Antisipasi Money Politic Cederai Pesta Demokrasi di Pemilu 2019

Oleh: H. Aspihani Ideris, MH

Pesta demokrasi yang di balut dalam sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) akan berlangsung di hari Rabu 17 April 2019. Seperti dalam Pemilu di tahun sebelumnya, namun ada perbedaan di Pemilu 2019, dikarenakan tidak hanya Pemilihan Legeslatif (Pileg) dilaksanakan, akan tetapi berbarengan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres).

Di Pemilu 2019 ini. diperkirakan hiruk pikuk kompetisi akan lebih dasyat lagi ke timbang pada Pemilu tahun 2014 yang lalu, karena Pemilu kali ini merupakan pemilu serentak dilaksanakan. Lima kertas suara akan dicoblos sekaligus dalam satu waktu bersamaan oleh setiap pemilik suara. Kelima kertas suara itu adalah untuk pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden/Wapres. Jadilah hingar-bingar di publik, bak kerusuhan di kapal yang hendak tenggelam, penumpang berebut pelampung dan sekoci, tiada terhindarkan.

Mencermati keadaan dan perkembangan proses pemilu tahun 2019 ini, satu hal penting yang mesti menjadi perhatian serius, hendaknya pesta demokrasi yang akan berlangsung di tahun 2019 mendatang jangan sampai dicederai oleh pelaku dengan menghalalkan segala cara, seyogyanya kualitas pemilu itu sendiri harus ditingkatkan dan bersih dari pelaku money politics. Walaupun tidak bisa dipungkiri dalam sebuah pesta demokrasi itu tidak lepas dari tiga komponen penilaian kongkret yakni kebebasan sipil (civil liberty), hak-hak politik (political rights), dan lembaga demokrasi (institution of democracy).

Demokrasi terdiri dari dua kata yang diserap dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat/penduduk) dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Demos cratein atau demos cratos (demokrasi) dapat disimpulkan sebagai suatu sistem pemerintahan dari dan oleh untuk rakyat.

Prediksi di Pemilu 2019, para pelaku kontestan Pemilu itu sendiri banyak yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Tentunya mereka akan mengumbar janji-janji, bahkan tidak menutup kemungkinan pelaku kontestan Pemilu itu bisa saja mengikat pemilih dengan janji-janji atau dengan memberikan imbalan disertai ikatan dalam sebuah perjanjian dikedua belah pihak. Dari itu semua peran saat ini, praktik money politics atau politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum masih menjadi musuh utama dalam pesta demokrasi. Biasanya para kalangan berduit yang merajai dan penghancur pesta demokrasi. Ini semua bak gayung bersambut antara kedua pelaku kontestan tersebut, yakni Calon Legeslatif dan Rakyat Pemilih pada Pemilu 2019 tersebut.

Baca Juga:  Janji Manis dan Suap Petaka Perpolitikan 2019

Dari itu semua, semangat gerakan tolak money politics wajib digalakkan untuk menghadapi pesta demokrasi di tahun 2019 mendatang, baik masyarakat, lembaga independen seperti LSM, OKP maupun ormas lainnya harus bisa bekerjasama dengan pelaksana Pemilu itu sendiri, institusi itu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pengawasan itu tentunya harus dilaksanakan sejak tahapan kampanye, masa tenang, hingga proses pemungutan dan penghitungan suara.

Walaupun diketahui, pencegahan dan tindakan terjadi money politics ini tugasnya Bawaslu, maka untuk maksimalnya pencegahan terjadi tindakan mencederai Pemilu itu juga harus dibantu oleh berbagai lembaga independent dan masyarakat sendiri, sehingga pengawasan terhadap aktor money politics lebih terkondisikan dan dengan strategi ini akan mempersulit gerakan para calon aktor money politics itu sendiri.

Memang kondisi pembelajaran money politics ini diajarkan sejak adanya Pemilihan Kepala Daerah yang dibalut dalam pesta demokrasi via rakyat. Walaupun didalam aturan Pilkada 2018 menyebutkan bahwa pemberi dan penerima bila terbukti melakukan money politics dikenakan sanksi pidana, itu semua tidak menjadikan kecut pelaku kedua belah pihak. Karena fakta dilapangkan tindakan pidana itu sepertinya hanya diatas kertas saja. Artinya sebuah aturan hukum tidak bergigi apabila tidak adanya sebuah tindakan yang rel.

Kita lihat disini ada perbedaan yang siginifikan dengan aturan Pilkada 2018, didalam Undang-Undang Nomot 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga menyebutkan, untuk kasus money politics, pada Pasal 284 menegaskan, “Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih Pasangan Calon tertentu, memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota DPD tertentu, sesuai dengan Pasal 286 hanya dijatuhkan sanksi administrasi.”

Baca Juga:  Demokrat dan PKS Buka Lembaran Baru dengan Berkoalisi

Kalau kondisi pesta demokrasi Indonesia menjelang pemilu 2019 mendatang ini tidak dibenahi segera, maka dipastikan hasil dari proses demokrasi berupa hasil coblosan 17 April nanti tidak maksimal, bahkan mungkin mengecewakan rakyat dan bangsa ini. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kesadaran bersama seluruh komponen-komponen, baik lembaga masyarakat maupun lembaga negara untuk berkolaborasi melakukan pengawasan demi bersihnya pesta demokrasi yang sesungguhnya. Ini semua juga tidak terlepas dari peran dan kerjasama lembaga-lembaga politik, dikuti oleh para relawan masing-masing kontestan dan masyarakat pemegang kedaulatan, untuk menggunakan kebebasan sipil dan hak-hak politiknya secara baik, jujur, dan benar sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta dapat mempertanggung jawabkan nya. Karena pelaku kontestan Pemilu yang melakukan money politik, jika meraka terpilih nantinya, disaat mereka duduk di parlemen, maka tujuan utama mereka hanya memperhatikan tarap pribadinya sendiri, tentunya dipastikan ada upaya untuk mengembalikan modal disaat ia dalam kontestan Pemilu itu sendiri. ###

Dibaca 10 kali.

Tinggalkan Balasan

Scroll to Top