SUAKA – PEKANBARU. Praktek penahanan ijazah asli milik karyawan masih marak dilakukan oleh sejumlah perusahaan di nusantara, terkhusus di daerah Pekanbaru, baik Badan Usaha Milik Negara & Badan Usaha Milik Swasta.
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan, tidak ada aturan yang membolehkan perusahaan menahan surat-surat berharga milik karyawan, termasuk ijazah. Kalau perusahaan nekat, maka itu melanggar hukum.
Akibat penahanan ijazah milik karyawan tersebut membuat para pekerja kesulitan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari perusahaan yang menahan ijazah tersebut. Seperti halnya salah satu perusahaan PT. Farma Solindo sebuah perusahaan bergerak di bidang Farmasi.
Termuat dalam kontrak kerja, penahan ijazah karyawan tersebut terlahir dari perjanjian atau kesepakatan kerja dan melenceng dari peraturan ketenagakerjaan.
Kesepakatan antar kedua belah pihak termuat dalam kontrak kerja sehingga beberapa perusahaan sering kali melanggar hukum, karena jelas akibatnya sangat merugikan hak-hak karyawan. Kontrak perjanjian itulah yang dijadikan dasar oleh perusahaan untuk menahan ijazah karyawan.
Bahkan juga perusahan sampai berani menyatakan bagi karyawan yang keluar atau mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir, untuk mengambil ijazah nya, karyawan tersebut membayar penalti sebagai uang tebusan untuk mendapatkan ijazah kembali. Dan nominalnya ada yang mencapai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Sebagaimana dilansir oleh media online TRIBUNPEKANBARU.COM yang terbit pada (15/8/2018), Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Kota Pekanbaru Jhony Sarikoen tidak menapik kondisi tersebut terjadi di daerahnya.
Selama ini pihaknya sudah banyak mendapatkan laporan terkait persoalan tersebut. Padahal ditegaskan Jhony, perusahaan tidak boleh melakukan penahanan ijazah.
“Karena itu bukan syarat kerja, kenapa ditahan apa dasarnya,” kata Jhony, Rabu (15/8/2018).
Pihaknya mengaku sudah memanggil perusahaan yang selama ini dilaporkan melakukan penahanan ijazah asli milik karyawanya.
Dari pengakuan pihak perusahaan mereka terpaksa melakukan penahanan ijazah asli karena agar karyawanya tidak melakukan penyelewengan.
“Pihak perusahaan sebenarnya tidak ingin melakukan penahanan, tapi meraka ingin memperngaruhi mental karyawanya supaya jangan macan-macam. Apalagi kebanyakan mereka ini kan bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang pembiayaan atau finance,” bebernya.
Namun alasan tersebut tidak bisa diterima, pihaknya kemudian memberikan solusi agar penahanan ijazah tersebut polanya diubah. Yang semula bersifat penahanan menjadi penitipan.
“Jadi bahasanya jangan ditahan, tapi penitipan. Nah, yang namanya penitipan tidak boleh ada sanksi, tidak boleh ditetapkan jangka waktunya. Apalagi dikenakan pinalti, kapan saja karyawan membutuhkan ijazah aslinya, harus diberikan, jangam dipersulit, apalagi ditahan pakai sanksi, itu jelas tidak boleh,” tegasnya.
Jika masih ditemukan ada kasus penahanan ijazah asli yang bersifat mengikat.
Seperti ada penerapan sanksi denda, ditetapkan jangka waktunya, ada pinalti, dan dipersulit saat akan mengambil ijazahnya, Dinasker menghimbau agar karyawan melaporkan kasus tersebut ke pihak kepolisian.
Sebab bisa dimasukkan ke pasal penggalapan dan penggaran Hak Azasi Manusian (HAM).
“Itu melanggar udang-undang, karena termasuk penggelapan dan melanggar ham. Karena kalau ijazah asli ditahan orang tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. Kalau masih terjadi kasus seperti bisa dilaporkan ke kepolisian,” pungkasnya. (*)