SUAKA-BANJARBARU. Ruang rapat H Maksid di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, riuh puluhan orang yang saling mencari solusi ketika hari sudah beranjak siang, Selasa (24/4/2018). Dimulai pukul 10.45 wita, rapat kerja itu dihadiri perwakilan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Panitian Khusus BUMD DPRD Sulawesi Barat.
Diketahui, sebelum pertemuan ini, Pemprov Kalsel lebih dulu bertandang ke Majene, ibu kota Provinsi Sulawesi Barat. Dalam lawatan sebelumnya, Kalsel menerima informasi Pemprov Sulbar sudah membentuk BUMD Sulbar Malapi tanpa dilandasi peraturan daerah. Adapun kondisi di Kalsel, DPRD Kalsel sudah mengesahkan Perda Nomor 1 Tahun 2018 sebagai dasar pembentukan Perusda Sebuku Bergerak.
Pemprov Kalsel menguasai 100 persen saham Sebuku Bergerak— perusahaan bentukan Pemprov Kalsel yang bertugas mengelola dana Partisipating Interest (PI) di Blok Sebuku dan West Sebuku. Blok Sebuku dan West Sebuku terletak di perairan Selat Sulawesi dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Mubadala Petroleum. Gas bumi hasil eksploitasi blok migas lepas pantai ini dijual ke pabrik pupuk di Bontang, Kalimantan Timur.
Kedua pemerintah provinsi itu tengah sibuk mengejar tenggat akhir yang diminta oleh SKK Migas. Regulator hulu migas nasional ini memberi tenggat penyerahan syarat untuk pengelolaan PI pada 20 Juni 2018. pemerintah pusat mengalokasikan PI 10 persen untuk kedua provinsi, yang dibagi masing-masing lima persen.
Persoalannya, dua bulan jelang tenggat, Pemprov Kalsel dan Pemprov Sulbar sama-sama belum siap, baik dalam hal badan hukum pengelola dan mekanisme bagi hasil kepada kabupaten lain. Kalsel belum mengisi jajaran direksi Perusda Sebuku Bergerak. Adapun Sulbar belum beres mengesahkan revisi Perda 9 Tahun 2009, tapi sudah membentuk BUMD Sulbar Malapi plus susunan direksinya.
Ketua Pansus BUMD Sulbar di DPRD Sulbar, Sukri Umar, mengatakan pembentukan BUMD Sulbar Malapi masih menyisakan masalah. Kata Sukri, personel di BUMD calon pengelola PI Blok Sebuku itu diisi SDM dari partai politik dan sudah berusia tua. Kalaupun revisi perda disahkan, Sukri ingin Gubernur Sulbar merombak susunan direksi Sulbar Malapi. “Pak Gubernur Sulbar tidak mematuhi perda soal umur direksi dan ada keterlibatan parpol. Fit and proper tes harusnya di DPRD. Saya mengatakan ada aturan, tapi tidak ditaati. Karena ini holding yang khusus mengelola PI, jangan ada anak perusahaan,” kata Sukri Umar.
Iapun kepincut meniru substansi Perda Nomor 1 Tahun 2018 milik Kalsel. Di tengah waktu yang makin mepet, Sukri mengatakan DPRD Sulbar perlu mencari cantolan untuk mengebut proses pembahasan. Sukri optimis revisi perda dan rekrutmen ulang direksi Sulbar Malapi segera beres sebelum tanggal 20 Juni 2018.
Adapun Asisten I Bidang Pemerintahan Pemprov Kalsel, Siswansyah, menyarankan Sulbar mengadopsi substansi Perda 1 Tahun 2018 milik Kalsel, sebagai landasan pembentukan perusda pengelola dana PI. Namun, materi perda tidak membahas soal teknis komposisi pembagian PI di antara pemprov dan kabupaten lain. Kesepakatan lebih detail tercantum dalam Peraturan Gubernur Kalsel yang masih dalam pembahasan.
Semestinya ia memaparkan, membentuk perusda yang saham sepenuhnya dimiliki Kalsel. Semula, Kalsel ingin menggandeng BUMD Bangun Banua untuk mengelola PI Blok Sebuku dan West Sebuku. Tapi batal setelah 40 persen saham Bangun Banua dimiliki oleh swasta. Pembentukan perusda lebih simpel di tengah tenggat yang kian mepet. “Hasil PI ini kan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat juga, jadi kembali ke masyarakat,” kata Siswansyah.
Dua bulan tersisa, Siswansyah mengajak para pihak untuk mempertemukan Gubernur Kalsel dan Gubernur Sulbar. Ia ingin menyamakan misi dan menemui SKK Migas. Siswansyah berharap kesempatan menerima jatah PI 10 persen jangan sampai menguap gara-gara salah satu pihak telat mengambil keputusan.(Diananta P Sumedi)