Catatan Akhir Tahun, Deliberasi Politik Luar Negeri Indonesia Era Prabowo Masih Belum Pro Rakyat,Oleh Dr. Robi.

Jakarta, SUARA KALIMANTAN Setiap negara berkeinginan memenangkan kepentingan nasionalnya di pentas antarbangsa. Begitu pula Indonesia, terlepas siapapun yang menjadi presidennya. Kepentingan nasional Indonesia yang tertagih kepada Presiden Prabowo Subianto dan para pembantunya adalah memastikan apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, derivasi dan dinamikanya hingga Era Jokowo, dapat tercapai dalam skala yang maksimal 24/12/2025.

Kepentingan nasional yang utama adalah melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia wajib memastikan menjadi bagian dari langkah tercapainya kepentingan tersebut, bukan sebaliknya: membahayakan dan/atau mengingkarinya.
Selama tahun 2025, bandul politik luar negeri Indonesia cenderung ke “Blok Cina”. Tidak kurang dari dua kali Prabowo bertemu secara khusus dengan Xi Jinping selaku Presiden Cina (September & November 2025), di luar pertemuan dengan Perdana Menteri Li Qiang dan Ketua Kongres Rakyat Nasional Zhao Leji di Beijing. Kecenderungan Prabowo membawa bandul politik luar negeri Indonesia ke “Blok Cina” tersebut merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilakukan pendahulunya, Joko Widodo.
Apakah langkah Prabowo mempertahankan bandul politik tersebut merupakan langkah “melindungi segenap bangsa” dan “memajukan kesejahteraan umum”? Kecenderungan memblok ke Cina telah menempatkan negeri tirai bambu sebagai “mitra karpet merah” bagi Indonesia dengan segala ekses negatifnya, termasuk adanya potensi ancaman kedaulatan negara pada kasus “Bandara IMIP” di Morowali yang terungkap jelang akhir tahun 2025.
Upaya memastikan Indonesia dalam keseimbangan geopolitik global pun patut dipertanyakan dengan masuknya Indonesia ke BRICS. Dengan segala dinamikanya yang terkini, sulit untuk tidak dikatakan bahwa Cina telah menjadi “pemain kunci” yang menentukan arah permainan pada kelompok tersebut.
Pada akhirnya, langkah politik luar negeri Indonesia tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara “semi phery-phery” bagi “Blok Cina”, yang pada kondisi tertentu, Indonesia berpotensi menjadi “the sitting duck”.
Capaian penting dalam konteks “ikut melaksanakan ketertiban dunia” adalah pidato memukau Prabowo di Sidang Umum PBB ke-79 pada 22 September 2025 tentang two state solution untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel dan langkah aktif setelahnya. Namun, diplomasi Prabowo dalam mengelola masalah Israel ini, terlihat kurang sensitif terhadap perasaan umat Islam di Indonesia.
Diplomasi Indonesia pada era Prabowo mengalami ujian yang tidak menguntungkan bagi kepentingan nasional Adalah saat merespon bantuan asing untuk Bencana Sumatera tahun ini. Rezim Prabowo cenderung menafsirkan makna “harga diri” lebih pada diri dan kroninya dibanding “harga diri bangsa” yang ramah terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Last but not least, politik luar negeri itu seperti senjata yang perlu dipegang oleh pemegang senjata yang piawai. Catatan keprihatinan dari beberapa pihak kepada Menteri Luar Negeri, Sugiono, sudah selayaknya menjadi pertimbangan dalam membangun efektivitas capaian politik luar negeri Indonesia ke depan. Bila era Joko Widodo, Menteri Luar Negerinya seperti “Presiden” karena idiosinkratik presidennya yang lemah, maka pada era Prabowo justru Menteri Luar Negeri seperti “Ajudan Presiden” karena idiosinkratik Menteri Luar Negerinya yang lemah.
Secara umum, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia telah mampu menghadirkan Indonesia di pentas global. Capaian pada tahun 2025 ini hendaknya dijadikan modal untuk mengukuhkan posisi Indonesia dalam pentas geopolitik yang menguntungkan rakyat, dan jangan menjadi bagian dari subordinasi dari kepentingan Blok Negara manapun termasuk Cina. Indonesia harus yakin bahwa “tidak ada makan siang gratis” dalam hubungan internasional meski itu bentuknya kerjasama yang terlihat menguntungkan. Pastikan kita berani menentukan posisi Indonesia dalam kepentingan nasional yang pro rakyat, bukan pro asing maupun oligarki yang pro asing.
Jakarta, 24 Desember 2025
Robi Nurhadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Nasional
/Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3M) Universitas Nasional