Foto Almarhum Muhammad Yusuf
SUAKA – KOTABARU. Kuasa Hukum Muhammad Yusuf (42), wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, yang tewas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru pada Minggu 10 Juni 2018 lalu, Nawawi SH mengatakan bahwa keluarga kkiennya sangat setuju jenazah almarhum Muhammad Yusuf di autopsi. Diakuinya, istri korban T Arvaidah memang sempat menandatangani sejumlah surat yang salah satunya berisi penolakan autopsi.
Nawawi mengatakan, surat tersebut disodorkan oleh tim Kejaksaan Negeri Kotabaru. Namun Nawawi menyesalkan tim kejaksaan tidak menjelaskan secara detail surat-surat apa saja yang mereka sodorkan. “Lah ini (surat menolak autopsi) dari mana? Ini bahaya, autopsi enggak main-main. Kejaksaan main-main saja. Kenapa jaksa tidak transparan apa isi surat itu. Istri korban setuju kok almarhum suaminya di autopsi, siapa bilang ia tidak setuju, kata Nawawi kepada wartawan, Kamis (14 /6/2018).
Nawawi mengatakan Arvaidah cuma tahu bahwa isi surat yang ditandatangani ihwal penerimaan mayat dari rumah sakit ke keluarga. Nawawi menyesalkan jaksa diam-diam menyelipkan surat penolakan autopsi tanpa sepengetahuan Arvaidah. Alhasil muncul kesan Arvaidah menolak proses otopsi terhadap jenazah Yusuf. Nawawi mengatakan Kepala Polda Kalimantan Selatan Brigjen Rachmat Mulyana menginstruksikan proses autopsi terhadap jenazah M Yusuf untuk menyingkap penyebab kematiannya.
Nawawi menceritakan kronologi perlakuan Kejaksaan Negeri Kotabaru dan Polres Kotabaru terhadap jenazah Yusuf selama di RSUD Kotabaru. Nawawi berkata polisi sempat menyatakan istri almarhum Yusuf, T Arvaidah, menolak autopsi setelah meneken surat pernyataan. Kepada Nawawi, polisi lalu menunjukkan bukti tandatangan bahwa Arvaidah menolak otopsi atas jenazah Yusuf.
Ia terkejut melihat surat it. Sebab, Arvaidah justru ingin dilakukan autopsi. Setelah ditelusuri, ia berkata, tim Kejaksaan Negeri Kotabaru ternyata tidak menjelaskan gamblang makna isi surat-surat yang ditandangani oleh Arvaidah. Nawawi menuturkan ada tiga surat yang diteken oleh Arvaidah. Namun cuma surat penerimaan mayat yang dia ketahui. Menurut Nawawi, Arvaidah menganggap dua surat lain itu sekedar lampiran penerimaan mayat. Belakangan dia tahu, Arvaidah ternyata meneken surat penolakan autopsi.
Alhasil, Nawawi dan Arvaidah pun terperanjat setelah sadar menandatangani surat penolakan autopsi di antara tiga lampiran surat. Menurut dia, autopsi jenazah seharusnya dilakukan sejak masih di rumah sakit. “Namanya kan ibu-ibu, orang desa, ya ditandatangani saja. Kejaksaan enggak fair. Kami akan gugat perdata maupun pidana dari mulai Polres Kotabaru yang menetapkan almarhum sebagai tersangka dan penangkapan yang tidak manusiawi di areal publik,” ujar Nawawi.
Menurut dia, Yusuf tidak pantas dijebloskan ke penjara karena ancaman hukuman di bawah lima tahun. Ia mengatakan pokok materi yang digugat mengacu KUHAP ihwal pencemaran nama baik dan penangkapan memalukan almarhum karena ditangkap di Bandara Syamsudin Noor. Selain itu, Nawawi menggugat penetapan berkas P21 dari kepolisian ke kejaksaan dan perlakuan jaksa terhadap almarhum selama di Lapas IIB Kotabaru.
Ia rencananya melayangkan surat gugatan pada Kamis 14 Juni, tapi batal karena menjelang Lebaran Idulfitri 1439 Hijriah. “Kejaksaan tahu bahwa klien kami ada penyakit serius, paru-paru dan asma. Kematian Yusuf kami duga tidak wajar sesuai ciri-ciri yang kami dapat, tapi lebih jelasnya setelah autopsi, autopsi ini perintah Kapolda langsung. Rencana autopsi 29 Juni 2018 mendatang ini seusai lebaran, sebenarnya terlalu lama,” ucap pengacara almarhum Muhammad Yusuf menjelaskan kepada wartawan. (TIM)