Ket foto: Reza Indragiri Amriel
Jakarta – suarakalimantan.com, Fenomena minuman keras alias miras oplosan yang menewaskan puluhan orang di Bandung, Jawa Barat dan berbagi lokasi di Indonesia belakangan ini membuat polisi menggelar razia ke warung-warung. Bahkan, polisi sudah melakukan penggrebekan ke produsen miras guna meminimialisir korban jatuh berikutnya.
Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, korban miras oplosan biasanya mereka menenggaknya secara bersamaan. Bahkan, perlu dicermati juga apakah korban itu dipaksa minum atau atas kemauannya sendiri.
“Apakah mereka dipaksa pihak lain untuk minum miras sampai sengsara? Kalau berasal dari inisiatif sendiri, berarti bukan korban miras. Julukan yang pas adalah pemabuk,” ujar Reza dalam pesan singkat yang dikirimkan ke wartawan Kamis (12/4/2018).
Menurutnya, yang terpenting kedepan adalah bagaimana kita bisa mencegah agar tidak ada lagi jatuh korban berikutnya.
“Lho, isunya bukan pada tewasnya si pemabuk. Masalahnya adalah pengonsumsian miras. Jadi pertanyaan yang betul adalah bagaimana menyetop orang agar tidak minum miras,” ujarnya.
Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini tidak setuju jika korban miras digratiskan saat mendapat pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
“Justru untuk pasien semacam ini semestinya tidak digratiskan. Sudi pajak disalurkan untuk membiayai pengobatan pemabuk?,” jelas Reza.
Dirinya menyebut, bagi sebagian orang mabuk adalah solusi emosi atas masalah hidup. Justru karena mabuk, rasionalitas terganggu sehingga membikin masalah baru dalam hidup.
“Apalagi ketika duit habis untuk beli miras, lalu mencuri, sahlah menjadi masalah bagi hidup orang lain,” pungkasnya.