SUAKA – JAKARTA. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., yang merupakan Pengacara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, membantah keterangan dari mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, hari ini Kamis (5/7/2018).
Saat itu Kwik Kian Gie menyebutkan bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri pernah memerintahkan Yusril untuk membuat draf instruksi presiden (inpres) terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun, dalam persidangan yang berlangsung, Yusril yang duduk mendampingi terdakwa meminta izin kepada majelis hakim untuk memberikan klarifikasi.
Menurut Yusril, saat itu dia masih menjabat sebagai menteri kehakiman. Menurut dia, tidak mungkin menteri kehakiman membuat draf tentang inpres. “Pak Kwik Kian Gie keliru, yang susun Inpres itu Setkab, bukan Menteri Kehakiman. Kalau Inpres, itu 100 persen kewenangan Setkab bukan Yusril,” ujar Yusril kepada majelis hakim.
Jika menteri kehakiman yang membuat draf, menurut Yusril, seharusnya ada tanda tangan Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Kehakiman dalam draf. “Saya pernah jadi menteri kehakiman, pernah juga jadi mensesneg. Waktu sebagai mensesneg saya buat draf inpres. Saya kira seperti itulah yang terjadi,” kata Yusril.
Kwik Kian Gie tidak bisa memastikan apakah perintah itu terkait jabatan Yusril sebagai menteri atau tidak. Namun, yang pasti Megawati memerintahkan langsung kepada Yusril saat rapat kabinet di Istana Negara. “Ibu Presiden tidak mengatakan bahwa menteri kehakiman yang membuat. Tapi sebut Pak Yusril tolong dibikin drafnya,” kata Kwik.
Diketahui, dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar. (red)