SUAKA – KALSEL. Selama ini heboh kelangkaan Liquid Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram mulai mereda di Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan, bahkan berbagai media sekan-akan berlomba mengejar pemberitaan tersebut. Namun setelah PT Pertamina melipat gandakan pasokan LPG dan di tengah upaya pemulihan pasokan, para pengusaha malahan memanfaatkan keadaan dengan menjual melebihi dari harga yang ditentukan.
Beruntung pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan dan Polres Banjar cepat bertindak dan berhasil meringkus sopir agen LPG dan pengecer LPG 3 kilogram karena kepergok menjual Gas Subsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 17.500 per tabung, kata Aspihani Ideris berujar kepada sejumlah wartawan yang menyambanginya.
“Kita berharap pihak Kepolisian benar-benar aktif mengawasi penjualan Gas bersubsidi di Kalimantan Selatan ini. Jika ada orang yang menjual diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 17.500 per tabung, itu harus ditindak secara hukum yang berlaku. Hal ini supaya jangan sampai Gas LPG sempat langka lagi dipasaran,” harap Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan (LEKEM KALIMANTAN) dalam paparan nya saat di minta tanggapannya oleh wartawan, Minggu 16 Jumadil Akhir 1439 Hijriah.
Menurutnya, aksi kepolisian itu sudah ditunjukkannya dan atas penindakan di wilayah hukum Kabupaten Banjar sebagai contoh itu patut diapresiasi. Sikap pelaku yang memperdagangkan barang bersubsidi di tengah penderitaan rakyat, pantas diganjar hukuman setimpal, imbuh Ketua Advokasi Hukum IWO Kalsel ini.
Karena dengan ulah para pengusaha nakal itu, celutih aktivis Kalimantan ini, perbuatan itu membuat masyarakat lintang pukang mencari stok LPG berjenis melon, ini jelas merupakan sebuah tindakan melawan hukum dan masyarakat sangat dirugikan, dan sangat jelas mereka ingin meraup untung berlipat dari momentum kelangkaan LPG tersebut, ujar tokoh kelahiran Desa Gudang Hirang Kecamatan Sungai Tabuk, 23 Januari 1975 ini.
Dari itu semua, Aspihani mengharapkan, baik pelaku penjual diatas harga yang diterapkan oleh pemerintah maupun bagi pengusaha pangkalan nakal harus ditindak dan diberikan disanksi pidana dan jika perlu adanya tindakan tegas dengan Pemutusan Hubungan Usaha (PHU). “Tindakan tegas Insya Allah dapat menormalisasi peredaran Gas LPG itu,” katanya.
Dari itupula, Dosen Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini mengharapkan, selain meringkus penjual nakal, pihak kepolisian dan pemerintah daerah semestinya aktif menyisir restoran, rumah makan, dan usaha makro yang masih menggunakan LPG melon. “Kan sudah jelas peruntukan LPG 3 kilogram itu sudah diatur dalam Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian LPG, dan juga Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga mengaturnya,” imbuhnya.
Apalagi menurut salah satu tokoh pencetus Gambut Raya ini, peredaran LPG tersebut jelas sudah ada penegasan dalam Peraturan Besama Menteri Dalam Negeri dan Menteri ESDM Nomor 17 dan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pendistribusian Tertutup LPG Tertentu di Daerah. Beleid tersebut sudah cukup, tinggal bagaimana eksekusi implementasi di daerah. “Selama ini, PT Pertamina melalui badan usaha yang ditunjuk pemerintah pusat sebagai mandatori distribusi LPG berjenis melon dan ini selalu jadi sasaran empuk ketika LPG melon sulit didapat,” paparnya. (TIM)