SUAKA – BANJARBARU. Tanpa disadari, sesungguhnya wilayah Kalsel berada dalam bahaya. Sebanyak 50 persen wilayah Kalsel hilang dan digantikan pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Dari 3,75 juta hektare wilayah Kalsel, sebanyak 1,2 juta hektare (33 persen) menjadi lokasi pertambangan batubara dan 618 ribu hektare (17 persen) berubah menjadi perkebunan sawit berskala besar.
Hal ini ditambah dengan terjadinya perampasan lahan yang menjadi ruang hidup masyarakat dan pengrusakan lingkungan terhadap kekayaan bentang alam (landscape) Kalsel seperti sumber energi, hutan, rawa gambut, karst, dan ekosistem esensial kalsel lainnya. “Fakta ini menunjukkan buruknya model tata kelola pembangunan di Kalsel,” ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono SP, Minggu (13/11).
Dalam catatan Walhi Kalsel, ada 1,2 juta perizinan pada sektor energi (batubara), pelaku utamanya adalah Adaro Energi dan Bumi Resources yang merupakan produsen terbesar batubara di kalsel dan indonesia. Sementara 618 ribu hektare wilayah Kalsel yang berubah jadi perkebunan sawit telah merusak ekosistem rawa gambut.
“Dari 1 juta hektare luas rawa gambut di Kalsel, terdapat 43 persen wilayah yang telah berubah menjadi perkebunan sawit. “Sebanyak 43 persen perizinan itu membebani ekosistem rawa gambut di lima kabupaten di Kalsel,” ujar Kisworo Dwi Cahyono.
Padahal, menurut Manajer Data dan Kampanye Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat, rawa gambut memiliki keunikan yang menjadi ciri khas Banua dan masyarakat Banjar.
“Masyarakat Banjar telah mengelola rawa gambut melalui kearifan tradisional yang telah dan terus diwariskan nenek moyang selama ratusan tahun. Dan di lahan rawa gambut itu kaya keanekaragaman hayati. Bentuk yang nyata dari keanekaragaman hayati itu nampak di beberapa kawasan, seperti di Paminggir (Hulu Sungai Utara) yang kaya dengan kerbau rawa dan potensi perikanan. Kini, wilayah itu dipenuhi perkebunan sawit,” ujar Rizqi.
Menghilangnya setengah wilayah Kalsel yang digantikan perkebunan sawit dan pertambangan batubara itu membuat kondisi lingkungan Kalsel rusak. Kerusakan itu turut menyumbang masalah saat kabut asap melanda pada tahun 2015. Data LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan sebanyak 148.194 hektare lahan di Kalsel terbakar. Sebanyak 18.665 hektare yang terbakar itu merupakan lahan gambut. Sementara pantauan Walhi pada 2015 terdapat 2.418 titik api di Kalsel. Sebanyak 1.830 titik api itu berada di wilayah rawa gambut. Sebanyak 771 titik api berada di wilayah izin perusahaan perkebunan.
Masih menurut data Walhi Kalsel, terdapat 12 perusahaan yang wilayahnya mengalami kebakaran lahan. Uniknya, beberapa perusahaan perkebunan sawit yang telah merampas dan merusak rawa gambut di Kalsel tak tersentuh penegakan hukum. Salah satunya adalah Astra Group yang mana hingga kini, tak ada penegakan hukum yang jelas terhadap perusahaan. Seharusnya, penegakan hukum dalam hal kebakaran hutan dan lahan itu dilakukan.
Yang terbaru adalah putusan Pengadilan Negeri Rantau yang dirilis Mahkamah Agung RI pada 28 Juli 2016. PN Rantau membebaskan PT Platindo Agro Subur (PAS) dari dakwaan telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup.
“Ini menunjukkan tidak adanya upaya hukum dari penyelengara negara menindak korporasi hitam yang telah merusak lingkungan dan memberikan perlindungan kepada rakyat atas ruang hidupnya. Yang ada justru hanya melakukan pembiaran dan cenderung menutup mata pada kerusakan lingkungan,” ujar Kisworo.
Menurut analisis Walhi Kalsel, pengrusakan rawa gambut di Banua ini didukung regulasi seperti RTRWP Kalsel Nomor 9/Tahun 2015 ayat (1) huruf b yang menyatakan sekitar 1.255.721 hektare diperuntukkan bagi perkebunan yang tersebar di lima kabupaten yang juga merupakan kawasan rawa gambut nasional yang rawan kebakaran.
Harusnya, ujar Kisworo Dwi Cahyono, Pemprov Kalsel mengubah model tata kelola pembangunan yang ada menjadi kebijakan yang pro kepentingan rakyat, menjaga bentang alam Kalsel dengan tak lagi memberi izin bagi kegiatan penambangan batubara dan perkebunan sawit.
“Saatnya pemerintah lokal memahami, kita ini sedang darurat kejahatan korporasi. Karena itu, negara harusnya membentuk pengadilan lingkungan untuk menjerat para perusak lingkungan”.
Jika tak mengubah model tata kelola pembangunannya, maka Kalsel akan tertinggal dan dicap sebagai daerah yang tak mendukung upaya serius menghadapi dampak perubahan iklim. Apalagi, pada 7-18 November 2016 digelar konferensi perubahan iklim (Conference of Parties/COP) ke-22 di Marakesh, Maroko. Dalam pertemuan tahunan negara yang menandatangani The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang membahas strategi menghadapi perubahan iklim. “Isu yang dibahas di pertemuan itu akan menyangkut Kalsel,” tutup aktivis lingkungan ini. (TIM)