasi sumber daya alam batubara nya yang sangat melimpah ruah yang berisi Puluhah juta Metrik Ton batubara di dalamnya oleh PT. Borneo Indo Bara (PT.BIB) yang dimiliki sahamnya oleh PT. HRB/UFS (PMA) dan PT. GEMS/Sinar Mas Land;
  8. Bahwa fakta hukumnya tanah-tanah perkebunan warga masyarakat tersebut saat ini secara melawan hak/hukum oleh Borneo Indo Bara telah “digunakan kegiatan penambangan batubara”dengan alasan bahwa areal lahan dimaksud adalah merupakan kawasan hutan tanaman industri milik PT. Kirana Khatulistiwa /PT. Hutan Rindang Banua (HRB);
  9. Saat ini warga masyarakat desa Sebamban Baru, desa Sebamban Lama, desa Trimartani, desa Hati’if menuntut kepada Menteri Kehutaanan dan khususnya kepada HRB dan PT. BIB (GEMS & UFS), melalui Pemerintah Pusat dalam Presiden Republik Indonesia menuntut agar tanah-tanah perkebunan miliknya dahulu itu dikembalikan dan keluarkan dari kawasan hutan menjadi tanah milik setiap warga sesuai dengan SKT-nya masing masing pemilik sesuai surat yang disampikan kepada Mengkopolhukam, yaitu sebagai berikut :
  10. Melepaskan tanah tanah klien kami sesuai dengan bidang peta dalam SKT tersebut di atas (Tanah Perkebunan Rakyat) dari Penunjukan Kawasan Hutan dan SK Menhut Nomor 196/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998 seluas 268.585 Hektar juncto Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.86/Menhut-II/2006, tanggal 6 April 2006 yang merupakan Produk “Kroni Orde Baru” tersebut yang merugikan masyarakat pemilik lahan kebun untuk selanjutnya dimasukan dalam obyek reforma agraria (Tora) untuk menjadi hak milik warga masyarakat sebagaimana disebutkan luasan dan lokasi berdasarkan “bidang peta tanah” masing masing dalam surat keterangan perkebunan di atas;
  11. Selama laha-lahan milik klien kami tersebut terus digunakan kegiatan usaha penambangan dan menghasilkan produksi batubara, melakukan ganti rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa lahan (fee lahan) sebesar Rp. 15,000,- (lima belas ribu rupiah) per Meterik Ton;
  • Melakukan ganti rugi kepada Pemberi Kuasa dalam bentuk sewa atas tanah-tanah hak/milik masyarakat yang digunakan jalan angkutan hauling batubara oleh PT. Borneo Indo Bara sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah) per MT/bulan, terhadap tanah tanah masyarakat yang telah digunakan jalan angkutan batubara di Desa Hatiif pemekaran dari Desa Mangkalapi dan Desa Sebamban Baru sesuai dengan bukti masing bidang peta SKT Perkebunan dan SPPFBT milik warga masyarakat di Desa Hatiif Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu;
  1. Bahwa sebelumnya warga masyarakat desa Sebamban Baru, desa Sebamban Lama, desa Trimartani, desa Hati’if yang berada di Kecamatan Sungai Loban bermaksud ingin melakukan aksi penutupan area tambang PT.BIB dan area kegiatan penanaman kembali hutan tanaman Industri HRB yang saat ini sedang dikerjakan oleh kedua perusahaan tersebut.  Jika hal tersebut terjadi dikuatirkan dapat menimbulkan bentrok dan persoalan hukum lain, maka oleh karenanya agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan dan dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusive  di tahun politik ini, kami berharap Kementrian Kordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang Bapak pimpin dapat menindak lanjuti segera untuk membantu penyelesaian sengketa masyarakat dengan kedua perusahaan tersebut;

 

Hormat Kami,

“FORUM GERAKAN MASYARAKAT BORNEO”

  

USMAN                                               SURYA AJI SAKA

Sekretaris Umum                                        Ketua Umum

 

Baca Juga:  Presiden KAI : "Kami Tidak Mengenal Gaya Anarkhisme Terhadap Sesama Penegak Hukum...!"
Dibaca 299 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top