SUAKA-BANJARMASIN. Dua dekade reformasi, tentara dan kepolisian masih saja terlibat dalam tarik-menarik kepentingan bisnis-sesuatu yang lazim terjadi pada era Orde Baru. Di Kotabaru, Kalimantan Selatan, ketika dua pengusaha berebut penguasaan lahan batu bara dan perkebunan sawit, cawe-cawe institusi bersenjata itu bahkan melibatkan pimpinan level tertinggi.
Perseteruan berawal dari kegiatan bisnis PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) dan PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM). SILO memiliki pertambangan bijih besi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. Membangun fasilitas pemurnian bijih besi pada 2015, SILO memenuhi kebutuhan energinya lewat eksploitasi tambang batu bara di Pulau Laut, juga di Kalimantan Selatan. Izin penambangan telah dikantongi tiga perusahaan di grup itu.
Pada saat hampir bersamaan, di lahan milik PT Inhutani yang bersisian dengan area tambang batu bara milik SILO, MSAM membangun perkebunan sawit. Konflik kedua perusahaan muncul ketika SILO mengklaim MSAM menggarap area yang merupakan bagian konsesinya.
MSAM bukan perusahaan sembarangan. Pemiliknya adalah Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pengusaha batu bara yang sejak dulu dikenal dekat dengan petinggi kepolisian. Dalam konfliknya dengan SILO, MSAM mempekerjakan personel Brigade Mobil untuk mengawal penanaman sawit.
Di lapangan, entah atas perintah siapa, polisi memeriksa mereka yang menentang perkebunan sawit MSAM atau mendukung penambangan batu bara milik SILO. Merasa ditekan kepolisian, SILO mencari perlindungan dari militer, termasuk mempekerjakan tentara dalam pengamanan area tambang. Tiga koperasi tentara juga ikut berniaga di perusahaan ini-hal yang tidak dibenarkan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia.
Sempat tercapai “keseimbangan” di antara dua perusahaan yang berseteru, peta berubah ketika Panglima TNI beralih dari Jenderal Gatot Nurmantyo ke Marsekal Hadi Tjahjanto. Panglima yang baru itu segera menarik pasukan TNI dari lokasi tambang. Isam, yang didukung polisi dan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, menjadi di atas angin. Pada awal 2018, Sahbirin mencabut izin tambang batu bara PT SILO. Sengketa berlanjut di pengadilan setelah SILO memperkarakan pencabutan izin tersebut.
Gubernur Sahbirin selayaknya tidak menyelewengkan kekuasaan dengan mendukung salah satu pihak yang berseteru. Keputusan mengeluarkan atau menghentikan izin penambangan harus didasarkan semata-mata pada kemaslahatan orang banyak.
Petinggi kepolisian dan tentara semestinya segera menghentikan keterlibatan mereka. Kedua perusahaan harus menyelesaikan perselisihan melalui jalur hukum, tanpa menarik institusi negara ke dalam pusaran sengketa. Keputusan Marsekal Hadi menarik pasukan serta menghentikan usaha koperasi TNI dari usaha tambang PT SILO sudah tepat. Personel kepolisian yang ditengarai mendukung kubu MSAM seharusnya mengikuti langkah ini.
Petinggi TNI dan Polri selayaknya tak mengulang apa yang pernah dilakukan senior mereka di era Orde Baru. Pada masa itu, ketika keduanya masih disatukan dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tentara dan polisi lazim berbisnis. Di level kesatuan, mereka biasa menjual jasa pengamanan.
Praktik ini dulu dianggap wajar-jika bukan dilegalkan-karena, antara lain, mampu menutupi kekurangan anggaran yang disediakan negara. Petinggi militer juga melegalkan bisnis atas nama peningkatan kesejahteraan prajurit dan keluarganya. Presiden Soeharto sejak menjabat Panglima Daerah Militer Diponegoro telah menjalin aliansi dengan pengusaha-kolaborasi yang mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun.
Bisnis militer dan kepolisian menimbulkan banyak dampak negatif. Di antaranya, Angkatan Bersenjata dianggap sebagai komprador penopang kapitalisme semu. Bisnis militer juga subur menumbuhkan praktik korupsi dan kolusi, dari prajurit hingga jenderal beserta sanak-kerabatnya. Lebih jauh lagi, keterlibatan dalam bisnis telah melunturkan profesionalisme tentara dan polisi.
Dua puluh tahun setelah reformasi, meski belum ideal, kemampuan negara dalam menyediakan anggaran untuk tentara dan kepolisian jelas membaik. Sangat menyedihkan jika petinggi kedua institusi masih mengulang kebiasaan lama itu.###