suarakalimantan.com, Banjarmasin. Sidang gugatan Sebuku Group dengan tergugat Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor terus berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak tergugat, Kamis (24/4/2018).
Gugatan yang diajukan tiga perusahaan tambang di bawah bendera Silo Group yakni PT Sebuku Tanjung Coal, PT Sebuku Batubai Coal, dan PT Sebuku Sejaka atas surat keputusan (SK) Gubernur Kalsel tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) di Pulau Laut, berlangsung seru.
Tak hanya diwarnai aksi unjuk rasa massa yang mengatasnamakan warga Pulau Pulau Laut, Kotabaru, juga diperkuat dengan penyerahan 11 ribu fotokopi KTP elektronik dan tanda tangan untuk membuktikan dukungan warga menolak tambang di Pulau Laut.
Untuk memperkuat argumen dan fakta hukum, kubu Gubernur Kalsel yang diwakili kuasa hukumnya, Andi M Asrun bersama tim jaksa pengacara negara (JPN) menghadirkan saksi ahli lingkungan, Kartasiran.
Dalam sidang itu, Kartasiran memaparkan sejumlah analisa yang telah ia lakukan bersama sejumlah akademisi di Universitas Lambung Mangkurat tentang dampak lingkungan yang ada di Kalimantan Selatan. Ini menyusul berkurangnya luas hutan atas berbagai kegiatan terutama pertambangan. Namun, Kartasiran menyampaikan kajian atau analisa yang dilakukan pihaknya, secara umum bagi wilayah Kalimantan Selatan dan tidak spesifik untuk Pulau Laut.
Ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara gugatan itu, Retno Widowati dalam sidang itu beberapa kali mempertanyakan apakah hasil analisis yang telah saksi ahli lingkungan pada tahun 2013, masih relevan dengan kondisi sekarang di tahun 2018.
Menanggapi hal ini, saksi ahli Kartasiran bersikukuh masih relevan dengan alasan ada gerakan revolusi hijau untuk melakukan penanaman pohon di banyak tempat di Provinsi Kalimantan Selatan.
Kartasiran juga dicecar banyak pertanyaan oleh tim kuasa hukum Sebuku Group, Yusril Ihza Mahendra dan rekan. Seusai sidang ini, Yusril mengatakan, saksi ahli yang dihadirkan pihak tergugat tidak jelas. Menurutnya, di satu pihak mengaku hidrologi hutan, tetapi di pihak lain mengaku orang lingkungan. Selain itu, Yusril mengatakan ketika ditanya tentang dokumen amdal dan izin lingkungan juga tidak mengerti.
Mantan Menteri Kehakiman era Gus Dur ini mengaku heran. Ia menganalogikan sama saja ahli hukum tata negara tidak tahu DPR, dan ahli hukum pidana tidak tahu penjara, serta yang dijawab saksi tidak relevan. “Kita sudah ajukan beberapa pertanyaan, yang dijawab tidak relevan dengan apa yang harus dibuktikan di pengadilan,” jelas Yusril.
Terpisah, Andi Muhammad Asrun selaku kuasa hukum Gubernur Kalimantan Selatan menegaskan apa yang disampaikan saksi ahli, membuktikan bahwa aktivitas pertambangan tak memungkinkan terjadi di Pulau Laut, Kotabaru.
“Sebab, daya dukung lingkungan sangat rendah, air di sekitar juga akan mengandung logam berat, sehingga tidak dapat digunakan untuk kegiatan lain. Pulau Laut, lebih ideal untuk lahan pertanian dan sawit, hanya untuk daerah tertentu saja. Kalau dilakukan pertambangan, maka akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan baru 200 tahun bisa diatasi, seperti yang dikatakan Yusril di Bangka Belitung,” tegas Andi M Asrun lagi.
Sementara itu, Kartasiran, saksi ahli lingkungan kepada jejakrekam.com mengakui ia baru sekitar satu minggu mendapat pemberitahuan untuk jadi saksi ahli di PTUN Banjarmasin. Sedangkan, menurut dia, mengenai izin amdal dan izin lingkungan, dirinya tidak tahu dan memang tidak terlibat dalam pembuatannya. (TIM)