SUAKA – JAKARTA. Musisi yang kini menjadi Calon Wakil Bupati Bekasi, Ahmad Dhani, mengatakan, akan melawan jika akhirnya Polda Metro Jaya menetapkan dirinya menjadi tersangka kasus penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) sewaktu berorasi di saat aksi demo bela islam jilid II, (4/11) yang lalu.
“Kalau saya apa saja siap (jadi tersangka). Cuma jangan sampai ribut sama saya. Hati-hati lho !!!, karena saya orangnya pasti melawan demo keadilan, bukan diam saja,” cetus Ahmad Dhani ketika menemui Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon di gedung DPR RI, Senin (28/11).
Lebih jauh, suami Mulan Jameela itu pun menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menghina Presiden Jokowi saat orasi di Aksi Bela Islam Jilid II pada 4 November 2016 lalu.
“Ada penegasan, ‘ini tidak boleh’ karena saya ingin memberikan pendidikan kepada massa saat itu. Cuma karena tertutup tepuk tangan massa, saya juga bingung, kok kata-kata binatang peliharaan malah ditepuki oleh mereka,” ungkap Dhani.
Ia pun berdalih, orasinya itu sebagai bentuk edukasi floor (massa di jalanan). “Saya ingin beri edukasi floor (massa di jalan). Kalau ini kata-kata kebun binatang, itu fitnah. Karena ini binatang peliharaan. Saya dengar dari floor, dari orang-orang di bawah sebelah kanan (mobil tempat orasi), makanya ingin saya katakan anjing, tapi tidak boleh, ini tegas,” pungkas Dhani.
Untuk diketahui, beberapa waktu lalu Ahmad Dhani dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh belasan relawan Jokowi dan Pemuda Hanura atas pasal 207 KUHP yang mengatur tentang penghinaan kepada penguasa. Pasal ini memberikan ancaman hukuman pidana paling lama 1 tahun 6 bulan.
Pasal 2017 KUHP sendiri berbunyi barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya susah melayangkan surat panggilan kepada para saksi dalam kasus dugaan penghinaan Presiden oleh Ahmad Dhani. Mereka diminta hadir di Mapolda Metro Jaya, Kamis (24/11/2016). Namun, dari delapan orang yang dipanggil, hanya Eggi Sudjana yang memenuhi panggilan, tujuh orang mangkir dari panggilan, ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono.
Ketujuh saksi lainnya yang mangkir tersebut di antaranya adalah Habib Rizieq Shihab, Prof. Dr Amien Rais, Munarman, Ratna Sarumpaet, Mulan Jameela (istri diri Ahmad Dhani), dan Ahmad Dhani sendiri,.ujar Awi Setiyono.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya ini, bahwa, pihaknya akan segera melayangkan surat pemanggilan berikutnya terhadap para saksi-saksi tersebut dan jika para saksi tetap tidak mau datang pada panggilan ketiga ini, maka polisi bisa menerbitkan surat perintah membawa secara paksa terhadap mereka tanpa pandang bulu, ujarny.
Pakar hukum pidana, Muzakir menilai, polisi keliru dalam menyangkakan Pasal 207 KUHP untuk kasus Ahmad Dhani.
“Pasal penghinaan terhadap presiden itu sudah direvisi oleh MK. Kalau sudah diuji di MK maka pasal penghinaan terhadap presiden ya sudah tidak berlaku lagi, ujarnya
Lebih lanjut, Muzakir menuturkan bahwa bunyi Pasal 207 KUHP tersebut adalah, “barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan”. Pasal itu kan menyebutkan penguasa. Sedangkan Presiden bukan penguasa. Presiden adalah.ya presiden,” tegasnya.
Muzakir menjelaskan, dahulu ada Pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden atau pun Wakil Presiden. Peraturan tersebut tertuang dalam Pasal 134 KUHP. Namun, Pasal tersebut saat ini telah dihapuskan. Pada tanggal 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ujarnya.
Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. Disana MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Oleh karena itu, menurut Muzakir, jika Pasal 134 sudah dihapus, maka seyogyanya polisi tidak bisa mengenakan seseorang yang menghina presiden dengan Pasal 207 KUHP. Sebab, menurut dia, dalam pasal tersebut menyebutkan penguasa dan bukan presiden.
“Dengan menggunakan pasal 207 KUHP, berarti penyidik polisi menyamakan presiden dengan penguasa. Penguasa itu sejajar dengan Kapolsek, Kapolres, Kapolda atau Kapolri, misalnya begitu. Masa presiden disamakan dengan itu. Sebagai jabatan lho ya,” kata Muzakir.
Muzakir menyampaikan, jika memang Presiden Jokowi merasa keberatan dengan perkataan Ahmad Dhani, maka harus dirinya sendirilah yang melapor bukan lembaga lain. Dan ini ada tata caranya, dalam laporan itu, Jokowi membuat laporan seperti warga biasa dan tidak membawa embel-embel kepala negara. Jika begitu, maka polisi bisa menyertakan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dalam laporan tersebut. Sama seperti saat Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang melaporkan Zaenal Maarif atas tuduhan pencemaran nama baik. Dalam laporan tersebut, Kata Muzakir, polisi menyangkakan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. “Masa SBY pakai Pasal 310 KUHP Jokowi pakai Pasal 207 KUHP,” ucapnya. (TIM)