Oleh : Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA (Ketua Umum PPWI Nasional)
JAKARTA – suarakalimantan.com, Penghujung Ranadhan 1439 Hijriyah Pers Bwrduka. Pertama kalinya anak menanyakan ayah, Oh Ibu dimana Ayah? Dengan sabar Ibu menjawab anaknya, Ayahmu di dalam peperangan.
Kedua kalinya anak menanyakan ayah, oh Ibu dimana Ayah? Dengan sedih Ibu menjawab anaknya, Ayahmu di dalam penjara._
Ketiga kalinya anak menanyakan ayah, oh Ibu dimana Ayah? Dengan tangis Ibu menjawab anaknya, Ayahmu di dalam kuburan…
Cuplikan di atas adalah potongan lagu perjuangan jaman dulu, yang menggambarkan kesengsaraan sekaligus kehebatan sebuah keluarga pejuang di tanah air ini. Penjajahan harus dihentikan. Penjajah harus dienyahkan.
Untuk itu setiap lelaki dewasa dan kuat harus rela meninggalkan keluarganya untuk ikut bergabung ke medan perang bersama pemuda lainnya. Hasilnya, Indonesia merdeka! Namun, sang ayah kembali ke rumah tinggal nama. Gugur di medan perang atau membusuk di dalam penjara. Itulah gambaran masa perjuangan dahulu sebelum Indonesia merdeka.
Keadaan dulu itu rupanya belum berubah. Kondisi keterjajahan bangsa masih berlanjut. Hingga hari-hari ini. Bahkan lebih parah. Diperbudak orang lain masih lebih baik daripada diperbudak saudaramu sendiri, kata orang tua-tua.
Perjuangan, dengan demikian harus terus berlanjut. Praktek penjajahan yang bertukar pihak, model, dan strategi di negeri tercinta ini harus dihentikan. Para penjajah harus dienyahkan.
Dienyahkan? Yakin? Dienyahkan kemana?
Benarlah kata Soekarno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah asing. Perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan penjajah yang adalah saudaramu sendiri”.
Medan laga perjuangan melawan kezaliman para penjajah jaman now yang cukup mirip dengan medan laga jaman old adalah medan perjuangan pers. Wartawan adalah pemuda pejuang kemerdekaan bangsanya. Para oknum penguasa dholim berkelindan erat dengan para oknum pengusaha hitam di satu sisi sebagai penjajah bangsa sendiri.
Jajaran oknum aparat hukum, dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan pengacara, di lain pihak berperan sebagai pasukan centeng para penjajah itu. Jalinan kongkalikong antar oknum di lembaga-lembaga penegak hukum ini, bertameng undang-undang dan peraturan, senantiasa berusaha menjalankan tugasnya dengan baik demi mendapatkan roti dan anggur dari tuannya, penjajah berparas pribumi.
Beberapa oknum institusi pengampu pers seperti perusahaan pers dan organisasi pers, juga ikut-ikutan mengambil bagian dari perselingkuhan para penjajah berkulit sawo matang itu. Mereka tergiur juga untuk menikmati nikmatnya anggur merah dan roti keju di meja para penjajah lokal ini. Tanpa empati, tanpa simpati, tanpa rasa bersalah sedikitpun melihat rakyat, sesama sebangsanya tertindas dan terlindas mati di popor senapan para centeng beringas itu. Pun, mereka tidak beringsut sedikitpun walau yang mati di-lars oleh para herder berhati kelam di depan matanya itu adalah sesama pekerja pers.
Soekarno benar. Perjuangan ini memang sulit. Bahkan jauh lebih sulit, lebih mengerikan dari yang sang proklamator itu bayangkan. Kalangan pekerja pers sebagai kaum pejuang rakyat mungkin tidak terlalu sulit menghadapi para mafia penjajah negeri ini, jika bukan karena satu hal: PENGHIANAT PERS!
Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 ayat (1) UU No 40 tahun 1999, “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”_, dimaksudkan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana tertuang dalam pasal 15 ayat (2) UU No 40 itu. Namun faktanya, para oknum pengurus lembaga ini justru menjadi penghianat pers melalui berbagai kebijakannya yang membelenggu dan memberangus kemerdekaan pers Indonesia. Mereka dengan licik, tidak hanya membiarkan para pekerja pers dipersekusi oleh para mafia penjajah rakyat, tetapi malahan merekomendasikan agar para pejuang pers dieksekusi sesuai keinginan banal kelompok yang dikontrol dan dikritisi oleh pers. Demikian miris-memilukan ketika tempat berlindung dari serangan para komprador penjarah negeri, entah disadari atau tidak, justru berselingkuh dengan para penyerang, secara aktif memborgol pers dan menyerahkannya ke oknum aparat penjaga keamanan para penjajah rasa tempe busuk itu.
Bung Karno! Hari-hari ini kami berduka, teramat sangat! Satu teman kami, pejuang rakyat harus tewas di Kotabaru, medan pertempuran melawan ‘penjajah yang adalah saudaramu sendiri’ yang ganas itu. Muhammad Yusuf, sipejuang rakyat di kampungnya, mati di Lapas Kotabaru akibat kesewenang-wenangan PT. MSAM milik oknum pengusaha hitam, yang diback-up para oknum jenderal; ia harus melepas nyawanya di penghujung Ramadhan 1439 H. Akibat rekomendasi sebuah lembaga penghianat pers, teman kami itu harus merasakan jeruji besi sebelum tewas dan membusuk di sana.
Bung Karno! Sudihlah Engkau datangi kedua anak almarhum, bantu beri jawaban atas pertanyaan mereka di hari lebaran, 1 Syawal 1439 Hijriah ini: Ibu dimana Ayah?…
Penulis Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA. Ketua Umum PPWI Nasional, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012.