Jakarta; suarakalimantan.com || PENGUSAHA asal Indonesia yang aktif di media sosial Instagram dan YouTube, Bossman Mardigu Wowiek mengatakan, dalam politik pencoblosan dikenal dengan adanya faktor X. Faktor X ini adalah public choice yang berlaku umum dimanapun di seluruh dunia atas pertukaran antara suara rakyat dan program Capres.
Kata dia, James Buchanan lah yang kemudian memperkenalkan metode ilmiahnya melalui “the theory of political decision-making and public economics”.
“Dalam demokrasi di Amerika yang di tiru plek oleh Indonesia, metode Public Choice ala Professor Buchanan itu dapat dibuktikan. Apa yang akan kita buktikan?,” ujarnya.
Ia mengatakan, kita melihat siapa dari para kandidat yang mempunya program mudah diterima otak anak kelas 6 SD? Maka pasti programnya menjadi public choice dan menjadi pemenang pilpres.
“Kita coba melihat kandidat dengan program. Misalnya makan siang gratis bagi murid murid sekolah mempunyai nilai pertukaran (exchange) suara rakyat yang tinggi dalam pemilu nanti, karena mudah dipahami dan menyentuh basic needs masyarakat. Anda tidak percaya? Tentu pendukung capres yang tidak punya program ini akan protes atau tidak terima,” tegasnya.
Kita lanjutkan dulu teorinya, ungkapnya, dengan mudah di cerna dan diterima akan terjadi catallaxy di Pilpres nanti. Apa itu catallaxy?
“Catallaxy model adalah ilmu pertukaran. Para pelaku politik menawarkan berbagai kebijakan public kepada masyarakat. Sebagai sebuah model nyata dari theory public choice nya James Buchanan,” urainya.
Menurutnya, Buchanan mengulas teori pilihan publik dari dua aspek yaitu; satu, pendekatan catallaxy yaitu ekonomi sebagai ilmu pertukaran. Para pelaku politik menawarkan berbagai kebijakan publik kepada masyarakat(supply). Pembeli kebijakan publik ini adalah masyarakat pemilih yang akan memilih kebijakan yang benar-benar dapat mewakili kebutuhan mereka(demand).
Kedua, homo economicus. Konsep ini menjelaskan bahwa manusia cenderung memaksimalkan manfaat utilitas untuk dirinya karena dihadapkan pada kelangkaan sumber daya. Maksimal utilitas berlaku terhadap self choice(pilihan individu).
“Misalnya dalam politik, politisi sebagai pelaku “memaksimalkan utilitas agar dipilih kembali” melalui kebijakan dan program yang dilaksanakan bagi wilayah pemilihnya. Sementara para pemilih mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan,” ungkapnya.
Masih menurutnya, dua aspek tersebut kita menganalisa siapa paslon capres yang memenuhi teori dari Buchanan tadi.
“Program program capres harus mudah dicerna anak kelas 6 SD sehingga terkonversi pada suara rakyat,” terangnya.
Dikatakan Mardigu, kita coba review program paslon 01 yang dikatakan cak Imin yang akan membangun 40 Kota Megapolitan seperti Jakarta dalam 5 tahun dengan APBD tahunannya 80 triliun. Apakah ini mudah diterima dengan pikiran anak kelas 6 SD?
“Sekarang kita bedakan dengan program ‘makan gratis bergizi’ bagi murid-murid sekolah. Apakah program ini bisa diterima dalam pikiran anak kelas 6 SD? Kita semua tahu usulan paslon 2 itu meniru atau mem benchmark program nya pemerintah federal Jepang tetapi memang terbukti sudah di realisasi dan mudah tinggal menggeser APBN saja,” tukasnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, bagaimana dengan public choice yang berdampak negatif ? Tentu ada !!. Contoh : dengan mundurnya “Ahok” dari Komisaris Utama BUMN Besar, dan berkampanye negatif menyerang Pak Jokowi dan Gibran dengan kalimat : ” Tidak Bisa Bekerja”, hal ini berbahaya bagi 03.
“Membully dimanapun akan yang dapat simpati yang di bully, itu hukum alam. maka membully akan berdampak negatif kepada Paslon 03 dengan serangan model Ahok di saat akhir akhir masa kampanye,” ungkapnya.
Dirinya memperkirakan, 4-5% suara pemilih muslim swing voter yang tadinya akan memilih PDIP dan Ganjar Mahfud, akan lari ke paslon 01 bahkan ke 02. Karena justru simpati ke pak Jokowi yang pernah menolong penistaan agama itu jadi Komut BUMN pertamina.
“Kehadiran Ahok kalau menyerang dengan mulut besar akan menurunkan suara PDIP secara signifikan,” ucapnya.
Ia menjelaskan, tentu buktinya nanti setelah Pemilu baru akan terlihat nyata hasilnya apakah theory public choice !, nyata dan bisa dirasakan.
“Yang programnya di awang-awang atau palsu (false program) akan ditinggalkan orang. Tidak dipilih ! Itulah catallaxy model dari theory public choice nya James Buchanan,” ucapnya.
Dikatakan Mardigu, disini 02 mendapatkan 2 hal positif. Mengapa suaranya naik di saat akhir kampanye, dari program yang mudah dicerna anak kelas 6 SD dan dari public choice simpati dari bullyan 03.
“Mari kita lihat pembuktiannya saat Pilpres dan Pemilu nanti suara 03 akan paling bawah. Oiya, sekedar info Pak Buchanan itu akhirnya dihadiahi Nobel Prize tahun 1986 sebagai bukti pembenaran theory nya tersebut,” pungkas Mardigu. (red)