SUAKA – BANJARMASIN. Buntut dari Laporan Jainah Machran ST binti H Machran (Alm) yang mengaku ASN dari Dinas Pertamanan Kota Banjarbaru ke Mapolsek Banjarbaru Kota pada hari Rabu, 8 Nopember 2017, dengan Laporan Polisi Nomor : LP / K / 82 / XI / 2017 / KALSEL/TES BHB/SEKTA dan terlapor saudara Hairil Fajar berbuntut ke tersangka.
Hal ini di karenakan pengguna fasilitas umum tersebut dipersalahkan dengan tuduhan melanggar Pasal 406 KUHP, dengan tuduhan melakukan pengrusakan atas patahnya kaki kursi di taman Minggu Raya, Selasa malam sekitar pukul 22:30 Wita, 7 November 2017 yang lalu.
Menurut Hairil Fajar, disaat itu dirinya bersama 3 orang temannya satu kerja disaat itu bersantai ria menikmati indahnya taman Minggu Raya di Banjarbaru. Sekitar pukul 22:30 dirinya beserta temannya berkeinginan pulang ke Sekumpul Martapura, tempat mereka menginap dan bekerja disana, yakni di toko Kaligrafi miliknya H Adi Yusuf.
Namun disaat kami mau beranjak pulang, ujar Fazar menjelaskan, rokoknya dari kantung bajunya ter jatuh. Diketika beranjak dari kursi tersebut mau mengambil rokoknya yang terjatuh tersebut, dan tanpa disengaja kaki kursi besi tersebut patah secara tiba-tiba ujung sebelah kanan. “saat saya ngambil rokok yang terjatuh, tiba-tiba kaki kursi sebelah kanannya patah,” jelasnya menceritakan kepada wartawan.
Disitu langsung petugas dari SATPOL PP datang menghampirinya, dan menanyakan asal mu asal patahnya kaki kursi tersebut. Saya langsung jawab ,”saya siap bertanggung jawab dengan memperbaikinya seperti sedia kala. Dan petugas SATPOL PP itu menyetujui. Tidak berapa lama, datanglah Patroli Polsek Banjarbaru dan menghampiri saya,” kata Hairil Fajar menjelaskan kepada wartawan.
Disaat itu juga saya bersama teman saya, M Zaini, M Syakir, dan M Noor Aidil Fitri di minta masuk kedalam mobil Patroli Polisi itu dan langsung dibawa ke Polsek Banjarbaru Kota untuk dimintai keterangan. “Saya diminta membuat surat pernyataan kesungguhan untuk memperbaiki kaki kursi yang patah tersebut dan itu langsung saya tulis sendiri, disana saya tulis permintaan maaf saya atas kerusakan kursi tersebut serta saya bersedia memperbaikinya,” ujar Fajar.
Pada malam tersebut, karena sudah larut malam, saya dan ketiga teman saya diminta menginap di Polsek Banjarbaru Kota. Namun diketika pagi hari saya bangun. “Nyenyaknya tidurku malam itu, ternyata ketiga teman saya sudah tidak berada di samping saya lagi diketika saya bangun tidur pagi harinya. Karena lapar dan ingin beli rokok, saya keluar kantor Polsek tanpa izin, karena saat itu tidak terlihat ada polisi,” katanya.
Namun jelas Fajar lagi kepada wartawan, diketika diri nya balik ke kantor Polsek, dirinya malahan langsung di borgol dan dimasukan ke sebuah ruangan oleh salah satu anggota Polisi. “Saya langsung di hajar, dengan di pukul dan ditendang habis-habisan. Rokok yang saya beli dimasukan semua ke mulut saya secara paksa sampai termakan oleh saya,” cerita Fajar kepada wartawan.
Saya disiksa seperti binatang oleh oknum Polisi tersebut. “Saya ini manusia pak, bukan binatang” ucapnya sambil menangis kepada wartawan, di Lotte Mart Banjarmasin (18/11). Padahal menurut Fajar, Kursi tersebut sudah kami perbaiki, bahkan kursi itu kami cat dan baik seperti sedia kala.
Kenapa saya disalahkan sampai menjadi tersangkan, padahal kami sudah mendatangi ke kantor Dinas Pertamanan, namun kenapa tetap di laporkan oleh ibu Jainah Machran ST binti H Machran (Alm) ke Polsek Banjarbaru Kota dengan ancaman Pasal 406 KUHP. “Padahal saya tidak pernah merasa mematahkan, itu patah sendiri hanya terangkat sedikit, mungkin kaki kursinya sudah rapuh, dan tidak benar saya sengaja mematahkannya,” ucap Fajar dengan nada lesu kepada wartawan suarakalimantan.com.
Ketua advokasi dan hukum Ikatan Wartawan Online Kalimantan Selatan, Aspihani Ideris SAP SH MH angkat bicara dalam paparannya, di dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terdapat pada Pasal 19 menjelaskan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
“Intinya siapun, tidak terkecuali Polisi sendiri, yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, itu jelas melanggar hukum” tegas dosen Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini kepada wartawan, Sabtu (18/11) di RM samping Lotte Mart Banjarmasin.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 10 juga menegaskan, bagi Polisi dalam melaksanakan tugas wajib menghormati dan melindungi martabat manusia serta tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, suguh Aspihani.
Tegasnya menurut Aspihani Polisi dalam melaksanakan tugasnya harus menjalankan yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka. Selain itupula, menurut Aspihani, Pasal 11 Perkapolri 8/2009 tersebut menjelaskan, seorang polisi tersebut dilarang keras melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum. Apalagi sampai melakukan penganiayaan dengan perlakuan tidak manusiawi terhadap Hairil Fajar, sehingga perbuatan oknum polisi ini dapat merendahkan martabat kurban itu sendiri.
Diketika wartawan mempertanyakan sanksi apa yang harus di jatuhkan kepada oknum anggota Polsek Banjarbaru Kota jika terbukti melakukan pemukulan tersebut. Aspihani menjawab “Apabila itu hanya sanksi disiplin yang dijatuhkan oleh Propam terhadap dua oknum polisi yang bertugas di Mapolsek Banjarbaru Kota itu, itu sama saja dengan pihak Propam melecehkan hukum yang berlaku di NKRI. Mereka itukan seorang penegak hukum?. Karena pelaku menganiayan seseorang itu jelas pidana murni, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP,” tegas Aspihani kepada wartawan.
Selanjutnya Aspihani memaparkan, patahnya kursi di taman Minggu Raya tersebut tidak menutup kemungkinan buruknya fasilitas umum yang ada di di daerah tengah-tengah kota Banjarbaru tersebut “ini semua patut diduga buruknya fasilitas umum tersebut dan rendahnya kualitas pelayanan publik di taman kota Minggu Raya ini,” kata Aspihani.
Intinya, siapapun tidak dibenarkan menuduh seseorang berlaku buruk tanpa bukti yang sebenarnya. Patahnya kaki kursi di Taman Minggu Raya itu, bisa saja akibat dampak buruknya fasilitas umum dan fasilitas yang sudah rapuh termakan usia serta tidak dijaga dan dipelihara dengan baik, “Sangat aneh penyidik Polsek Banjarbaru Kota langsung meningkatkan perkaranya si Hairil Fajar menjadi tersangka, sedangkan yang bersangkutan belum pernah sama sekali di BAP, guna untuk melangkah ke penyidikan,” ujar Aspihani.
Selanjutnya Aspihani memaparkan, berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat Kalimantan ini, penentuan seseorang untuk ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah perkara harus dilakukan sehati-hati mungkin. Penentuan status tersangka harus dibangun sebagai bukti dari bukti-bukti yang sebelumnya dan minimal dua alat bukti harus didapatkan oleh penyidik, ujar Aspihani.
Berdasarkan logika, ujar aktivis LSM Kalimantan ini, tidak mungkin kursi tersebut bisa kakinya bisa patah seketika hanya terangkat tidak lebih dari 20 sentimeter. Dan itupun sebelumnya hanya di duduki oleh 4 orang anak muda yang rata-rata mereka berbadan kurus, katanya.
“Kan kursi itu dari besi, memangnya berapa sih berat badan mereka itu. Apabila mereka itu di tuduh oleh oknum Dinas Pertamanan Kota Banjarbaru, maka itu adalah hal yang di ada-adakan dan polisi pun memasang pasal 406 KUHP itu adalah hal yang di paksakan. Ini perlu dikaji ulang, apalagi kasusnya secepat kilat korban pemukulan ini sudah menjadi tersangka. Ada apa antara Jainah dan Oknum Polsek Banjarbaru Kota? Karena jika memang Dinas Pertamanan merasa dirugikan, bukan Jainah yang melaporkannya, kan disana ada Kapala Bagian Hukum maupun Kepala Dinasnya sendiri,” paparnya seraya menutup pembicaraannya.
Senada juga, Andi Nurdin SH memaparkan, penetapan tersangka terhadap Hairil Fajar oleh penyidik Polsek Banjarbaru Kota atas kasus dugaan pengrusakan kursi taman di Minggu Raya Kota Banjarbaru ini terkesan tergesa-gesa dan dipaksakan, “penetapan sebagai tersangka seperti itu dipaksakan, masa penyidikan belum dilakukan, malah penyidik sudah menetapkan tersangka terhadap Hairil Fajar, Ada apa ini?, ” kata advokad Banjarmasin ini menuturkan kepada wartawan, Sabtu (18/11).
Dia memaparkan, penetapan tersangka terhadap Hairil Fajar ini seperti patut diduga adanya tersirat rasa dendam sendiri oleh penyidik, karena penyidik di Polsek Banjarbaru Kota ini merupakan seorang pelaku penganiayaan terhadap Hairil Fajar saat di sekap oleh oknum Polisi tersebut di kantor Polsek Banjarbaru Kota, ujar Andi menjelaskan kepada wartawan.
Sangat ironis, penyidik Polsek Banjarbaru Kota ini, Aipda Widodo Budi juga merupakan pelaku penganiayaan terhadap Hairil Fajar dan dalam panggilan pun di minta menghadap kepada pelaku penganiayaan itu sendiri. Seharusnya pihak Propam pun secepatnya menetapkan status pelaku penganiayaan tersebut, jangan terkesan jalan ditempat, kan sudah jelas ada laporannya ke Propam itu sendiri, kata Andi.
Jadi, papar Andi Nurdin, jika seorang anggota polisi melakukan tindak pidana seperti penganiyaan terhadap Hairil Fajar ini, maka polisi tersebut tidak hanya dilakukan tindak pidana dengan melanggar Pasal 351 KUHP, akan tetapi juga telah melanggar disiplin dan kode etik profesi polisi, “itu semua jelas melanggar hukum dan wajib diberikan sanksi sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya,” tegasnya.
Jurnalis : Gazali Rahman
Editorial : Kastalani