SUAKA – MARTAPURA. Sementara ini berhembus issu kalau sejumlah aktivis LSM di Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan, berupaya mempengaruhi penyelidik untuk menyetop kasus perjalanan dinas DPRD Banjar. Dikabarkan, kalau sejumlah aktivis itu telah menerima uang ratusan juta rupiah dari pihak tertentu dengan imbalan mencabut pengaduannya soal kasus tersebut.
Kecurigaan masyarakat hampir mendekati kenyataan. Sebab penanganan kasus ini seperti melambat. Benar atau tidaknya issu yang berkembang belum bisa dipastikan. Kala itu, muncul kasus dugaan perjokian yang diduga dilakukan beberapa anggota DPRD Banjar, berinisial F dan M dengan beberapa rekannya.
Kencang beredar juga, F dan M sampai-sampai harus menjual beberapa buah mobilnya untuk mengamankan kasus ini. Sumber menyebutkan kalau F sampai menjual sejumlah hartanya itu akurat. Sejumlah aktivis LSM issunya juga meraup uang yang banyak.
Ketika wartawan mengkonfirmasikan issu ini ke Ali, dengan tegas dia menjawab ‘tidak benar issu itu’. “Tidak benar issu tersebut. Kami intinya tetap menghendaki agar kasus itu diusut benar-benar oleh aparat hukum,” tegasnya.
Sementara Ali mengaku hal serupa juga. Kami mengharapkan Kejaksaan menuntaskan penyidikan kasus tersebut. Menurutnya, kedatangannya ke Kejari Martapura akhir Februari lalu semata-mata mendukung pengusutan kasus perjalanan dinas DPRD Banjar 2015-2016, dan tidak mengatasnamakan LSM manapun. “Saya cuma menambahkan informasi serta mendukung pengusutan kasus ini. Jadi, kontradiktif kalau saya meminta aparat hukum menghentikan penyelidikan kasus ini,” tukas mantan Ketua KNPI Kabupaten Banjar ini kepada wartawan.
Ali dalam pernikahannya diketahu dihadiri pejabat-pejabat eksekutif dan sebagian besar anggota DPRD Banjar di Aluh Aluh tersebut, yang jauh dari Martapura ini menolak dikatakan adanya issu tersebut. “Tidak benar kalau saya ada menerima uang ratusan juta sebagaimana issu yang berhembus selama ini. Apalagi saya disebutkan meminta aparat menghentikan kasus tersebut,” jelasnya.
Namun, Ali mengakui ia menerima uang dari beberapa pejabat dan itu menurutnya adalah hadiah perkawinannya, tidak terkait permintaannya untuk menghentikan kasus perjalanan dinas legeslatif itu. “Saya tidak munafik dengan uang. Kalau dikasih ya saya ambil. Kan haram menolak rezeki. Tetapi kalau berkaitan dengan kasus, saya tidak akan menerimanya. Saya tetap komitmen mendukung pemberantasan korupsi di Kabupaten Banjar dan terus ikut mendorong aparat hukum menuntaskan kasus tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, salah satu aktivis anti korupsi Kalimantan, Aspihani Ideris menyayangkan dengan berhembusnya issu adanya aktivis di Kalsel menerima uang ratusan juta dari sejumlah anggota DPRD Banjar, “Jika benar issu ini terjadi, bisa dipastikan perilaku para aktivis itu sangat mencoreng dunia ke aktivisan di Kalimantan Selatan ini,” ujarnya.
Sebagai seorang aktivis LSM, kita memiliki kewajiban mengawasi kinerja para eksekutif maupun legeslatif, namun menurut Aspihani, jangan sampai kinerja kita dicederai oleh sugukan yang melemahkan jiwa kita dalam meneropong pemerintahan yang bersih dari korupsi tersebut. Kata Direktur Aliansi Pengawas Korupsi (APEK) Kalimantan Selatan memaparkan.
Seorang yang berkifrah di LSM memang harus bersikap kritis terhadap pemerintah, walapun adakalanya LSM bertindak pula sebagai penjelas kebijaksanaan pemerintah. Sikap kritis itu hendaknya dapat dipahami, karena LSM itu memang tumbuh sebagai kekuatan pengimbang, baik terhadap pemerintah maupun swasta, kata Aspihani.
Kekuatan pengimbang ini menurut dosen Fakultas Hukum UNISKA ini sangat diperlukan, agar mekanisme demokrasi dapat bekerja dengan maksimal. Selain itu, LSM tidak mesti dapat dinilai sebagai kekuatan oposan, karena LSM adalah dua mitra pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan di daerah.
Salah seorang anggota DPRD Banjar, Andin Sofyannur SH mengaku tak tahu-menahu soal issu tersebut, karena selain sibuk sebagai wakil rakyat, ia juga sedang aktif menyelesaikan studinya. “Alhamdulillah sampai detik ini saya masih sibuk di Bandung mengurusi kuliah dan sudah hampir lima bulan izin dan jarang ngantor. Jadi tidak sempat dapat info seperti itu,” akunya.
Sementara itu, Kasi Pidsus Kejari Kabupaten Banjar, Budi Mukhlis mengatakan, penanganan kasus perjalanan dinas DPRD Banjar memang tidak bisa instan mengingat banyaknya orang yang harus diperiksa, dan juga lokasi kejadian kunker yang lebih dari 200 lokasi. Bisa dibayangkan sulitnya, mengingat perjalanan dinas DPRD Banjar dalam sebulan bisa tiga kali dan menghabiskan anggaran lebih dari 20 miliar.
Ia mengakui tidak mudah menangani kasus tersebut karena menyangkut sejumlah politisi. Tekanan-tekanan agar kasus ini tidak gol diakuinya memang ada. “Kita tak bergantung laporan, karena kasus ini murni pidana korupsi bukan delik aduan,” tegasnya. (adi)