suarakalimantan.com. Membicarakan film, kita tak bisa melepas peran penting Lembaga Sensor Film (LSF). Proses penyensoran film sudah ada di Indonesia sejak tahun 1916. Pada masa tersebut, sensor film dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Film yang banyak masuk dari Amerika yang dikenal sebagai negara demokratis. Begitu demokratisnya negara tersebut, para pembuatan film bahkan pernah membuat film tentang pemberontakan yang dilakukan kaum petani. Pihak Belanda takut bahwa segala hal yang dilihat di dalam film menginspirasi pribumi untuk melakukan perlawanan serupa. untuk itu, Belanda menyensor film-film yang beredar.
Lembaga Sensor Film pada masa kependudukan Jepang memiliki peran yang berbeda. Pada masa kependudukan Jepang, Lembaga Sensor Film bertugas untuk menghapuskan unsur-unsur kolonialisme dalam perfilman Indonesia.
Jepang pun menyebarkan film-film propaganda kepada masyarakat Indonesia. Hal tersebut dilakukan agar penduduk Indonesia yakin bahwa Jepang merupakan saudara serumpun yang akan melindungi Asia.
Pada 2009 negara mengamanatkan Lembaga Sensor Film untuk melakukan penelitian dan penilaian pada film sebelum ditayangkan ke masyarakat. “Semua pelaku industri perfilman harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor,” kata Wakil Ketua Lembaga Sensor Film, Dody Budiatman.
Berdasarkan UU Nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman, setiap film yang diedarkan dan/atau dipertunjukkan ke khalayak umum wajib disensor terlebih dahulu oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Apabila tidak lulus sensor, film akan dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki. Film yang sudah diperbaiki oleh pemilik film dapat diajukan kembali untuk diteliti dan dinilai oleh LSF.
“Kami akan beri catatan yang isinya antara lain bagian-bagian mana, menit keberapa, dialognya apa yang tidak sesuai dengan kriteria kami. Selanjutnya pemilik film bisa melakukan perbaikan secara mandiri sebelum diserahkan kembali kepada kami,” urai Dody saat ditemui di ruangannya di Kantor Lembaga Sensor Film (LSF).
Dody mengungkapkan bahwa proses editing sepenuhnya merupakan wewenang dari film maker yang bersangkutan. Pihak pembuat film merupakan pihak yang tahu inti cerita dan alurnya. Hal tersebut membuat LSF merasa bahwa sang pembuat film yang berhak untuk melakukan perbaikan. “Kalau kami yang mengedit atau memotong, dikhawatirkan ada ketidaksinambungan dengan alur cerita atau hilangnya esensi cerita,” ucap Dody.
Selain itu, LSF ingin menghapus stigma buruk yang beredar di para pekerja industri film. “Selama ini, LSF dianggap sebagai tukang jagal. Untuk itu kami beri kebebasan mereka untuk berkarya tetapi harus diingat bahwa kebebasan mereka jangan sampai menghambat hak azasi orang lain,” jelasnya.
Kebebasan pihak lain yang dimaksud oleh Dody adalah masyarakat. Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan tayangan yang berbobot dan mengedukasi. LSF memberi kebebasan para pekerja industri film untuk menghasilkan karya tanpa melakukan pembodohan pada masyarakat.
Dody menuturkan, ada dua hal yang harus diperhatikan para sineas dalam menghasilkan film yakni konteks dan konten. LSF akan melarang setiap bentuk pelanggaran yang ditayangkan di layar lebar apabila tidak ada penyelesaian di bagian akhir.
“Misalnya, ada bentrokan antarpemeluk agama tertentu. Adegan tersebut boleh dimasukkan ke film kalau di bagian akhir ada penyelesaian. Namun jika hanya menampilkan bentuk pelanggaran tanpa dampak atau penyelesaian maka harus dihilangkan,” terang Dody.
Dalam pembuatan film, pembuat film terkadang terinspirasi dari kejadian di sekitar. Melibatkan daya khayal sutradara dalam pembuatan film sah-sah saja. Namun, adegan yang ditampilkan harus logis dan tidak melanggar norma kesopanan. “Semua pelaku industri perfilman harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor,” ujar Dody Budiatman.
Dody mencontohkan beberapa waktu lalu ada yang ingin mengangkat film tentang pemerkosaan oleh jin. Namun, sosok jin yang diperlihatkan dalam film tidak layak. Dody terpaksa mengembalikan film tersebut. Langkah Dody sempat mendapat protes dari pihak pembuatan film. Sang sutradara berdalih bahwa film yang dibuat diangkat dari kisah nyata.
“Di beberapa perkampungan memang ada fenomena pemerkosaan oleh jin. Namun mereka menggambarkan sosok jin tersebut berbadan besar dan telanjang. Kemaluannya pun terlihat. Apakah yang seperti itu pantas?” tanya Dody secara retoris.
Para pembuat film juga dilarang keras membuat film yang kontennya merendahkan harkat dan martabat manusia. “Jika ada adegan perkelahian lalu salah satu pihak menginjak kepala lawannya, itu merendahkan martabat manusia. Adegan seperti itu tidak diperkenankan ada di dalam film,” ungkapnya.
Setelah film sudah dikaji dan diberi penilaian, pihak LSF akan mengesahkan film tersebut dan memberi rating usia. Rating usia disesuaikan dengan adegan dan isi film tersebut. Adegan percintaan tentu tidak cocok disaksikan oleh anak di bawah umur. Film dengan adegan kekerasan hanya bisa disaksikan oleh penonton berusia 17 tahun ke atas. Hal tersebut karena penonton berusia 17 tahun ke atas dianggap memiliki mental yang cukup kuat untuk melihat adegan sadis.
Selanjutnya, film siap diedarkan ke masyarakat. Ketika film diedarkan kepada masyarakat, masyarakat harus melakukan sensor secara mandiri. Artinya, penonton harus bisa menyesuaikan film yang akan ditonton dengan usia. Para orang tua juga diharapkan selektif dalam mengajak anak-anaknya menonton. “Kalau film sudah kami kasih rating 17+ orang tua harus memiliki kesadaran untuk tidak membawa anaknya yang dibawah umur untuk menonton. Jangan egois!” tegas Dody. ###