SUAKA – KALIMANTAN. Sumpit adalah salah satu senjata yang sering digunakan oleh suku Dayak, suku Banjar maupun oleh masyarakat Melayu. Senjata ini terbuat dari kolong bambu dan mata anak sumpit agar bagi yang terkena bisa mati, maka mata anak sumpit tersebut diolesi dengan getah pohon ipuh atau pohon iren.
Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.
Dilihat dari bentuknya sumpit, sumpit memiliki bentuk yang bulat dan memiliki panjang antara 1,5-2 meter, berdiameter sekitar 2-3 sentimeter. Pada ujung sumpit ini diolah sasaran bidik seperti batok kecil seperti wajik yang berukuran 3-5 sentimeter. Pada bagian tengah dari sumpit dilubangi sebagai tempat masuknya damek (anak sumpit). Pada bagian bagian atas sumpit lebih tepatnya pada bagian depan sasaran bidik dipasang sebuah tombak atau sangkoh (dalam bahasa Dayak). Sangkoh terbuat dari batu gunung yang lalu diikat dengan anyaman uei (rotan).
Pada zaman bahari atau zaman penjajahan di Kalimantan dahulu, dalam peperangan serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit yang terbuat dari tabung bambu. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru.
Penyebab yang membuat pihak penjajah gentar itu adalah anak sumpit tersebut mengandung racun mematikan. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi melepaskan anak sumpit yang disebut damek. Oleh karena itu tidak heran penjajah Belanda bilang, menghadapi prajurit Dayak itu seperti melawan hantu.
Tanpa tahu keberadaan lawannya, tiba-tiba saja satu per satu serdadu Belanda terkapar kesakitan dan tidak berapa lama langsung tewas membuat sisa rekannya yang masih hidup lari terbirit-birit. Kalaupun sempat membalas dengan tembakan, dampak timah panas ternyata jauh tak seimbang dengan dahsyatnya anak sumpit beracun.
Tak sampai lima menit setelah tertancap anak sumpit pada bagian tubuh mana pun, para serdadu Belanda yang awalnya kejang-kajang dan akhirnya tewas. Bahkan, bisa jadi dalam hitungan detik mereka sudah tidak bernyawa lagi.akibat terkena Sumpit tersebut. Sementara, jika prajurit Dayak tertembak dan bukan pada bagian yang penting, peluru tinggal dikeluarkan. Setelah dirawat beberapa minggu, mereka pun siap berperang kembali melawan.serdadu Belanda.
Penguasaan medan yang dimiliki prajurit Dayak sebagai warga setempat tentu sangat mendukung dalam pergerakan mereka di hutan rimba guna melawan Serdadu.Belanda. Karena itu, pengaruh penjajahan Belanda di Kalimantan umumnya hanya terkonsentrasi di kota-kota besar dan tidak menyentuh hingga kepolosok pedalaman.
Tidak hanya di medan pertempuran, sumpit tak kalah ampuhnya ketika digunakan untuk berburu. Hewan-hewan besar akan ambruk dalam waktu singkat. Rusa, biawak, atau babi hutan tak akan bisa lari jauh. Apalagi binatang berskala kecil seperti tupai, ayam hutan, atau monyet, lebih cepat matinya.
Bagian tubuh yang terkena anak sumpit hanya perlu dibuang sedikit bekasnya, karena rasanya pahit dan faktanyahewan tersebut aman jika dimakan. Buktinya hasil buruan tersebut mereka sendiri yang mengonsumsinya dan tidak pernah ada dampaknya seperti sakit atau keracunan.
Baik hewan maupun manusia, setelah tertancap anak sumpit hanya bisa berlari sambil terkencing-kencing dan kejang-kejang sambil mengeluarkan kotoran atau air seni sebelum tewas.***