SUARAKALIMANTAN.COM, KOTABARU. Pengadilan Negeri Kotabaru akhirnya resmi menutup perkara sidang perkara ujaran kebencian dengan terdakwa seorang wartawan media online kemajuan rakyat.co.id dan Berantas News, almarhum Muhammad Yusuf. Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua sekaligus hakim pemeriksa Darwanto dan dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU) terdiri dari Wahyu Oktaviandi, Agung Nugroho, Bimo Bayu, dan Aji Kiswanto dikarenakan terdakwa dinyatakan meninggal dunia pada Minggu (10/6/2018) sekitar pukul 14.30 Wita ketika baru tiba di UGD RSUD Kotabaru, hakim memutuskan dan menetapkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
Alhasil, persidangan yang semula mengagendakan keterangan saksi dari pihak terdakwa, berganti menjadi penyerahan surat kematian almarhum terdakwa Yusuf dari Jaksa Penuntut Umum dan penetapan gugur penuntutan dari hakim. Dua kursi yang seharusnya di duduki oleh saksi pun akhirnya kosong melompong.
Diketahui, dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Kotabaru tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memang belum sempat membacakan surat tuntutan. Dan persidangan baru memasuki agenda pemeriksaan saksi-saksi.
Perkara yang menimpa salah satu wartawan media online di Kotabaru Kalimantan Selatan ini bermula dari pengaduan perusahaan Sawit, PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), karena adanya pemberitaan yang ditulis Muhammad Yusuf dinilai mengandung provokasi, menghasut, dan mencemarkan nama baik PT MSAM sebuah perusahaan miliknya H Andi Syamsuddin alias Haji Isam. Atas rekomendasi Dewan Pers, akhirnya polisi menangkap dan memenjarakan almarhum Muhammad Yusuf.
Sebelumnya, almarhum Muhammad Yusuf didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kotabaru karena dianggap telah melanggar Pasal 45A UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo Pasal 45 ayat (3).
Pasal diatas mengatur setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Disana tertera bagi pelanggarnya ancaman penjara maksimal dalam Pasal 45A adalah 6 tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar. Sedangkan, Pasal 45 ayat (3), mengandung ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan/atau denda maksima Rp 750 juta.
Kuasa hukum almarhum Muhammad Yusuf mengatakan, walaupun sidang tersebut dihentikan, ia mengaku tetap akan melakukan gugatan terhadap Polres Kotabaru. “Walaupun tidak ada sidang lagi, namun kami sudah menyiapkan gugatan ke Polres Kotabaru setelah autopsi selesai. Materi gugatan dan semua alat bukti sudah kami siapkan,” ujar Nawawi kepada sejumlah wartawan seusai persidangan berlangsung, Kamis (28/6/2018).
Iapun mengaku sempat berbicara dengan Komisioner Komnas HAM, Hairansyah ketika proses persidangan di PN Kotabaru. Menurut Nawawi, Komnas HAM sangat mendukung upaya pengungkapan misteri kematian Muhammad Yusuf.
Selanjutnya Nawawi mengatakan, tim Komnas HAM sudah menggali informasi ke keluarga almarhum Muhammad Yusuf pada Rabu sore (27/6/2018) walaupun ia tidak sempat mendampingi keluarga almarhum, tapi ia meyakini Komnas HAM benar-benar lembaga independen, kata Nawawi.
Adapun istri almarhum Muhammad Yusuf, T Arvaidah, tidak datang dalam persidangan terakhir atas terdakwa suaminya Muhammad Yusuf, dikarenakan anaknya sedang sakit. Namun ia membenarkan Komnas HAM bertandang ke rumahnya untuk mengklarifikasi soal proses penangkapan, riwayat penyakit, hingga pemidanaan terhadap suaminya almarhum Muhammad Yusuf.
Menurut T Arvaidah, Komnas HAM meminta keterangan ke dia selama tiga jam sejak pukul 15.00-18.00 Wita, Rabu (27/6/2018). “Katanya sih, orang Komnas HAM itu mau menggali informasi juga ke Polres, Pengadilan, dan Lapas Kotabaru,” ucap T Arvaidah kepada sejumlah wartawan. (dam/wan)