Hari Pers Nasional (HPN) 2018 dan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-72 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dirayakan Pengurus PWI Cabang Kalimantan Tengah, 15 Maret mendatang di Buntok, Kabupaten Barito Timur.
Milad atau peringatan kelahiran organisasi insan-insan yang memiliki andil besar mengabadikan peristiwa-peristiwa bersejarah di negeri ini, juga akan dihadiri Gubernur H Sugianto Sabran, Pengurus PWI Pusat dan tokoh-rokoh pers di provinsi tersebut.
Di tengah suka cita insan pers di provinsi tersebut dengan hajatan besarnya, ada beberapa renungan (maaf kalau boleh disebut introspeksi, dan sedikit pun tidak bermaksud menggurui, Red.) agar tetap selalu mawas diri, terutama dalam persoalan sengketa hukum.
Upaya menghakimi pers melalui institusi peradilan oleh pihak mana pun, termasuk yang dilakukan peradilan itu sendiri, suka atau tidak bukan sama sekali tidak memiliki sandaran. Pihak-pihak yang terlibat sengketa, umumnya selalu mempertanyakan hak imunitas pers.
Alasannya, meski pers bekerja untuk kepentingan publik tidak secara otomatis menyebabkan apa yang dikerjakannya benar. Cara pandang seperti ini berujung pada pertanyaan menohok: kalau pers melakukan kesalahan, kenapa hukum tidak boleh menyentuhnya?
Dengan cara pandang demikian, mau tidak mau harus diakui produk pers yang andal saja, misalnya Time atau Tempo yang dinilai memiliki reputasi baik, dipertanyakan otoritasnya. Apalagi produk pers dari media yang tidak memiliki rekam jejak yang tidak jelas, apalagi abal-abal dan selalu mengejar itu tuh orang lapangannya.
Karena itu pihak media secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama institusi yang dibentuk berkaitan dengan eksistensi dan fungsi pers, harus menemukan dan mendesakkan jalan keluar atas persoalan ini. Tidak etis setiap kali terjadi sengketa pers, pihak-pihak dimaksud sekadar berhenti menunggu UU Pers diterapkan.
Kesetaraan seperti itu akan menempatkan kemungkinan buruk yang dapat dilakukan kedua belah pihak. Aktor-aktor yang diberitakan, katakanlah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, dan pers yang menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya.
Asumsinya, produk pers yang sehat –karena itu berhak disebut pilar keempat dalam negara demokrasi– tentulah bersumber dari media yang baik. Artinya di luar itu, pastilah tidak sedikit pers yang buruk. Apakah keduanya berhak mendapat perlakuan dan pembelaan yang sama.
Pertanyaannya; ya, kalau itu yang terjadi. Bagaimana dengan pers yang tumbuh liar menggerogoti otoritasnya? Apakah berimplikasi terhadap pers secara keseluruhan? Dari situlah pintu masuk pihak mana pun senantiasa mempertanyakan keabsahan otoritas pers, termasuk di Kalimantan Tengah yang berjibun dengan berbagai nama media menakutkan.
Seharusnya, apabila institusi-institusi yang terkait dengan pers prihatin atas pemberlakuan UU Pers secara fakultatif, mereka perlu mencarikan terobosan penyelesaian sengketa pers. Sebatas berteriak menyangkut penggunaan hak jawab dan kecewa atas praktik kriminalisasi pers oleh institusi peradilan, itu sekadar mengulang-ulang sesuatu yang –mungkin– tidak memadai.
Pisau dengan dua mata sisisnya, sekali waktu tajam. Tapi pada lain waktu menjadi sedemikian majal. Karena itu tampaknya, kepastian hukum mengenai sengketa pers harus didesakkan terus-menerus kepada institusi hukumnya.
Begitu pula hendaknya yang dilakukan insan pers di Kalteng atau di manapun di nusantara ini agar bisa menjawab dan mencari solusi untuk menghadapi segala persoalan seperti yang dibeberkan di atas.
HPN yang diselenggarakan Pengurus PWI Cabang Kalteng di Buntok, Ibukota Kabupaten Barito Timur ini tak terbanyangkan sudah berusia 72 tahun. Pers selama itu juga berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Tapi perayaan kelahirannya yang diselenggarakan, seperti juga di daerah lain, lagi-lagi hanyalah ritual rutin tahunan belaka.
###