Siapa yang tak kenal dengan salah satu tokoh wanita yang satu ini?
Dia adalah salah seorang pahlawan nasional yang selama hidupnya terus memperjuangkan kesetaraan gender di dalam masyarakat.
Menurutnya, kaum hawa memiliki hak yang sama dengan kaum adam, mereka semua memiliki hak untuk mengenyam pendidikan, bekerja, dan sebagainya.
Oleh karena perjuangannya itu, akhirnya presiden pertama Republik Indonesia pada masa itu Ir. Soekarno pun memberikan kepadanya penghargaan sebagai pahlawan nasional.
Ya, dia adalah Raden Ajeng Kartini yang dilahirkan di Jepara, Propinsi Jawa Tengah, tepatnya pada tanggal 21 April 1879.
Kemudian, hari lahirnya pun dijadikan sebagai hari peringatan nasional yang dikenal sebagai hari Kartini yang jatuh tiap tanggal 21 April.
Nah, meskipun beliau wafat di usianya yang masih muda, yakni 25 tahun, namun banyak cerita yang mengiringi perjalanan hidup tokoh ini, termasuk ketika beliau memasuki menit-menit akhir di dalam hidupnya.
Nah seperti apa perjalanan sosok Kartini ini hingga di akhir hidupnya?
Seperti dilansir dari halaman cerpen.co.id cerita bermula saat empat hari sebelum kematiannya, tepatnya setelah beliau berhasil melahirkan anak pertamanya yang bernama Raden Mas Soesalit.
Kemudian, dokter yang menanganinya bernama Van Ravesteijn. Sebenarnya, dokter tersebut bukanlah dokter langganan dari Kartini. Hanya saja dokter yang biasa menangani Kartini, yakni Bouman tidak ada di tempat.
Persalinan pun berlangsung cukup dramatis, karena berlangsung dari pagi hingga sore hari. Disaat itu sangat sulitnya melaksanakan persalinan tersebut, akhinya Van Ravesteijn menggunakan alat bantu yang masih belum jelas namanya.
Kartini pun kemudian berhasil melahirkan putra pertamanya tersebut ke dunia dengan selamat sekitar pukul 21.30 WIB.
Setelah proses persalinan berhasil, semua tampak baik-baik saja hingga kemudian tiba pada hari keempat setelah Kartini melahirkan.
Ravesteijn selalu datang memeriksa kesehatan Kartini, dan di hari itu ia kembali datang untuk mengecek putri dari pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A. Ngasirah tersebut.
Namun, setelah 30 menit pasca-Ravesteijn pergi, Kartini mendadak mengeluhkan sakit yang teramat sangat pada bagian perutnya.
Melihat kondisinya yang semakin memburuk, sang suami, yakni Djojoadiningrat meminta orang untuk memanggil kembali dokter tersebut.
Namun, sesampainya sang dokter di sana, kondisi Kartini sudah semakin parah.
Beliau pun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dalam dekapan sang suami.
Kematian mendadak dari Kartini ini pun sontak membuat masyarakat kaget. Banyak dari mereka menduga bahwa ia telah diracuni oleh sang dokter.
Bouman selaku dokter langganan Kartini pun turut melakukan penyelidikan dengan bertanya kepada salah satu kerabatnya yang kenal dengan Ravesteijn.
Menurut penuturan temannya itu, Ravesteijn adalah orang yang tidak dapat dipercaya.
“Kudaku saja tidak akan ku dipercayakan kepada dokter itu” ujarnya seperti yang dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam buku ‘Kartini, Sebuah Biografi’nya.
Namun, tudingan terhadap dokter tersebut masih belum terbukti karena tidak ada orang yang dapat membuktikan tudingan terkait kematian Kartini tersebut.
Namun beberapa orang dari kalangan dokter berpendapat bahwa tokoh sejarah ini meninggal akibat preeklampsia, atau tekanan darah tinggi pada perempuan saat hamil atau sehabis melahirkan.
Nah, hingga saat ini, cerita di balik kematian dari tokoh pergerakan wanita di Indonesia ini masih penuh dengan misteri dan belum ada peneliti maupun sejarawan yang mampu menjelaskannya kematiannya.
Namun kita sebagai generasi penerus bangsa sudah sepatutnya untuk selalu menjaga negeri ini terkhusus kaum wanita agar selalu bisa meneladani bagaimana perjuangan Ibu Kartini.