SUAKA – BANJARMASIN. Mantan Menteri Hukum dan HAM era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Prof. Dr. H. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. yang merupakan Kuasa Hukum PT Silo rencananya menggugat keputusan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor yang mencabut tiga Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi pertambangan batubara tiga anak usaha PT Sebuku Iron Lateric Ores (SILO) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Banjarmasin.
PT SILO menunjuk Yusril Ihza sebagai kuasa hukum untuk membatalkan keputusan sepihak Gubernur Sahbirin Noor. Ditunggu hingga pukul 15.00 wita, Senin (5/2), Yusril tak kunjung mendaftarkan gugatannya. Maklum, Yusril sempat berkoar akan mendaftarkan gugatan ke PTUN Banjarmasin pada Senin (5/2).
Adapun ketiga anak usaha PT SILO yang IUP-nya dicabut itu terdiri dari PT Sebuku Batubai Coal di Kecamatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Tengah, PT Sebuku Sejaka Coal di Pulau Laut Timur, dan PT Sebuku Tanjung Coal di Pulau Laut Tengah dan Pulau Laut Utara. Pencabutan izin berlaku efektif sejak 26 Januari 2018.
“Ya saya juga mendengar dari media bahwa Senin (5/2) ini mantan Menkumham yang katanya mau mendaftarkan gugatannya. Terkait pencabutan surat izin tiga perusahaan tambang batubara di Pulau Laut, tapi sampai siang ini belum ada,” kata Panitera PTUN Banjarmasin Achmad Suaidi SH, ketika ditemui diruang kerjanya, Senin (5/1).
Suaidi menjelaskan, pihaknya sampai saat ini juga belum mendengar informasi resmi dari pihak Yusril akan ke PTUN Banjarmasin. “Malah saya mengetahuinya dari media online. Jika Yusril mau mendaftarkan gugatannya. Bisa jadi besok (Selasa, 6/6) mau ke sini, kami hanya menunggu saja,” ujar dia.
Kepada beberapa wartawan di Jakarta pada Minggu (4/2), Yusril menganggap Gubernur Kalsel Sahbirin Noor bertindak sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum serta alasan yang jelas mencabut tiga IUP tersebut.
Senada juga, Ketua Advokasi Ikatan Wartawan Online Kalimantan Selatan, Aspihani Ideris SAP SH MH menanggapi wacana kuasa hukum menggugat atas sikap Gubernur Kalsel mencabut izin PT Silo Group tersebut, “Jika PT Silo melakukan gugatan atas pencabutan izin tambang di Kotabaru tersebut, itu merupakan sebuah langkah yang tepat. Karena yang berhak mencabut izin itu adalah pihak Kementerian ESDM, bukan ranahnya Gubernur,” paparnya.
Lahirnya SK Gubernur Kalsel nomor 503/119/DPMPTSP/2018 dan SK Gubernur Kalsel nomor 503/120/DPMPTSP/2018, serta SK Gubernur Kalsel, nomor 503/121/DPMPTSP/2018, tentang pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) tiga perusahaan tambang anak usaha Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) Group di Pulau Laut, sangat disayangkan. Karena menurut Aspihani pencabutan izin tersebut tidak didasarkan dengan kajian yang benar-benar sesuai ranah hukum yang berlaku.
“Kita apresiasi jika PT Silo atau PT Sebuku Group berencana melakukan gugatan, karena ini sepertinya ada tersisip bentuk kezaliman didalamnya. Bagi orang yang ngerti hukum, dipastikan jika SK Gubernur itu di PTUNkan pasti menang. Karena SK itu cacat hukum,” celutus aktivis Kalsel yang gencar menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat ini.
Jika pencabutan izin tersebut mengacu dengan dasar aspirasi masyarakat melalui Peraturan Bupati Kotabaru 29 Desember 2004 berupa larangan aktivitas pertambangan Batubara di Pulau Laut, dan rekomendasi pimpinan Muhammadiyah serta ada kajian akademis dari tim peneliti ULM bahwa kemampuan Pulau Laut dalam menyimpan air rendah sehingga musim kemarau tidak mampu menyuplai air bersih, itu hanya merupakan sebuah alasan yang tidak bisa dijadikan dasar. Terkecuali Silo Group telah melakukan kesalahan patal, semisal melakukan pencemaran lingkungan dan lain sebagainya, imbuh Aspihani.
Menurut Aspihani, dasar penerbitan tiga Surat Keputusan Gubernur Kalsel bernomor 503/119/DPMPTSP/2018, tertanggal 26 Januari 2018, SK Nomor 503/120/DPMPTSP/2018 tertanggal 26 Januari 2018, serta SK Nomor 503/121/DPMPTSP/2018 tertanggal 26 Januari 2018 perlu dipertanyakan, karena seakan-akan alasan pencabutan tersebut terkesan mengada-ngada, tukas aktivis Kalimantan ini.
Diketahui bahwa pencabutan tersebut didasari dengan ketentuan, Pertama, pencabutan Izin usaha pertambangan tersebut terhadap PT Sebuku Sejaka Coal 8.139,93 Ha. Kedua pencabutan IUP PT Sebuku Tanjung Coal seluas 8.990.38 Ha dan ketiga PT Sebuku Batubai Coal seluas 5140,89 Ha. Keputusan pencabutan izin ini berlaku sejak 26 Januari 2018.
Karena dari data dokumen yang didapatkan, IUP Produksi PT Sebuku Tanjung Coal dan PT Sebuku Batubai Coal justru dikeluarkan dan ditandatangani zamannya Bupati HM Sjachrani Mataja pada tanggal 7 Juli 2010. Dan pula SK itu baru dicabut Bupati HM Sjachrani Mataja pada tanggal 30 Juni 2010. Kemudian pada tanggal 3 Juli 2010, pemilik SILO Group (Sebuku Group) Effendy Tios dan Humas SILO Group Soputro membuat akta perjanjian dengan Bupati HM Sjachrani Mataja di hadapan notaris Iwan Setiawan yang beralamat di Jalan Sultan Adam Banjarmasin.
Karena dalam akta itu tertulis bahwa untuk mendapatkan izin IUP Produksi, maka Sebuku Group harus membangunkan jembatan Pulau Laut ke Pulau Kalimantan, memakai batubara untuk PLTU lokal, membangun pabrik bijih besi dengan kokas, membangun pelabuhan dengan kapasitas 30.000 ton, memberi pengolahan air bersih 1.000.000 meter kubik, dan rekrutmen tenaga kerja lokal sebanyak 75 persen.
Akta itupun kemudian ditandatangani Bupati HM Sjachrani Mataja dan pemilik SILO Group serta notaris. Tidak lama kemudian, pada tanggal 7 Juli 2010, keluar IUP Produksi kepada PT Sebuku Tanjung Coal, Sebuku Batubai Coal, Sebuku Sejaka Coal dan PT Banjar Asri (bijih besi). Bukti adanya IUP P itu juga terlihat pada situs minerba.esdm.go.id, di sana tertulis lengkap tanggal SK dan luasan izinnya. (TIM)