SUAKA.- JAKARTA (Pinmas). Pada beberapa edisi terbitan Terjemahan Al-Quran yang beredar saat ini, kata awliya pada QS Al Maidah: 51 diterjemahkan sebagai teman setia, tentang penafsiran Surah Al-Mā’idah Ayat 51 yang artinya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kemenag, Muchlis M Hanafi, menjelaskan bahwa terjemahan Al-Qur’an tersebut diatas merujuk pada edisi revisi 2002 Terjemahan Al Qur’an Kementerian Agama yang telah mendapat tanda tashih dari LPMQ.
Hal ini ditegaskan Muchlis menanggapi beredarnya postingan di media sosial tentang terjemahan kata awliya pada QS Al-Maidah: 51 yang disebutkan telah berganti dari ‘pemimpin’ menjadi ‘teman setia’. Postingan itu menyertakan foto halaman terjemah QS Al-Maidah: 51 dengan keterangan yang menyebutnya sebagai ‘Al-Qur’an palsu’.
“Tidak benar kabar yang menyatakan bahwa telah terjadi pengeditan terjemahan Al-Qur’an belakangan ini. Tuduhan bahwa pengeditan dilakukan atas instruksi Kementerian Agama juga tidak berdasar,” tegas Muchlis di Jakarta, Minggu (30/10).
Menurut Muchlis, kata awliya di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Al-Qur’an Kementerian Agama edisi revisi 1998 – 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. An-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliya diterjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia.
Pada QS. At-Taubah/9: 23 dimaknai dengan pelindung, dan pada QS. An-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan teman-teman, tambahnya.
Terjemahan Al-Qur’an Kemenag, lanjut Muchlis, pertama kali terbit pada tahun 1965. Pada perkembangannya, terjemahan ini telah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada tahun 1989-1990 dan 1998-2002. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator.
Penyempurnaan dan perbaikan tersebut meliputi aspek bahasa, konsistensi pilihan kata atau kalimat untuk lafal atau ayat tertentu, substansi yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, dan aspek transliterasi, terangnya.
Pada terjemahan Kementerian Agama edisi perdana (tahun 1965), kata awliya pada QS. Ali Imran/3: 28 dan QS. An-Nisa/4: 144 tidak diterjemahkan. Terjemahan QS. An-Nisa/4: 144, misalnya, berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Pada kata wali diberi catatan kaki: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pelindung atau penolong. Catatan kaki untuk kata wali pada QS. Ali Imran/3: 28 berbunyi: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong, jelas Muchlis.
Terkait penyebutan ‘Al-Qur’an palsu’ pada informasi yang beredar di media sosial, Doktor Tafsir Al-Qur’an lulusan Universitas Al Azhar Mesir ini mengatakan, terjemahan Al-Qur’an bukanlah Al-Qur’an. Terjemahan adalah hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap Al-Qur’an. Oleh karenanya, sebagian ulama berkeberatan dengan istilah terjemahan Al-Qur’an. Mereka lebih senang menyebutnya dengan terjemahan makna Al-Qur’an.
Tentu tidak seluruh makna Al-Qur’an terangkut dalam karya terjemahan, sebab Al-Qur’an dikenal kaya kosa kata dan makna. Seringkali, ungkapan katanya singkat tapi maknanya padat. Oleh sebab itu, wajar terjadi perbedaan antara sebuah karya terjemahan dengan terjemahan lainnya, paparnya.
Terkait kata atau kalimat dalam Al-Qur’an yang menyedot perhatian masyarakat dan berpotensi menimbulkan perdebatan, Kemenag menyerahkan kepada para ulama Al-Qur’an untuk kembali membahas dan mendiskusikannya. Saat ini, sebuah tim yang terdiri dari para ulama Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman serta pakar bahasa Indonesia dari Badan Bahasa Kemendikbud, sedang bekerja menelaah terjemahan Al-Qur’an dari berbagai aspeknya.
Mereka itu, antara lain: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Dr. KH. A. Malik Madani, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Dr. Muchlis M Hanafi, Prof. Dr. Rosehan Anwar, Dr. Abdul Ghofur Maemun, Dr. Amir Faesal Fath, Dr. Abbas Mansur Tamam, Dr. Umi Husnul Khotimah, Dr. Abdul Ghaffar Ruskhan, Dr. Dora Amalia, Dr. Sriyanto, dan lainnya.
Teks Al-Qur’an, seperti kata Sayyiduna Ali, hammalun dzu wujuh, mengandung aneka ragam penafsiran. Oleh karena itu, Kementerian Agama berharap umat Islam menghormati keragaman pemahaman keagamaan, urainya.
Menurut Muchlis, terbitan terjemah Al-Qur’an dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk memahami isi kandungan ayat suci. Namun, ia mengingatkan, dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, hendaknya tidak hanya mengandalkan terjemahan, tetapi juga melalui penjelasan ulama dalam kitab-kitab tafsir dan lainnya. (rilis/mkd/mkd)