SUAKA – KOTABARU. Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kotabaru Agung Nugroho Santoso membeberkan kronologi meninggalnya wartawan Kemajuan Rakyat Muhammad Yusuf. Menurut Agung, kematian Yusuf terjadi sehari sebelum persidangan akan menghadirkan saksi meringankan dari pihak terdakwa.
Yusuf menjadi terdakwa dalam kasus pencemaran nama dan ujaran kebencian. Ia didakwa melanggar pasal 45 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Adapun ancamanannya pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Yusuf dilaporkan oleh perusahaan sawit PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM)-perusahaan perkebunan sawit milik Syamsudin Andi Arsyad (Haji Isam) di Pulau Laut, Kabupaten Kotabaru. PT MSAM menilai berita itu provokatif dan merugikan perusahaan, sehingga melaporkannya ke polisi.
Agung mengatakan bahwa status Muhammad Yusuf, 42 tahun, sejatinya tahanan titipan PN Kotabaru mengingat sudah masuk persidangan. Itu sebabnya, ia berkata, keluar-masuknya Yusuf dari penjara mesti seizin penetapan Pengadilan Negeri Kotabaru.
Menurut Agung, PN Kotabaru sudah berusaha longgar supaya Yusuf mendapat perawatan intensif seperti rawat inap di RSUD Kotabaru. Sebelum meninggal, ia mengklaim Yusuf telah mendapat perawatan dua hari di rumah sakit milik Pemkab Kotabaru itu.
“Kami enggak mau dianggap melanggar HAM. Sama dokter dinyatakan sehat dan bisa dikembalikan ke lapas, enggak tahunya ada kabar Yusuf meninggal kemarin sore,” kata Agung Nugroho. Mengutip rekam medis, ia menuturkan Yusuf punya riwayat penyakit jantung dan stroke ringan sebelum masuk jeruji besi.
Istri Yusuf, Tarvaidah pernah mengajukan penangguhan penahanan ke Kepala Kejaksaan Negeri Kotabaru pada 11 Mei 2018. “Bahwa suami saya sejak tahun 2018 sampai sekarang kondisi kesehatannya mengalami penderitaan sakit. Anjuran dari dokter, suami saya butuh perawatan intensif untuk pemulihan penyakit,” demikian kutipan pon kelima alasan penangguhan terdakwa Yusuf.
Jaksa menolak surat penangguhan penahanan karena khawatir Yusuf melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya. “Khawatir menghilangkan barang bukti,” kata Agung.
Menurut Agung setelah Yusuf meninggal, ia merekomendasikan agar agar Jaksa Penuntut Umum segera merilis surat perintah penghentian penuntutan (SP3) terhadap M Yusuf. Menurut Agung, JPU belum membacakan tuntutan atas terdakwa Yusuf karena persidangan di PN Kotabaru masih pemeriksaan saksi-saksi.
“Bagaimanapun segera diterbitkan SP3 ketika terdakwa dinyatakan meninggal dunia. Jadi sidang lanjutan setelah hari raya enggak digelar lagi,” kata Agung Nugroho, Senin (11/6/2018).
Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Kalimantan Selatan, Anang Fadhilah, siap memberikan pendampingan hukum apabila keluarga Muhammad Yusuf menggugat polisi. Sejak awal kasus bergulir, Anang Fadhilah, sangat lantang memprotes sikap Kepolisian Kotabaru yang berkukuh mengusut secara pidana M Yusuf. Menurut Anang, polisi mesti menerapkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ketika menerima pengaduan produk jurnalistik.
“Kami siap mendampingi keluarga Yusuf kalau mau menggugat prosedur penangkapannya. Sengketa produk pemberitaan harus sesuai mekanisme UU Pers, bukan malah dijerat hukum pidana seperti UU ITE. Ini menjadi pertanyaan diberbagai kalangan, ada apa dan mengapa kepolisian sampai- sampai menangkap dan mempidakanannya sehingga ajalnya menjemput disaat proses hukum tersebut berlangsung?,” katanya Selasa (12/6/2018) kepada wartawan.
Selanjutnya, wartawan senior Kalimantan Selatan ini mengharapkan, kepolisian bisa mengkaji ulang kematian M Yusuf tersebut, apakah memang dalam kondisi sakit atau adanya penyebab faktor lainnya, “Kita menduga kematian rekan kita secara mendadak ini terkesan tidak wajar. Sebaiknya dilakukan visum ulang dan jika perlu laksanakan otopsi guna mengungkap fakta kebenarannya,” kata Anang.
Anang Fadhillah mengajak kehadiran para wartawan dalam pertemuan, “Besok Rabu 13 Juni 2018 kita akan adakan pertemuan dengan kawan-kawan wartawan di Hotel Batung Batulis Banjarmasin, guna membahas permasalahan kematian rekan kita M Yusuf tersebut. Kita bekerjasama dengan LSM LEKEM KALIMANTAN dalam pembahasan tersebut. Diharapkan kehadiran kawan-kawan insan pers di Kalsel ini dalam acara tersebut,” paparnya.
Secara terpisah, Ketua Hukum dan Advokasi Ikatan Wartawan Online (IWO) Kalimantan Selatan Aspihani Ideris menyatakan, kematian M Yusuf dikarenakan sesak nafas tiba-tiba disertai dengan muntah-muntah dan akhirnya hanya berselang sekitar 30 menit setibanya di rumah sakit terindikasi tidak wajar.
“Saya rasa patut diduga kematian saudara kita M Yusuf tidak wajar,” katanya kepada wartawan, Selasa (12/6/2018).
Selanjutnya Aspihani mengutif pernyataan Kapolres Kotabaru dengan mengatakan dari visum sementara, tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh Yusuf. Dan setelah itu jenazah wartawan online ini langsung diserahkan ke keluarganya untuk dimakamkan keesokan harinya, pada Senin (11/6/2018) membuat misteri dan pertanyaan diberbagai kalangan.
“Guna kepastian hukum, jangan hanya visum, jika pihak keluarga almarhum berkenan dan mengizinkannya, sebaiknya otopsi terhadap jenazah M Yusuf, saya rasa perlu dilaksanakan guna membuka tabir misteri kematiannya. Sehingga hasilnya tidak menjadi tanda tanya lagi dikemudian hari,” katanya.
Selanjutnya dosen fakultas hukum Universiatas Islam Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini menyesalkan atas perlakuan Dewan Pers yang memberikan rekomendasi terhadap kepolisian untuk menangkap M Yusuf dan memproses pidananya di luar mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta menjerat dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan perbuatan sangat tidak wajar.
“Dewan Pers seharusnya membela, melindungi dan mengayomi wartawan, bukan malahan mempidakannya dengan memberikan rekomendasi kepada kepolisian. Ada apa ini semua?,” ujar Aspihani seakan-akan bertanya balik kepada wartawan.
Penulis : Diananta P Sumedi dan M Hatim Darmawi