Sidoarjo – Sidang lanjutan terhadap terdakwa Slamet Maulana alias Ade, wartawan korban kriminalisasi oknum pengusaha tempat hiburan “esek-esek” X2 Family Karaoke, berkolusi dengan oknum polisi di Polres Sidoarjo, di PN Sidoarjo berlangsung lancar pada Senin, 20 Agustus 2018 lalu. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli pers yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa.
Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya bahwa Slamet Maulana ditangkap polisi atas tuduhan pelanggaran UU ITE dan pemerasan oleh manajemen X2 Family Karaoke Sidoarjo, Arief Wiryawanto, terkait pemberitaan yang bersangkutan di media beritarakyat.com. Dalam sidang sebelumnya, unsur pemerasan yang dituduhkan tidak terbukti, malah sebaliknya yang terjadi adalah kasus upaya penyuapan wartawan Slamet Maulana oleh pihak pelapor yang mengharapkan agar berita tentang dugaan adanya wanita pemuas nafsu disediakan di X2 dihapus dari media beritarakyat.com. Pihak Arief Wiryawanto juga menawarkan iklan kepada wartawan Slamet Maulana dengan maksud agar tidak dilakukan penayangan berita terkait aktivitas layanan wanita penghibur di tempat karaoke X2 yang dia kelola.
Dari banyak kasus kriminalisasi jurnalis, surat sakti Dewan Pers berupa Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) terhadap pemberitaan, menjadi salah satu alat bukti oleh polisi dan jaksa di pengadilan. PPR Dewan Pers atas pengaduan Arief Wiryawanto yang mengadukan media online beritarakyat.com pada intinya menyatakan bahwa wartawan yang menulis berita itu bersalah dan merekomendasikan pengadu menempuh upaya hukum lain di luar UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa, Imam Syafii, SH, sebagai ahli pers di persidangan dengan tegas menyatakan bahwa Dewan Pers telah membuat keputusan dan rekomendasi yang keliru atas kasus ini. Ketika ketua Majelis Hakim, I Ketut Suarta, SH, MH menanyakan pendapat ahli terkait isi kesimpulan berupa keputusan dan rekomendasi Dewan Pers yang dituangkan dalam PPR, trainer jurnalistik bagi ribuan anggota TNI, Polri, PNS, guru, dosen, mahasiswa, wartawan, dan masyarakat umum itu mengatakan Dewan Pers ngawur.
“Maaf Yang Mulia, tapi saya harus mengatakan bahwa terkait PPR atas kasus pemberitaan di media siber beritarakyat.com ini, Dewan Pers itu ngawur,” ujar Wilson tegas.
Dengan sedikit terkejut, Ketua Majelis Hakim melanjutkan pertanyaannya, “Alasan ahli mengatakan Dewan Pers ngawur, apa penjelasannya?”
“Ada tiga alasan Yang Mulia, berdasarkan PPR yang dibuat Dewan Pers ini,” imbuh Wilson sambil menunjukkan halaman di lembaran PPR yang berisi keputusan dan rekomendasi Dewan Pers.
Pertama, lanjutnya, pada poin 1 dikatakan bahwa “Teradu (red – beritarakyat.com) terindikasi kuat melanggar pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers terkait penghormatan terhadap norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Juga, poin 3 yang berbunyi “Teradu tidak menjalankan fungsi dan peranan pers sebagaimana disebutkan di dalam pasal 3 dan 6 Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers.”
Jikapun wartawan Slamet Maulana benar bersalah melanggar UU No. 40 tahun 1999 sesuai yang tertulis dalam dua poin itu, maka seharusnya si wartawan harus direkomendasikan untuk diberi sanksi atau hukuman berdasarkan UU No. 40 tahun 1999 juga, bukan menggunakan UU atau peraturan lain.
“Yang Mulia, ibaratnya, apabila DPR RI memutuskan bahwa presiden bersalah melanggar UUD 1945, apakah masuk akal jika kemudian DPR RI merekomendasikan agar presiden dihukum berdasarkan aturan di luar UUD 1945?” ujar Wilson dengan nada tanya.
Kedua, lanjutnya lagi, pada poin kedua dinyatakan bahwa: “Teradu tidak beritikad baik karena memuat berita berkesinambungan yang berkandungan negatif terhadap pengadu dengan berdasarkan narasumber utama yang anonim.” Dari poin ini menurut Wilson tidak ada sesuatu yang dapat dikatakan tidak beritikad baik, karena yang dikemukakan adalah fakta lapangan, hasil wawancara dan investigasi langsung wartawan yang bersangkutan. “Soal narasumber anonim, Pasal 1 ayat (10) UU Pers menjamin bahwa wartawan memiliki hak tolak, yakni hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya,” jelas Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.
Selanjutnya, ahli pers yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PPWI ini menjelaskan alasannya yang ketiga. “Ketiga, jika yang disangkakan oleh Dewan Pers terhadap teradu adalah pelanggaran Pasal 5 ayat (1) terkait penghormatan terhadap norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, maka ini adalah ranah pelanggaran kode etik jurnalistik, bukan pidana pers,” tegas lulusan pascasarjana bidang Etika Terapan (Applied Ethics) dari Utrecht University, Belanda ini.
Sesuai Surat Keputusan Dewan Pers No. 23/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ), maka sanksi atas pelanggaran kode etik diserahkan kepada organisasi pers masing-masing. “Sangat jelas disebutkan dalam SK Dewan Pers No. 23 tahun 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik, bahwa penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers, namun sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Jadi, Dewan Pers itu ngawur, melanggar aturan yang dibuatnya sendiri,” pungkas Wilson mengakhiri penjelasannya kepada Majelis Hakim.
Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 27 Agustus 2018 mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli pidana yang akan diajukan oleh kuasa hukum terdakwa. (NTW/Red)