Banjarmasin – suarakalimantam.com. VIRUS money politics atau biasa yang di sebut dengan ‘politik uang’ kini akan merajalela menjelang berlangsungnya pesta demokrasi. Merajalelanya politik uang karena dalam pemilihan umum pasti adanya tindakan money politik atau politik uang, politik uang tumbuh dikarenakan kecenderungan masyarakat yang membuat masa bodo terhadap merajalelanya politik uang ini sendiri.
Hal demikian di sampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan Masyarakat (LEKEM) Kalimantan, H. Aspihani Ideris, S.AP, SH, MH saat sejumlah wartawan mempertanyakannya, Jum’at (29/12/2023) via phone WhatsApp ketika membaca ada status di Facebook Aspihani Ideris yang berbunyi “1 bulan 16 hari lagi, Indonesia akan di serbu VIRUS money politics. Bikin perisai dengan iman dan takwa, agar kita selamat menuju AKHIRAT”.
Mewabahnya politik uang dikalangan masyarakat, kata Dosen Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini, dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada.
“Disinilah awal pembelajaran terjadinya politik uang, sehingga menjalar ke pada pemilihan legislatif. Perlu di ingat ucapan saya ini, di H-2 sampai di hari H pemilihan umum, Rabu, 14 Februari 2024 mendatang ini, pasti mereka sudah melancarkan serangan dengan peluru uang alias duit. Bagi mereka yang berpikiran singkat, pasti berkata, seorang Caleg kalau hanya dengan liur, maka yang di dapatkan liur jua,” ujar Aspihani sambil tertawa kecil.
Money politik atau politik uang bisa diartikan sebagai proses tindakan jual-beli suara antara caleg dan masyarakat dengan memberikan uang agar dipilih nantinya.
“Tindakan ini sebenarnya sangat merusak pesta demokrasi. Padahal proses pemilihan umum akan berjalan dengan baik dan menghasilkan pemimpin yang baik juga ketika semua calon peserta pemilihan umum jujur dan tidak melakukan tindakan money politik. Politik uang merupakan salah satu tindakan yang dapat menciptakan adanya korupsi politik. Korupsi itu sendiri terjadi karena proses pemilihan pemimpin melalui biaya politik yang tinggi, tanpa disadari bahwa perilaku menyuap rakyat dengan melakukan tindakan money politik pada saat proses pencalonan menyebabkan terpilihnya calon pemimpin yang bakal terciptanya bibit pemimpin korupsi”.
Bagaimana tidak, kata Aspihani dalam proses pencalonan saja kandidat sudah mengeluarkan banyak dana untuk berlomba-lomba mendapat suara rakyat demi jabatan. Sedangkan dana yang kandidat keluarkan tersebut belum tentu menjadi miliknya sendiri. Tentu saja ketika kandidat itu menjadi yang terpilih dengan proses money politik dalam pencalonannya, maka akan berpikir bagaimana agar modal yang dikeluarkan itu kembali atau dengan istilah balik modal tanpa memikirkan kepentingan untuk rakyat.
Aspihani Ideris yang di ketahui ternyata juga salah satu calon legislatif DPR-RI dari Partai Perindo daerah pemilihan Kalimantan Selatan I dengan Nomor Urut 1 ini menjelaskan, proses pemilihan seorang kandidat merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh masyarakat, masyarakat harus memiliki pemahaman yang cukup bahwa korupsi politik berbentuk tindakan money politiky yang akan merugikan masyarakat. Korupsi politik akan menghasilkan orang-orang yang salah menjadi terpilih.
“Perlu di ingat !!! pemimpin yang terpilih dengan menggunakan politik uang itu nantinya bakal mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan rakyat yang memilihnya”. tegasnya.
Menurut tokoh penggas pembentukan daerah otonom baru Kabupaten Gambut Raya ini, sejak lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 ini otak masyarakat sudah di doktrin dengan kebodohan oleh para penggila jabatan untuk mengejar sebuah impian yang menghalalkan segala cara.
“Mereka sudah lupa dengan tipu muslihat kehidupan, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara saja. Padahal mereka tau bahwa Allah melaknat money politik,” tegas Ketua Umum Perkumpulan Pengacara dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI).
Padahal Undang-Undang UU No.10 Tahun 2016 Pasal 187A ayat (1) dan Pasal 73 ayat (4) menegaskan bahwa perbuatan dengan sengaja melakukan politik uang atau memberi materi lainnya sebagai imbalan baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih maka perbuatan tersebut dipidana paling singkat 6 tahun penjara dan denda 1 milyar rupiah, terangnya.
“Sanksi hukumnya ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, baik mereka yang memberi, perantaranya maupun masyarakat yang menerima imbalan atas money politik tersebut,” tukas Aspihani.
rian